Reportase: Orang Rimba di Jambi

Siapa sih Orang Rimba, atau Orang Kubu itu?  Menurut data Adi, ada sekitar 6.650 orang Rimba, kebanyakan terpusat di Jambi.  Catatan-catatan mengenai orang Kubu dapat ditemukan dari catatan-catatan Belanda mengenai kesultanan Melayu di abad ke-17-18.  Menurut Barbara Watson Andaya, sejak abad 17 pun, ada dinamika kekuasaan antara Orang Hulu dan Hilir.  Orang-orang Hulu (Rimba) menjadi ujung tombak penyedia persediaan sumber daya alam seperti cula badak, gading gajah, kayu dsb. yang nantinya berputar di jalur perdagangan di selat Malaka.

Reportase: Kisah-kisah Bijak dari Negeri Naga

Reportase Peluncuran Buku & Diskusi : Kisah Bijak dari Negeri Naga

Minggu di siang bolong, 11 September 2011 bertepatan dengan 12 tahun peristiwa 9/11. Cuaca sangat panas dan terik.

Jam menunjukkan pukul 12 siang tepat. Satu persatu para peserta datang untuk menghadiri acara Peluncuran Buku & Diskusi dengan tema kali ini : Kisah Bijaksana dari Negeri Naga bersama Chen Wei An, penulis dan Ardian Purwoseputro, peneliti sejarah dan budaya Tionghoa Indonesia.

Rupanya cuaca panas tidak menghalangi peserta untuk berbondong-bondong ke C2O library. Acara baru dimulai pukul 13:30 yang dibuka dengan paparan singkat dari penulis.

Menurut penulis, yang sempat berkarier di beberapa perusahaan nasonal di Surabaya & Jakarta ini, penulisan 2 buku : Kisah Bijaksana dari Negeri Naga dan Kisah-Kisah Bijaksana dari Negeri Naga diilhami oleh ingatan-ingatan penulis akan didikan orang tua sewaktu kecil. Orang tua penulis selalu mendidik Chen kecil dan saudar-saudaranya dengan memberi contoh pelajaran hidup melalui kisah2 bijaksana yang diceritakan dalam bahasa yang mudah dimengerti dan dipahami namun bisa diaplikasikan anak-anak.

Berawal dari keinginan untuk melestarikan nilai-nilai bijaksana itulah, penulis mulai mengumpulkan literatur-literatur untuk melengkapi cerita2 dimasa kecilnya, yang menurut penulis masih sangat relevan diterapkan di dunia modern saat ini. Baik oleh anak-anak maupun orang dewasa, disetiap aspek kehidupan.

Literatur-literatur tersebut didatangkan Chen dari luar negeri seperti Singapura dan Hongkong. Hal ini untuk mempermudah penggunaan istilah-istilah dan penerjemahaan yang benar jika merujuk literatur terjemahaan asing yang dinilai Chen lebih orisinal.

Ada satu cerita menarik yang selalu diingat Chen, sebuah cerita bijak mengenai pentingnya memikirkan banyak hal disekitar kita untuk mencapai sebuah tujuan. Yaitu seorang pangeran kecil yang melihat belalang dipinggir kolam yang asyik meminum air, saking asyiknya sang belalang tidak menyadari kalau dibelakangnya ada seekor kodok yang siap memangsa, begitu pula sang kodok, dia tidak menyadari kalau dibelakangnya mengintai seekor ular yang siap menyantapnya, dan sang ular tidak menyadari pula jika dirinya sedang diintai oleh seekor burung rajawali. Ketika pangeran kecil tertarik dengan rajawali tersebut, keinginan hatinya sangat kuat untuk menangkapnya, namun dia tidak menyadari kalau disekelilingnya ada kolam, ketika dia berusaha menangkap rajawali tersebut…terjatuhlan dia di air.

Sebuah cerita yang mempunyai kesan tersendiri–mengajarkan kehati-hatian, tidak sembrono, tidak memikirkan diri sendiri…

Chen Wei An sampai saat ini sudah menulis 4 karya. Karya pertama adalah cerita silat (cersil) 5 jilid dengan judul Lung Hu Wu Lin-Rimba Persilatan Naga & Harimau, 1 karya non fiksi berjudul Cersil (bukan) Bacaan Jadul?, dan 2 buku Kisah-Kisah Bijaksana dari Negeri Naga dan 88 Kisah Bijaksana dari Negeri Naga.

Cuaca semakin panas saja, namun selain membuat gerah juga membuat diskusi semakin lama semakin menarik dan panas.

Pertanyaan-pertanyaan mulai dilontarkan peserta. Ada yang bertanya mengenai mengapa jumlah kisah yang kenapa hanya ditulis 88 kisah saja, mengenai korelasi dan aplikasi kisah bijaksana dengan masalah kesetaraan gender, penyelamatan lingkungan hidup, hukum dan pemerintahan..dan masih banyak pertanyaan dan pernyataan panas lainnya. Menurut Chen, semua kisah bijaksana ini bisa kita aplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Tinggal dalam sudut pandang mana atau bidang kehidupan apa yang akan kita pilih.

Untuk meminimalisir cuaca yang cukup panas, Tinta, Erlin, Mbak Yuli dkk mulai membagikan buah semangka segar…ehmmmmm segarnya

Ada satu hal yang menggetarkan, pembentukan negara persemakmuran Hongkong dan Singapura tidak terlepas dari teladan kisah-kisah bijaksana Tiongkok yang diterapkan pemimpin-pemimpin sekelas Perdana Menteri Lee Kuan Yew, kata Chen.

Chen keberatan kalau kisah bijak ini disebut dongeng. Kisah-kisah ini merupakan sejarah peradaban China, mengenai kekuasaan, startegi perang, hukum, keadilan, kebijaksanaan, nilai-nilai hidup. Hal serupa juga diamini oleh Ardian. Menurut Ardian, kisah-kisah tersebut merupakan kisah bijak yang tertulis dan tersimpan rapi dari dinasti ke dinasti kekaisaran di China tanpa terputus. Menurut Ardian, cerita ini merupaka accesoris dari catatan-catatan sejarah pada setiap periode dinasti kekaisaran di China. Semua keagungan, kebaikan, kebajikan, kejayaan, kehancuran sebuah dinasti dengan sangat obyektif terekam. Dan yang lebih menarik, catatan-catatan tertulis rapi, tanpa terputus dan diteruskan dari dinasti ke dinasti berikutnya. “aneh sekaligus mulia” biasanya setiap akhir perebutan dan pergantian pemerintahan, catatan-catatan dari pemerintahan yang berkuasa sebelumnya selalu dibakar atau sengaja dihilangkan oleh pemerintah yg berkuasa saat ini, tapi di China tidak!

Bagaimana dengan di negeri kita,Indonesia. Adakah budaya santun yang merekam apapun juga secara obyektif, yang kita simpan dan teruskan untuk generasi-generasi berikutnya? timpal Ardian.

Diskusi juga mulai merambah ke peranan Sastra Melayu Tionghoa yang juga berperanan dalam membentuk nation buiding Indonesia dan sastra Indonesia.

Satu hal yang menarik, salah satu contoh majalah Sin Po, meski berkiblat ke nasionalisme Tiongkok, majalah ini memiliki andil besar dalam perjalanan bangsa Indonesia. Di era 1920 an Sin Po mempelopori penggunaan istilah Bumiputera untuk istilah Inlanderr (istilah yg diberikan Belanda untuk masyarakat Bumiputera yang dianggap golongan masyarakat kelas bawah) sehingga sebagai balas budi, media lokal mulai menggunakan istilah Tionghoa untuk menyebut orang dari suku bangsa China. Sin Po juga media massa cetak pertama yang mempublikasikan lagu kebangsaan Indonesia Raya karangan WR Supratman, Dan Sin Po salah satu majalah yang mempelopori penggunaan istilah Indonesia untuk Hindia Belanda saat itu. Bayangkan majalah tersebut sudah memiliki pokok bahasan utama, yaitu bahasan Indonesia dan bahasan Manca Negara. Tutur Ardian.

Akhirnya acara diskusi dan peluncuran buku ditutup dengan hidangan macaroni schotel dan puding buah a la chef Erlin. Disela-sela acara ramah tamah, panitia membagikan doorprize berupa buku-buku karya Chen Wei An kepada 4 peserta.
——————————————
C2O mengucapkan banyak terima kasih pada Chen Wei An, Ardian Purwoseputro, Erlin Goentoro, Anitha Silvia, Antonio Carlos, Ari Kurniawan, dan semua teman-teman yang telah hadir dalam acara ini.

Foto oleh Erlin Goentoro.

Reportase: Tattoo People

“Dari pemutaran yang ada di dua kota sebelumnya (Jakarta & Bandung), di Surabaya ini yang paling rame…” kata Durga setelah acara pemutaran dan diskusi Mentawai Tattoo Revival berakhir. Acara screening yang digagas Hifatlobrain Travel Institute dan C2O Library ini memang menyedot banyak pengunjung yang terdiri dari berbagai latar belakang. Sekitar 100 orang memadati halaman belakang perpustakaan sejak pukul lima sore.

Salah satunya adalah Iman Kurniadi, seorang movie addict yang tinggal di Surabaya. Ia datang bersama kawannya. Ada pula Zani Marjana, seorang penggiat di milis Indobackpacker yang datang dengan membawa sumbangan takjil berupa cake klappertaart yang lezat. Suwun om! Hehehe.Sebelum berbuka memang ada semacam tausiyah singkat dari kyai Rahung yang menceritakan latar belakang pembuatan film dokumenter Merajah Mentawai ini. “Waktu itu saya nggak ada rencana apa-apa, nggak ada script juga. Saya hanya ingin mengabadikan kegiatan Durga di Mentawai, karena menurut saya idenya sangat luar biasa,” kata Rahung.

Sejak akhir dasawarsa 90, Durga meninggalkan Jogja untuk mendalami kehidupan sebagai seorang disk jockey dan underground artist di Berlin. Seni merajah tubuh bukan hal asing bagi Durga, ia sudah berkenalan dengan mesin dan tinta sejak menjadi mahasiswa ISI dan “terlibat” dengan komunitas punk generasi awal di Jogja. Pada 2005, dengan semangat petualangannya, Durga kembali meninggalkan Indonesia menuju Los Angeles, di kota ini Durga mendapatkan inspirasi dari Sua Sulu Ape di Black Wave Studio Tattoo untuk belajar kembali tentang tato tradisi Nusantara. Durga mengamati, sebagai maestro tato tribal, Sua Sulu Ape sering mengunjungi Borneo, Samoa dan Tahiti untuk mendalami tato tradisi yang kini populer kembali.

Berbekal pengetahuan yang minim tentang tato Mentawai, Durga mengajak Rahung untuk bergabung. Catatan antropologis seorang peneliti Belanda, Reimar Schefold, dijadikan acuan awal bagi ekspedisi ini. Bantuan datang kemudian dari Universitas Andalas di mana salah satu mahasiswa jurusan Antropologi ada yang berasal dari Mentawai. Mahasiswa inilah yang menjadi penunjuk jalan utama bagi perjalanan Durga dan Rahung.

Durga menjelaskan bahwa budaya tato Mentawai, salah satu budaya rajah paling tua di dunia, sangat terakit erat dengan sistem kepercayaan suku Mentawai, Arat Sabulungan. “Jadi setiap tato memiliki arti dan proses inisiasinya sendiri. Ia menjadi tanda yang disepakati secara umum, menunjukkan status dan personalitas pemakainya,” kata Durga.

Sayang, hari ini tato Mentawai tidak lagi banyak ditemui. “Kita sulit menemukannya di Pagai, namun masih cukup banyak di Sipora…” kata Durga. Terma cukup banyak ini sendiri tidak benar-benar menggambarkan kata ‘cukup banyak’, tato di Sipora pun hanya bisa ditemui pada orang-orang tua dan sikerei (dukun Mentawai) yang kulitnya sudah penuh keriput. “Anak muda Mentawai sudah malu dan menganggap budaya tato itu ketinggalan zaman, primitif” kata Durga. Pola pikir itu dibentuk dari sistem pendidikan modern yang masuk seiring dengan datangnya misionaris dan lembaga bernama negara.

Reportase: Rumah Abu Han

Menurut Pak Lukito, film dokumenter ini bagus secara komunikasi visual—beliau menyebutkan Anak Naga Beranak Naga (dir. Ariani Darmawan) sebagai pembanding—tapi ada beberapa informasi yang perlu diluruskan. Pertama, Pecinan pertama di Surabaya bukan di Kembang Jepun, tapi di Jalan Karet. Kedua, pernikahan keluarga Han dan keluarga The, terjadi di generasi bawah, dan kemungkinan besar karena kebijakan politis. Ketiga, yang nantinya akan diulasnya lebih lanjut, adalah bahwa arsitektur Rumah Abu Han hanya memadukan 2 gaya, yakni gaya Tionghoa dan gaya kolonial Belanda.

Makan, Main, Tertawa

Juli lalu, hampir setiap akhir pekan ruang perpus C2O yang biasanya tenang berubah menjadi penuh aktivitas dan tawa anak. Dalam rangka Hari Anak Nasional (23 Juli), kami mengadakan festival anak untuk semua: Eat, Play, Laugh. Berbagai kegiatan anak & craft kami selenggarakan setiap Sabtu dan Minggu.

Rangkaian acara kami godok dari dua bulan sebelumnya. Panti Asuhan Karya Kasih di Jl. Gembong IV/26 membuat banyak dari kami jatuh hati, dan muncullah ide untuk mengadakan pengumpulan buku, mainan dan baju bekas untuk anak-anak panti. Atas saran dari berbagai anggota, beberapa tempat dan komunitas kami tinjau untuk kerjasama. Kak Nitnit dan Kak Okta dari Media Sugesti, Teater Maja, Ayos Purwoaji, dan Pak Slamet A. Sjukur dengan ringan tangan turut meramaikan acara ini. Seiring dengan berjalannya acara, banyak pula individu dan komunitas yang dengan spontan mendukung acara kami, seperti GABI Vihara Buddhayana Surabaya, Persaudaraan Muda-Mudi Vihara Buddhayana Surabaya, Nitchii Drawings, Gathotkaca Studio, dan Garasi337.

Kebetulan, ayah ibu Jasmine, sahabat cilik kami yang kami kenal melalui workshop tahun lalu, ingin mengadakan pameran gambar anak. Dengan kepolosan dan produktifitas menggambarnya yang luar biasa, Jasmine banyak menginspirasi kami. Pembukaan pamerannya (17/7) ramai dihadiri dan penuh dengan tawa kecil pengunjung melihat karya-karyanya yang lucu dan jujur. Reportasenya bisa dibaca di: http://c2o-library.net/2011/07/mari-anggukkan-kepala-untuk-sebuah-keberanian/

Esok harinya kami lanjutkan dengan workshop membuat mainan, Re+Make-Re-Use Toys. Ayos dan Heroes CT, komunitas penggemar dan pembuat mainan yang terdiri dari berbagai mahasiswa DKV dan Despro, memberi workshop yang mencerahkan cara-cara membuat mainan lucu dari bahan bekas. Peserta-peserta cilik membawa pulang mainan tank, pesawat terbang, kura-kura (dan alat pengusir nyamuk milik Tinta, sangat berguna di musim panas ini!) yang mereka buat sendiri dari kardus, benang dan kancing. Reportasenya bisa dibaca di: http://c2o-library.net/2011/07/report-remake-reuse-toys/

Tanggal 23-24 Juli, di akhir pekan Hari Anak Nasional, C2O dihias dengan berbagai hiasan Eat, Play, Laugh. Kami dan pengunjung-pengunjung cilik bergabung teman-teman Karya Kasih untuk menonton hypnotic storytelling dari Kak Nitnit mengenai hiu yang murah senyum. Di belakangnya, Kak Okta memutarkan berbagai musik dan sound effect. Duo yang enerjik dan lincah.

Esoknya, giliran Teater Maja menghibur kami dengan pentas boneka. Kaka, Rici, dan Mba Yuli meminjamkan tikar mereka untuk lesehan penonton. Peserta Cookie Decorating Workshop menonton sambil memakan lollipop cookies yang mereka hias sebelumnya.

Hari Sabtu terakhir, Rici, Angga, Tinta, Kaka dan Pauline berkumpul di C2O pk. 11.00, dan bersama-sama berangkat ke Panti Asuhan Karya Kasih untuk menyerahkan hasil donasi Toys for Tots, makan siang dan bermain bersama Puput, Monik, Rama, Markus dan teman-teman. Ajeng, Andre dan Ari menyusul, bertemu langsung di Panti. Tak ketinggalan Kak Nitnit dan Kak Okta turut datang meramaikan, dan ternyata, 30 Juli adalah hari ultah Kak Nitnit! Semoga panjang umur dan sehat selalu.

Hari terakhir penutupan, kami mengundang Pak Slamet A. Sjukur, yang memberi workshop komposisi musik yang lucu tapi jitu, dengan hanya menggunakan suara-suara yang dihasilkan tubuh kita sendiri tanpa alat (musik). Dibuatkannya juga di tempat musik khusus untuk Kak Nitnit. Menutup acaranya, Pak Slamet mengucapkan, mungkin saat ini kita memang kekurangan spontanitas dan pendekatan yang holistik dalam menikmati proses bermain dan belajar. Ada banyak kesenangan, pembelajaran dan permainan seru yang kami dapatkan melalui Eat, Play, Laugh. Kami harap begitu pun semua pengunjung dan peserta menikmati acara ini.

Terima kasih, kegiatan ini tidak akan berlangsung tanpa dukungan, perhatian, dan waktu yang telah teman-teman berikan untuk acara ini. Sampai jumpa di Eat, Play, Laugh berikutnya tahun depan! Nantikan foto-foto dan video acara di website kami, http://c2o-library.net

—————————————————–
Much thanks, love and respect to: Anitha Silvia (sales & promo), Andriew Budiman (Visual stylist), Pauline Sen (fotografi), Ajeng Kusumawardani, Ari Kurniawan, Hendra surya Hadiwijaya, Kaka Juli Suharto, Rici Alric Kristian, Angga, Reza (Garasi337), Dwi Putri Ratnasari
Pengisi acara: Jasmine, Pak Ramok, Bu Ike | Agus Pamungkas, Rendra Firdaus (Heroes Ct) | Ayos Purwoaji (hifatlobrain) | Kak Nitnit, Kak Okta (Media Sugesti) | Teater Maja | Mama Titien, Rama, Puput, Monik, Markus, dkk (Karya Kasih) | Slamet A. Sjukur
Media: Colors 87.7FM, Tabloid NOVA, BCTV, Surabaya City Magz, SBO, RCTI.
Camera from Erlin G. | Handycam from Soe Tjen M.
Donatur Toys for Tots untuk Karya Kasih: GABI Vihara Buddhayana Sby, Pauline Sen, Ajeng Kusumawardani, Ari Kurniawan (mainan), Gathotkaca Studio, Kaka J. Suharto, Nitchii Drawings, Jay Hartarto, Dima, Yoyo, Bu Ivan & Cininta
Hasil Donasi: Buku tulis, buku gambar, 3 kantong+2dus baju, 1 dus buku, 30 nasi kotak, 15 Happy Meal, 24 cupcakes, donat, es krim, juicer, uang kas.
Sumbangan uang dapat ditransfer langsung ke pengurus panti: Bank BRI 3138-01-007384-53-2 cab. Diponegoro
A/N Damai Kristina (telp 081332736296)

Reportase: Mari Anggukkan Kepala Untuk Sebuah Keberanian

Hari ini saya bangun dalam keadaan fresh, setelah semalam dapat beristirahat dengan kualitas tidur yang amat baik. Kita telah melalui hari besar kemarin. Sebuah hari yang menandai langkah awal jasmine menjemput takdir terbaiknya. Sebuah pameran yang berkisah tentang perjalanan ‘trance’ nya selama 3 tahun terakhir. Tentu saja ini akan menjadi sebuah pengalaman awal yang akan mengajaknya untuk terus berkarya di masa yang akan datang. Ketika jasmine adalah inspirasi bagi kami orang tuanya, karyanya sendiri mudah-mudahan akan menjadi inspirasi bagi orang lain. Kemarin kami lebih banyak mendengar bahwa karya jasmine membuat isi kepala mereka menjadi penuh, ingin segera menciptakan sesuatu, daripada mengatakan bahwa gambarnya bagus. Jasmine ternyata berhasil menjadi inspirasi bagi mereka. Kami cukup terharu dengan pengantar yang ia sampaikan di hadapan audiens. Kami nyaris tidak mampu mendengar konten pembicaraan yang ia uangkapkan secara verbal, hati kami sudah terlebih dulu dipenuhi dengan keharuan yang biru ketika ternyata ia memiliki keberanian untuk mempresentasikan dirinya dihadapan banyak orang yang kebanyakan tidak ia kenal.

Pada sesi berikutnya, setiap orang mulai melihat karya-karyanya. Jasmine sudah mulai ditandai melalui karyanya. Sebuah refleksi tentang hidupnya, isi kepalanya dan apa yang hendak ia katakan melalui gambar-gambarnya. Dia tidak lebih baik dari kebanyakan gambar yang dihasilkan anak-anak lain. Tapi dia mampu mengangkat keunikannya sendiri. Dimana kami seringkali juga dibuat bingung dengan kecepatannya dalam menarik garis. Antara terprediksi dan tidak terprediksi. Dia nyaman di zona itu, dan tampak ‘kurang peduli’ apakah orang lain mampu menangkap pesannya atau tidak. Pesan yang disampaikan hampir tak bertendensi. Ia merasa bebas, itu yang terpenting.

Pada sebuah sudut seorang temannya bahkan mulai bisa menikmati komik sederhana yang ia buat. Coba lihat, dia membacanya seperti sedang membaca komik yang dibuat orang-orang tenar di gramedia sana. Karya jasmine bisa juga membuat anak lain ‘trance’ ketika menikmatinya. ‘Trance’ Jasmine ternyata menular. Beberapa orang dewasa tampak terpingkal-pingkal dan mulai menggelengkan kepalanya, semua terjadi karena membaca komik jasmine. Mungkin kalau dia sudah dewasa, ia akan melihat semua pemandangan ini dengan perasaan tertentu untuk dirinya sendiri. Tapi saat ini dia tetap anak-anak, yang ketika bertemu dengan teman seusianya dorongan untuk bermain tetap mencuat secara wajar. Jasmine tetap anak-anak dan akan terus jadi anak-anak di mata kami.

Saya ingin menampilkan beberapa karya jasmine di bawah ini. Dengan juru display sang ayah, sebuah sudut ruangan perpustakaan C2O disulap menjadi galeri dimana karya-karya jasmine bisa kita nikmati. Berkenaan dengan ini kamipun amat mengucapkan syukur, karena ternyata saya dan suami masih punya energi untuk menjadi manager sang artist cilik, di sela-sela kesibukkan kami ‘mengurus negara’. Maaf sayang, energi kami untukmu hanyalah energi sisa. Tapi kami senang melakukannya. Jasmine adalah aset baik bagi kami maupun bagi bangsanya. Kalau kemarin dia bisa tidur siang dengan nyenyaknya, sementara kami sibuk bolak balik bahkan tak sempat mandi, itu semua kami lakukan karena komitmen kami sejak awal untuk menjadi pendukungnya. Ternyata berat jadi manager artist, kerja Rodi (jadi rodist), sementara sang artist santai, pulang sekolah, makan siang dan tidur siang. Uwehehehe…..

Kami beruntung dikelilingi teman-teman yang hebat, support kalian membuat semua ini berjalan pada rel nya, menggenapkan energi sisa kami. Kami hanya dapat menyerahkan semua pada Tuhan untuk membalas semua kebaikan dan support kalian. Kat dan C2O crew, yang telah berani menjadi media untuk karya-karya jasmine ; Andriew budiman, selaku makelar pameran, yang telah mendorong kami untuk berani menyelenggarakan pameran ini ; Pak Ivan dan Bu Ivan yang selalu mensupport kami untuk terus memperhatikan bakat jasmine, meningkatkan keberanian jasmine dan selalu mengingatkan untuk jangan sekali-sekali memasukkan jasmine ke sanggar-sanggar seni atau les gambar ; Mak jum yang telah setia mendampingi jasmine sejak ia baru saja di lahirkan hampir 7 tahun yang lalu ; sekolah-sekolah jasmine, teman-teman jasmine, juga teman-teman ayah dan bunda jasmine ; juga sponsor-sponsor lain yang telah berani membuat semua jadi terlaksana. Kalian semua sudah membuat jasmine menjadi berani, kami menjadi berani, dan kita semua menjadi berani. Kami hampir tak pernah punya mimpi sebelumnya, namun begitu semua tampak nyata saat ini.

Bagi yang masih ingin melihat karya jasmine, silahkan datang ke C2O Library, Jl. Dr. Cipto No.20 Surabaya (seberang Konjen USA). Karya masih akan di gelar hingga tanggal 30 Juli 2011. Terima Kasih.

Reportase: Membuat mainan di Akhir Pekan

Minggu sore, 17 Juli 2011, Nadhif, Ayesha, Revy, Firly dan Selvi berkumpul di ruangan perpustakaan C2O untuk mengikuti workshop Re – Make + Re – Use Toys. Dalam workshop ini, Heroes Ct, komunitas penggemar dan pembuat toys, dan Ayos Purwoaji memperagakan pengolahan dan pembuatan mainan dari barang-barang bekas seperti kardus, kancing, benang dengan menggunakan gunting dan lem.

Meskipun awalnya anak-anak ini tampak bingung melihat contoh mainan-mainan daur ulang yang dibawa Heroes Ct, dengan cepat mereka turut asyik bergabung membuat mainan mereka. Menarik melihat bagaimana dari bahan-bahan sederhana ini, mereka bisa membuat berbagai boneka: kepiting, kura-kura, keong, mainan tank, pesawat terbang, dan lain sebagainya.

Ingatkah saat kita kecil dan membuat mainan sendiri, entah mainan karet, kertas lipat, daun singkong, kulit jeruk atau batok kelapa? Dari kardus-kardus bekas yang kita bayangkan sebagai lorong-lorong dan rumah-rumahan? Hal-hal yang sederhana ini bermain-main dengan dunia imajinasi kita. Sayangnya, daya imajinasi dan kreatifitas spontan seperti ini makin terkikis dari kehidupan kita sehari-hari. Mungkin salah satunya karena saat ini mainan-mainan modern begitu membanjir di mana-mana. Ayos juga menceritakan sedikit mengenai permainan-permainan tradisional yang makin menghilang. Anak-anak dengan mudah membeli mainan jadi yang menarik dan dipenuhi berbagai kecanggihan terkini. Tak jarang mereka jauh lebih piawai daripada orang dewasa dalam menggunakan handphone, Blackberry, atau perangkat elektronik terkini lainnya.

Bukan berarti kita hendak menentang penggunaan alat-alat elektronik tersebut. Tapi kenapa tidak kita sekali-sekali kita sedikit mencoba alternatif lainnya, yang dapat dibuat dari barang-barang (bekas) sekitar? Atau menengok kembali dolanan lama? Selain merangsang sistem kognisi dan kreatifitas yang berbeda, proses membuat mainan sendiri juga mendekatkan si anak dengan mainannya. Terlalu sering, membeli mainan jadi juga membuat anak cepat bosan dengan mainannya. Mungkin dengan melibatkan anak dalam proses pembuatan mainan mereka sendiri, dapat membuat mereka sedikit lebih menghargai dan mendekatkan mereka dengan hasil karya mereka sendiri.

Paling tidak, begitulah harapan kami untuk workshop kecil ini. Terima kasih banyak kepada Heroes Ct. dan Ayos Purwoaji atas workshopnya yang mencerahkan. Bagi yang kelewatan acara ini, masih ada banyak rangkaian acara Eat, Play, Laugh lainnya selama akhir pekan di bulan Juli: hypnotic storytelling, pentas boneka, workshop menghias kue, dan workshop komposisi musik.

Untuk jadual Eat Play Laugh, lihat: http://c2o-library.net/2011/07/eat-play-laugh/
Keterangan lebih lanjut, hubungi: c2o.library@yahoo.com atau 031-77525216. Sampai ketemu!

Reportase: AeroSon, dunia paralel audio-visual

Kita mendengarkan musik sambil melihat wujud visualnya yang bergerak seiring. Dunia paralel audio-visual.

***

Sabtu sore, 18 Juni 2011, pengunjung mulai berdatangan, menempati kursi-kursi yang telah disediakan, untuk menyaksikan pemutaran film AeroSon, musik grafik karya komponis Belanda, Arno Peeters. Dalam film ini, kita mendengarkan musik elektro-akustik sambil melihat visualisasinya. Sore itu, kami beruntung sekali dapat berdiskusi bersama penggagas acara ini, yaitu Slamet Abdul Sjukur, maestro musik dan komponis kelahiran Surabaya dengan berbagai prestasi dan penghargaan internasional.

Apa itu musik elektro-akustik? Slamet memberi pengantar mengenai musik elektro-akustik, dan perjalanan pergantian nama penggolongannya: musik konvensional, musik kongkrit, dan musik eksperimen. “Tapi semua musik juga eksperimen, jadi akhirnya, dipilihlah musik elektro-akustik, yang gamblang menjelaskan penggabungan teknologi elektronik dengan akustik.”

Untuk memberi gambaran, sebelum film dimulai, kami mendengarkan petikan karya Pierre Henry, Variations pour une Porte et un Soupir (Main-main dengan Pintu dan Nafas): Balancement (Berayun-ayun), Chant (Dendang) dan Éveil (Menggeliat). Dengan hanya menggunakan permainan suara pintu dan nafas—dua hal yang begitu sederhana, kita bisa merasakan, membayangkan berbagai gestur dan perasaan. Sesuai dengan judulnya, ada kesan bermain-main di ayun-ayun, menggeliat bangun, jenaka sekaligus sensual.

“Musik bukan lagi sekedar obyek, tapi juga subyek, dengan kemampuan menangkap dan ditangkap.” Terkadang, saking terpakunya pada hal-hal yang kasat mata, kita melupakan indra lainnya. Bunyi-bunyian di sekeliling kita, bisa menjadi musik yang mengharukan. “Termasuk kentut.”

Film ini dibuat oleh Arno Peeters di tahun 1996, mengenai bunyi di sekeliling kita yang terus menerus berubah dan bergerak. Bunyi-bunyian peradaban masyarakat Indian Makaron di Amazon, digabungkan dengan bunyi-bunyian teknologi seperti bunyi dot-matrix printer, pemancar TV, dering telpon, dan radio. Sementara di layar, kami melihat interpretasi visual Arno Peeters.

Narasi teks renungan Arno Peeters, terselipkan dalam film, yang terjemahannya disediakan pula oleh Slamet. Renungan mengenai pertemuan padanan suara dan perubahan makna bunyi, gelombang pendek radio SW yang terasas seperti suara-suara jangkrik atau kodok di Amazona, Hari Perhitungan yang menggabungkan keresahan David Oppeheimer dengan suara-suara gelisah 800 penduduk yang mengakhiri nyawanya atas perintah Jim Jones, jati diri dan berbagai hal lainnya.

Pemutaran dilanjutkan dengan diskusi. Sehubungan dengan visualisasi Arno Peeters yang terkadang bagi beberapa pengunjung dirasa sedikit tidak sinkron dengan musiknya, di sini dibahas dominasi budaya visual yang kemudian kerap mengabaikan indra lainnya, dan hal-hal yang “abstrak” yang tidak terlalu diberi tempat dalam ruang “logika”. Meskipun di sini, Pak Slamet tidak terlalu mempermasalahkan apa yang disebut “abstrak”. Namun, dibahas di sini bagaimana bayi, dan beberapa orang, “menonton bunyi.” Bayi, sampai usia 2-2.5 tahun, tidak bisa membedakan apa yang dia lihat ataupun dia dengar. Jika dia melihat warna biru, terdengar pula bunyi, begitu pula sebaiknya. Di sini, bisa dilihat bahwa pemisahan-pemisahan logika audio dan visual itu dibangun. Terasa di sini pentingnya pendekatan yang lebih menyeluruh, holistik, dalam mengamati sekeliling kita, pendekatan yang saling berkaitan dan tidak terpisah-pisahkan.

Terkait dengan banjirnya berbagai peralatan elektronik dan software canggih zaman sekarang—yang dapat menirukan berbagai musik “tradisional”—Benny Wicaksono menanyakan dan menyatakan kerinduannya atas proses pembuatan yang masih analog dan sederhana, tapi penuh kreatifitas.

Di sini, Slamet memberi contoh musik Pierre Henry yang diputar sebelumnya. “AeroSon itu masih baru, dibuat tahun 1996. Sementara musik Pierre Henry tadi, bahannya cuma pintu dan nafas. Itu dibuat tahun 1948. Sementara kalau kita lihat sekarang, kemajuan semakin hebat. Semakin mudah membuat musik, tapi tetap ada masalah kreatifitas. Jadi bukan kemudahan yang menjamin.”

Sekitar jam setengah sembilan, acara kami akhiri. Pengunjung yang tinggal membantu mengemasi peralatan dan perabotan. Di dalam ruangan, kami lanjut bercanda dengan Slamet, yang mengaku lebih suka dipanggil Mas ketimbang Pak yang terdengar sangat birokratis DPR, tapi sengaja tetap kami panggil Pak, hehehe… Malam yang menyenangkan dan berkesan. Terima kasih kepada Mas Slamet, VIDEO:WRK 2, dan semua orang yang telah membantu meramaikan acara ini.

***

Booklet pengantar dan terjemahan adegan AeroSon dapat diunduh di:
http://c2o-library.net/wp-content/uploads/2011/06/AeroSon-web.pdf

Pemutaran dan diskusi AeroSon adalah bagian dari pra-acara VIDEO:WRK 2, Surabaya Video Festival.

Reportase: Talkshow Garis Batas

Minggu, 15 Mei 2011, menjelang pukul 6 sore, pengunjung mulai berdatangan di C2O untuk acara bedah buku Garis Batas: Perjalanan di Negeri-negeri Asia Tengah. Cuaca sedikit mendung, gerimis turun rintik-rintik. Ajeng, moderator untuk malam ini, sudah siap semenjak 2 jam yang lalu. Dengan sedikit khawatir Rhea, koordinator GoodReads Surabaya, mengabari, “Mas Agus sakit, sepertinya datangnya bakal mepet.”

Pukul 6 sore tepat, Agustinus, sang penulis Garis Batas, datang, tergopoh-gopoh memasang laptopnya ke proyektor. Dia tampak menghembuskan nafas lega setelah video slideshow photo-photonya siap terputar untuk acaranya.

Ajeng memulai acara dengan memperkenalkan Agustinus Wibowo, seorang petualang dan pengembara, yang lahir di Lumajang di tahun 1981. Lulus dari SMA 2 Lumajang, ia sempat menempuh 1 semester jurusan informatika di ITS, sebelum pindah ke Fakultas Komputer Universitas Tsinghua di Beijing. Garis Batas adalah buku keduanya yang diterbitkan oleh Gramedia setelah Selimut Debu. Keduanya merupakan kumpulan catatan perjalanan, sebagian darinya pernah dimuat di kolom “Petualang” Kompas.

Jika Selimut Debu menceritakan perjalanan Agus di Afghanistan, Garis Batas menceritakan perjalanannya keliling Asia Tengah: Tajikistan, Kyrgyzstan, Kazakhstan, hingga Uzbekistan dan Turkmenistan. Ribuan kilometer yang dilaluinya ia tempuh dengan berbaga macam alat transportasi seperti kereta api, bus, truk, hingga kuda, keledai dan tak ketinggalan jalan kaki, dari tahun 2006-2007.

Berbeda dengan Selimut Debu yang lebih menonjolkan sisi petualangan dan kehidupan Afghanistan, Garis Batas banyak menampilkan refleksi Agustinus atas apa yang ia lihat dan alami di Asia Tengah. Kenapa judulnya Garis Batas? “Garis batas adalah kodrat manusia. Tanpa disadari, kita adalah seonggok tubuh yang selalu membawa garis batas portabel ke sana ke mari. Garis batas menentukan dengan siapa kita membuka hati, dengan siapa menutup diri.” Begitu pula dengan negari-negeri. Ada garis batas, ada proses pembentukan identitas yang terus berjalan, terkadang menembus batas-batas baru, tergadang bergolak, terkadang membeku. Dalam bukunya, Agustinus kental merefleksikan hal ini, dan juga membuat perbandingan-perbandingan dengan situasi di Indonesia seperti pengkotak-kotakan suku, agama, etnis, dan penggunaan bahasa.

Yang menarik dari kedua buku catatan perjalanan ini adalah, Agustinus tidak memandang perjalanannya sebagai target ataupun suatu misi untuk menguasai. Ia tidak menkalkulasi dalam berapa hari ia harus melewati berapa negara, atau menggunakan berapa banyak biaya. Cerita-ceritanya mencatat perjalanan, pengalaman, refleksi sehari-harinya. Ia tidak menyombongkan diri mengenai tempat-tempat yang telah ia kunjungi, atau makanan-makanan apa yang telah ia nikmati. Ia mengundang pembaca untuk turut tenggelam dalam petualangannya, sembari turut mengingatkan pembaca juga untuk berhati-hati pada sudut pandang eksotisme yang me-“liyankan”.

Sekitar 40-50 pengunjung terkumpul di C2O, antusias mendengarkan dan berpartisipasi dalam diskusi yang mengalir. Di sela-sela diskusi, Agustinus juga memutar video slideshow foto-fotonya di Asia Tengah dan Afghanistan, beberapa dapat dijumpai dalam bukunya. Banyak refleksi dan pengalaman perjalanan menarik yang ia ceritakan. Mulai dari membacakan secepat mungkin pembukaan UUD ’45 untuk menghindari sopir korup, mata uang terberat di dunia (saking kecilnya nilainya), mengkal melihat perbedaan yang begitu kontras dalam satu masyarakat yang berseberangan sungai (Afghanistan dengan Kirgiztan), dan lain-lain.

Acara berlangsung dengan seru, hingga tak terasa jam delapan telah lewat. Dengan sedikit menyesal, Ajeng menutup acara talkshow, yang kemudian dilanjutkan dengan sesi tanda tangan, tanya jawab, dan berbagai bahasan kecil-kecilan. Banyak terima kasih kepada Agustinus, moderator kesayangan kami Ajeng Kusumawardani, Rhea Siswi dari GoodReads Surabaya atas kerjasamanya, dan Gramedia Surabaya atas dukungannya. Acara yang sangat berkesan, dan kami berharap karya ini dapat dinikmati masyarakat luas.

Reportase: Book’s Day Out

Untuk memperingati Hari Buku Dunia pada tanggal 23, selama bulan April lalu kami merayakan Book’s Day Out dengan berbagai kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan buku dan literasi.

Di tahun pertama Book’s Day Out, kami memfokuskan pada sosialisasi dan peningkatan kesadaran akan keberadaan berbagai tempat literasi di Surabaya, serta pendekatan projek yang partisipatif and interaktif. Kami percaya literasi adalah membaca kata dan dunia. Partisipasi, interaksi, pemahaman dan kesenangan menjadi kata kunci untuk memotivasi gemar membaca. Suatu dialog aktif dengan pembacanya melalui berbagai kegiatan kreatif, suatu media untuk memahami maupun mengekspresikan diri di lingkungan sosialnya.

Untuk itu, highlight utama kali ini adalah pembuatan Peta Buku Surabaya, peta kota yang dapat menunjukkan lokasi tempat-tempat yang berhubungan dengan buku di Surabaya, dan projek Postcards from Bookworms, projek kolektif di mana khalayak umum dapat menginterpretasikan buku melalui kartu pos.