Samin vs Semen: Melawan Eksploitasi Alam

Samin-vs-Semen

Diskusi Film “Samin vs Semen”; Melawan Eksploitasi Alam
☞ Rabu, 15 April 2015, pk. 18.00-21.00 WIB
C2O library & collabtive, Jl. Dr. Cipto 20 Surabaya

Pemantik diskusi:
Rere Christianto (Walhi Jatim)
Joeni Arianto (Dosen FH Unair)

Samin merupakan salah satu suku dari ribuan suku bangsa yang berada di wilayah Indonesia. Masyarakat Samin awalnya merupakan keturunan dan para pengikut dari leluhur yang bernama Samin Surosentiko1, dimana beliau adalah sosok yang mengobarkan sebuah semangat perlawanan pada masa penjajahan dengan gerakan nir-kekerasan2. Dalam hal ini bentuk perlawanannya yang disebut dengan sedulur sikep. Bentuk-bentuk perlawanan nir-kekerasan yang dilakukan ialah dengan cara menolak segala bentuk aturan hukum yang dibuat oleh pemerintah kolonial dan menolak untuk melakukan pembayaran pajak.

Keberadaan masyarakat Samin tersebar wilayah Blora, Pati di Jawa Tengah hingga Bojonegoro Jawa Timur. Tepatnya mereka banyak bermukim di kawasan gunung Kendeng3 yang merupakan perbatasan dari kedua provinsi tersebut. Masyarakat Samin lebih suka disebut dengan sedulur sikep hal ini dikarenakan Samin ialah nama leluhur yang menginspirasi tata cara kehidupan mereka.

Sedulur Sikep merupakan sebuah tata cara kehidupan yang mengajarkan mengenai makna tingkah laku kehidupan dengan dasar kehidupan, seperti aja dengki srei, tukar padu, dahwen kemeren, aja kutil jumput, mbedog colong (dilarang berhati jahat, berkelahi, suka mendakwa, iri hati, dan mengambil milik orang).

Ada beberapa ciri khas dari sedulur sikep ialah yang pertama, memegang erat teguh ajaran sikep, hal ini bias ditunjukan bahwasanya mereka mempunyai tata cara kehidupan yang berbeda. Salah satu ajaran tata cara yang masih dipegang oleh masyarakat sikep ialah tentang kejujuran dan keluguannya. Salah satu contohnya ialah didaerah mereka tidak pernah terjadi sebuah kasus kerusuhan atau bahkan pencurian. Kedua, menggunakan pakaian warna hitam (dengan atasan dan bawahan warna hitam), hal ini merupakan sebuah cirri pembeda antara komunitas mereka dengan komunitas diluar mereka. Ketiga, sistem keagamaan mereka ialah beragama Adam. Sedulur sikep sering menyebut dirinya sebagai “umating agama adam kawiwitan” (umatnya nabi Adam pertama kali), yang meyakini bahwa tujuan hidup ialah mencari kesempurnaan. Keempat, menolak segala bentuk modernisasi. Kebiasaan ini sudah menjadi turun temurun dimana mereka lebih menggunakan peralatan tradisional. Hal ini dikarenakan peralatan tradisional menngajarkan tentang kesederhanaan. Kelima, sedulur sikep tidak mau menyekolahkan anaknya kepada sekolah pendidikan formal.

“tujuan ‘sedulur sikep menyekolahkan anaknya di rumah sendiri karena kami tidak mengejar pangkat dan jabatan. Tapi cita-citanya cukup memperbaiki tindakan dan ucapan. Untuk mencukupi kebutuhan hidup, cukup dengan bertani. Kata leluhur kami, tujuan pendidkan bukan agar pandai, yang penting mengerti, kalau pintar bias digunakan untuk memperdaya dan menipu”

Dan juga hal tersebut ketika mereka melakukan pendidikan sekolah formal maka anak-anak mereka akan mempunyai peluang untuk mendapatkan pekerjaan lain sehingga meninggalkan pekerjaan utamanya sebagai petani.

Keenam, sedulur sikep harus menikah dengan sesama komunitasnya. Oleh karena itu perkawinan sedulur sikep tidak tercatat dalam dalam lembaga perkawinan (KUA dan Catatan Sipil). Hal ini juga sebagai suatu cara agar komunitas sedulur sikep bisa terjaga. Ketujuh, mendalam berkomunikasi mereka memilih dengan menggunakan bahasa Jawa ngoko,4 tanpa melihat dengan siapa lawan biacaranya, dengan yang lebih muda ataupun tua sekalipun. Hal ini sangatlah berbeda dengan masyarakat Jawa pada umumnya yang menggunakan bahasa Jawa yang disesuaikan dengan lawan biacaranya. Kedelapan, sedulur sikep hanya makan dari hasil pertanian mereka dan mereka tidak makan dari hasil perdagangan. Sedulur Sikep membatasi profesi mereka, pertanian merupakan satu sektor yang menjadi pilihan hidup mereka. Selain untuk pemenuhan kebutuhan sehari-hari, dengan profesi sebagai bertani merupakan salah satu bentuk wujud pengabdian mereka untuk melestarikan alam.

“tanah pertanian itu tidak boleh dijual. Itu untuk warisan anak cucu. Lah trus kalau dijual untuk nafkahnya bagaimana???..karena sedulur sikep itu hanya boleh bertani (pantang berdagang)”

Konsep ajaran sedulur sikep yang mendudukan aktifitas pertanian merupakan sebuah salah satu-satunya jalan untuk mereka agar bisa mempertahankan hidup dan tradisi leluhur mereka. Sedulu sikep menempatkan bertani merupakan salah satu bagian dari sistem religius mereka, sehingga hal ini yang menjadi alasan utama mereka untuk melakukan resistensi terhadap pembangunan pabrik semen di pegunungan Kendeng.

“di sukolilo ada 7 desa yang kan terkena dampak pendirian Pabrik Semen Gresik (Semen Indonesia) saya mendatangi ketujuh desa itu satu persatu.setiap saya datang di satu rumah ada ibu-ibu yang sedang berkumpul disitu saya berharap saling mengingatkan tetangga rumah, tetangga desa supaya bia melindungi tanah masing-masing. Jangan dijual, jangan silau uang banyak. Karena uang akan habis dan tanah tidak. Meski perjalanannya berat, tapi bila bersatu terbukti bias mengalahkan Semen Gresik tahun 2009 tanggal 16 Mei. Setelah mundur tahun 2009, tahun 2010 Indocement akan masuk di Tambakromo dan Kayen. Dan saya pun berjalan kesetiap desa itu, untuk mengingatkan agar bias mempertahankan tanahnya masing-masing. Sejak nenek moyang kita butuh tanah butuh air dan pangan. Tidak butuh Semen.dari pada krisis pangan, mending krisis semen”

Selain itu untuk wilayah sedulur sikep yang tidak termasuk dalam rencana pembangunan pabrik semen akan mengalami masalah kekeringan, hal ini dikarenakan sumber mata air di pegunungan Kendeng menjadi proyeksi wilayah pertambangan.

Bentuk resistensi yang dilakukan oleh sedulur sikep ialah dengan cara mobilisasi jaringan budaya, sosial, politik baik di tingkat lokal hingga nasional. Jaringan tersebut terdiri dari kalangan petani, organisasi pemerhati lingkungan, LSM/NGO dll. Maka dalam hal ini sudah sangat jelas bahwa sikap resistensi sedulur sikep terhadap pembangunan pertambangan semen di gunung Kendeng merupakan hal yang tidak bias ditawar kembali. Karena aksi resistensi tersebut bukanlah persoalan ekonomis semata, melainkan upaya untuk mempertahankan budaya dan keyakinan mereka.

INFO
The Prostester
Telp/HP: 081217200051 / 081232961222
Website: www.the-protester.com
Email:
addakhil@the-protester.com
johan@the-protester.com
yogi@the-protester.com


1 Samin Surosentiko, yang nama aslinya Raden Kohar, kelahiran Desa Ploso Kedhiren, Randublatung, tahun 1859, dan meninggal saat diasingkan ke Padang pada tahun 1914 setelah diasingkan oleh pemerintah kolonial.

2 Gerakan nir-kekerasan ini seperti halnya gerakan Ahimsa yang diajarkan Gandhi dalam melawan kolonialisme di India. Ajaran ini berasal dari kata himsa (kekerasan). Sesuai dengan asal katanya, ajaran ini menyerukan kepada seluruh umat manusia untuk menjunjung tinggi semangat nir-kekerasan (non-violence) dalam setiap laku kehidupannya. Pengertian lain Secara harfiah, ahimsa memiliki makna tidak menyerang, tidak melukai atau tidak membunuh. Ajaran ini sebenarnya merupakan ajaran klasik dari agama Hindu yang mengajarkan prinsip-prinsip etis dalam kehidupan.

3 Pegunungan Kendeng ialah wilayah perbukitan yang letaknya memanjang, berbatasan dengan Kabupaten Pati dan Grobogan (Sebelah Timur Kota Semarang) Jawa Tengah. Perbukitan di wilayah Kendeng banyak mengandung Kapur, selain itu mempunyai tekstur tanah yang suburdan banyak ditanami pohon Jati. Di Pegunungan Kendeng terdapat kurang lebih 300 sumber mata air dengan luas sekita 4 ribu ha. Dan beberapa sungai dibawah tanah, juga terdapat gua dibawah gunung dengan keindahan stalaktit.

4 Jawa Ngoko adalah salah satu tingkatan bahasa dalam Bahasa Jawa. Bahasa ini paling umum dipakai di kalangan orang Jawa. Pemakaiannya dihindari untuk berbicara dengan orang yang dihormati atau orang yang lebih tua.

Email | Website | More by »

An independent library and a coworking community space. Aims to create a shared, nurturing space, along with the tools and resources for humans (and non-humans) for learning, working, and connecting with diverse communities and surrounding environment—for emancipatory, sustainable future. More info, visit: https://c2o-library.net/about/ or email info@c2o-library.net

Leave a Reply