Dalam buku ini, film di sini diamati sebagai produk budaya, yang dapat dianalisa untuk mempelajari budaya asalnya (Indonesia). Menurut Heider, film-film Indonesia memiliki kharakteristik ke-“Indonesia”-an—sesuatu yang banyak diperdebatkan, mengingat banyaknya unsur daerah di Indonesia. Menurutnya, selain tidak adanya bisnis regional film, film-film Indonesia hampir semuanya menggunakan “bahasa Indonesia” (dengan sedikit frase-frase lokal sebagai bumbu) dan ditujukan untuk orang-orang dari segala propinsi, dengan kekhasan daerah yang diminimalisir. Memang, media film sendiri adalah media baru yang relatif “diimpor”, dengan elemen-elemen “asing”: teknologi kamera, projektor, film, poster iklan, dsb. Tapi memasuki abad ke-20, film menjadi salah satu media terkuat dalam mengekspresikan budaya “Indonesia”, dengan pengaruh kental pada kaum mudanya.
Melalui analisanya, Heider menyorot tema-tema dan fitur yang kerap diidentikkan dengan budaya “Indonesia”, seperti 1) keterikatan sosial (social embeddedness) dan harmoni kelompok >< otonomi individu (individual autonomy); 2) order vs. kekacauan >< baik vs. jahat; 3) pembentukan modernisasi dan pembangunan Indonesia; 4) penceritaan ulang sejarah dan legenda Indonesia; 5) (re)konstruksi tema-tema budaya Indonesia. Di sini dia juga menyorot perbandingan emosi: tidak sesimpel orang-orang Amerika lebih individualistik, Indonesia lebih berorientasi kelompok. Dalam penelitiannya, Heider mengakui tidak menggunakan metodologi yang rapi, dan pilihan-pilihan filmnya pun sedikit banyak dipengaruhi terbatasnya data film lokal (satu kendala yang masih terus mempengaruhi perkembangan film Indonesia). Di sini Heider dengan sadar memilih genre film karena dirasa lebih cocok untuk analisa budaya, dibandingkan dengan auteur film yang dengan sedikit “jaim” (self-conscious) (berusaha) menjauhi konvensi-konvensi standar.