Report: Only a Girl

Sabtu, 23 Oktober 2010, pk. 17.30 WIB, kursi-kursi mulai dipenuhi oleh pengunjung.  Kru GPU Surabaya, telah lama bersiap di depan.  Buku-buku nominasi Khatulistiwa Literary Award, dijual di meja sirkulasi depan dengan diskon 10% hanya untuk hari itu.  Cuaca Surabaya yang panas seperti biasa, tidak meredekan antusiasme untuk acara peluncuran buku “Only a Girl: Menantang Phoenix” yang berlangsung sore itu di C2O.

Kami semua terkesan dengan Lian Gouw, penulis buku Only a Girl yang khusus datang ke Indonesia untuk peluncuran terjemahan bukunya, setelah 50 tahun lebih meninggalkan tanah airnya untuk menetap di Amerika.  Di usia senja 76 tahunnya, beliau masih tampak bugar, terus bersemangat untuk menulis, giat belajar untuk meningkatkan kemampuan menulisnya, bahkan menjual sendiri karya-karyanya! Didampingi oleh Soe Tjen Marching, acara diskusi berlangsung dengan interaktif, menghibur sekaligus informatif.

Walaupun sedikit terbata-bata, Lian Gouw bersikeras untuk melangsungkan acara dengan bahasa Indonesia.  Beliau mengutarakan ketidak nyamanannya jika melihat istilah-istilah Inggris digunakan dengan clemang-clemong, dicampur aduk dalam bahasa Indonesia, demi sekedar “gengsi”.  “Banggalah dengan bahasamu sendiri, karena tanpa bahasa, kamu tidak punya suara,” tegasnya.

Tiga generasi perempuan Tionghoa di Bandung, 1930-1952

Dalam masyarakat Tionghoa pun, ada berbagai golongan dan keanekaragaman. Tidak semuanya pro-Tiongkok. Buku Only a Girl menawarkan pandangan baru yang jarang dituliskan di Indonesia, ujar Soe Tjen.

Dengan latar belakang Bandung di tahun 1930-1952—kota di mana penulis dibesarkan, Only a Girl menceritakan kehidupan dan pergulatan tiga generasi perempuan Tionghoa.  Nanna yang berusaha mempertahankan dan menanamkan nilai-nilai tradisional Tionghoa sementara anak-anaknya lebih memilih mengikuti cara hidup berbaur dengan masyarakat kolonial Belanda.  Carolien, putri bungsunya yang menjunjung nilai Belanda, dengan berani menentang keluarganya untuk menikah dengan lelaki yang “sepadan dengannya” sekedar demi mencari kemapanan hidup.  Pilihan Carolien ini pun diakhiri dengan perceraian karena sang suami, Po Han, meskipun simpatik dan lembut hati, tidak dapat menghidupi keluarganya karena obsesinya kepada fotografi.  Namun, di sini perceraian tidak menjadi sesuatu yang salah, tapi menjadi pilihan.  Mereka semua, bersama Jenny, putri Carolien yang dibesarkan dalam gaya hidup Belanda, berhadapan dengan berbagai tantangan setelah Belanda jatuh dan tidak lagi dipandang pasca-kemerdekaan.

Menurut Soe Tjen, inilah salah satu daya tarik buku ini.  Sebagai sisa-sisa larangan menyinggung SARA dari era Orde Baru, di Indonesia jarang sekali kita jumpai novel tentang Tionghoa, apalagi yang pro-Belanda.  Kalaupun ada, hampir semuanya merujuk ke tradisi Tiongkok.  Di sini kita bisa melihat keanekaragaman masyarakat Tionghoa di Indonesia—ada yang pro-Belanda, pro-Cina, pro-pribumi, dengan segala permasalahan dan pergulatannya.  Dari gaya hidup, bahasa, nama, dan kebiasaan yang muncul dalam novel ini, kita bisa melihat berbagai campur aduk perasaan, ideologi, dan pertanyaan-pertanyaan lainnya yang kerap terabaikan, seiring dengan pergeseran-pergeserannya. Sebagai contoh, jika pemaksaan pergantian nama Tionghoa menjadi nama Indonesia kerap dibahas setelah jatuhnya Orba, kita jarang mendengar mengenai masyarakat Tionghoa yang mengubah namanya menjadi nama Barat demi akses ke “modernitas”.

Sebuah testimoni tentang kebangkitan Indonesia menuju Kemerdekaan sebagai sebuah pengalaman manusia

Pengunjung acara, biar panas tetap antusias.

Satu lagi yang menonjol dalam novel ini adalah, karakter-karakternya tidak hitam putih.  Tidak ada yang sepenuhnya benar ataupun heroik.  Pendekatan yang Lian Gouw terapkan, sangat manusiawi.  Tapi sebagai novel berlatar belakang sejarah, wajar jika banyak pembaca kemudian menduga-duga sejauh mana kejadian, pengalaman pribadi, karakter yang Lian kenal muncul dalam buku ini.  Namun Lian dengan tegas menjawab, bahwa tokoh-tokoh ini tidak mewakili Lian maupun tokoh-tokoh yang dia kenal di zaman itu.

Sebagai penulis, Lian mengingat pengalaman-pengalaman dan karakter-karakter yang dijumpainya, dan satu karakter dalam ceritanya, bisa jadi peleburan dari berbagai karakter yang pernah ia jumpai dalam hidupnya.  Karakter-karakter itu muncul, menurut Lian, dan ia harus membiarkan mereka hidup, dan tidak memaksakan sifat-sifat dan pendapat penulis sendiri ke dalamnya.  Untuk membuat mereka hidup, Lian menggunakan analogi di mana ia harus menjadi “wartawan” bagi tokoh-tokoh itu, mewawancarai mereka, mencari latar belakang, kesukaan mereka dan lain sebagainya.

Proses Pembuatan: Menulis lagi di usia senja

Versi bahasa Inggris

Perempuan penggemar scuba diving ini bercerita, bahwa sebagai anak tunggal, orang tuanya sangat protektif kepadanya, sehingga ia tidak boleh banyak bermain di luar.  Untungnya, keluarganya mempunyai banyak buku, dan ia pun menghabiskan semua waktu luangnya membacai buku-buku tersebut, dan bahkan menciptakan dan bermain dengan teman-teman imajiner dari buku.  Semenjak kecil, dia sudah sering menulis cerpen, tapi semuanya ditulisnya dalam bahasa Belanda. Beliau selalu ingin menjadi penulis, atau paling tidak, wartawan.  Tapi sebelum keinginannya itu sempat tercapai, Revolusi Indonesia meletus.  Lian diwajibkan menikah, dan harus memendam impiannya itu.  Barulah 40 tahun kemudian, ia dapat kembali menjalankan impiannya.

Namun setelah lama menggunakan bahasa Inggris di Amerika, bahasa Belandanya meskipun lancar, tidaklah cukup untuk menulis sebuah buku, begitu pun bahasa Inggrisnya.  Lian kemudian kembali kuliah, mengikuti berbagai kursus dan lokakarya menulis, dan membaca berbagai buku-buku serta memperhatikan teknik penulisan.

Perlahan-lahan, ia kembali menulis, pertama-tama dalam bentuk cerpen, di mana tokoh-tokoh yang kemudian juga muncul dalam novelnya, mulai bermunculan.  Novel ini dikerjakan selama 7 tahun, dengan 4 kali revisi.  Keinginannya menulis cerita ini terbangkit ketika ia berjalan-jalan di belakang rumahnya, bagaimana pohon oak menjadi pohon kelapa, rumput-rumput liar menjadi sawah, dan ia merasa mendengar suara jangkrik dan tokek di sekitarnya. Ia sadar, bahwa kisah-kisah ini berasal dari Indonesia, dan ia harus menuliskannya, dan membawanya pulang ke tanah airnya.

Penerbitan di Amerika

Penerbitan di Amerika, sebenarnya juga cukup njlimet, kata Lian.

Lian memberi sedikit informasi mengenai situasi penerbitan yang njlimet­ di Amerika. Di sana, untuk diterbitkan di penerbit-penerbit besar seperti Penguin, HarperCollins, dsb., diperlukan sedikitnya 2 tahun proses, dan harus melalui agen, yang nantinya harus dibayar jika buku selesai diterbitkan.  Lian Gouw tidak mau membayar untuk diterbitkan.  Dia ingin orang membeli karyanya karena menyukainya.  Karenanya, dia menggunakan apa yang disebut “Innovative Publishing” di Publish America.  Hingga saat ini, lebih dari sepertiga produksinya laku terjual, dan bahkan dibeli oleh berbagai perpustakaan di Amerika yang selektif dalam pemilihan-pemilihan buku koleksi baru mereka.

Sampul & Judul versi terjemahan Indonesia

Versi bahasa Indonesia

Di Indonesia, versi terjemahan buku Only a Girl yang diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama ini berubah judulnya menjadi Menantang Phoenix.  Banyak pengunjung yang mempertanyakan kenapa.  “Saya sendiri pun bingung saat disodori judul tersebut.  Karena, dalam buku ini, sama sekali tidak disebutkan satu burung Phoenix pun, kalaupun ada burung, hanya burung beo dan burung perkutut!” canda Lian Gouw.

Sementara sampulnya berubah menjadi gambar perempuan Tionghoa dengan bibir merah merekah dengan gambar naga di bawahnya.  Kami semua tertawa mendengar ceritanya.  Ternyata Lian Gouw sendiri pun shock saat menerima desain sampul itu dari Gramedia. Sampul aslinya—foto siluet Tangkuban Perahu yang harus dijepret berulang kali di dini hari oleh saudara Lian di Bandung—tidak dapat digunakan karena dikhawatirkan berkesan terlalu “berat” dan serius.  Dan tak disangkal, terbukti penjualan buku terjemahan ini bagus—sejauh ini sudah terjual lebih dari 1000 eksemplar dalam waktu kurang dari 1 bulan.

Only a Girl”, untuk persaudaraan kaum perempuan.

Devi dan Putri dengan pertanyaan mereka yang menarik, memenangkan 2 buku gratis, berpose dengan penulis Lian Gouw

“Kenapa judulnya Only a Girl, seolah-olah bertentangan dengan perjuangan Carolien, Nana dan Jenny?” tanya Putri.  Lian menjawab, dalam tradisi Tionghoa, perempuan kerap menduduki posisi di bawah laki-laki.  Dan ibu yang tidak melahirkan keturunan laki-laki, sering dicerca oleh keluarga suaminya.  Frase “Only a Girl (hanya seorang perempuan)” kerap diucapkan kepada pihak perempuan dalam novel ini. Dan untuk persaudaraan kaum perempuan lah, buku ini dipersembahkan.

***

C2O mengucapkan banyak terima kasih kepada Lian Gouw, Soe Tjen Marching, Dionisius Wisnu & kru GPU Surabaya, Robert Kato, dan seluruh hadirin dan pembaca atas kerjasama dan dukungan acaranya.  Versi terjemahan bahasa Indonesia dapat dibeli di C2O dengan harga Rp.65.000, diskon 10% untuk anggota C2O.  Sementara bagi yang tertarik dengan versi bahasa Inggrisnya dapat dipinjam dari koleksi C2O, yang telah dihadiahkan oleh Lian Gouw.  Terima kasih!

Email | Website | More by »

Founding director, c2o library & collabtive. Currently also working in Singapore as a Research Associate at the Institute of Southeast Asian Studies (ISEAS). Opinions are hers, and do not represent/reflect her employer(s), institution(s), or anyone else with whom she may be remotely affiliated.

Leave a Reply