Diskusi kedua dalam rangkaian acara Design It Yourself (DIY 2011) yang diselenggarakan pada tanggal 8 Oktober 2011 ini berlangsung hangat dan meriah. Para pembicara terlihat antusias dalam membedah bersama mengenai praktik dan implementasi dari manajemen desain. Diskusi menjadi lebih menarik karena latar pembicara yang beragam, ada yang berasal dari agensi, ada yang berbasis komunitas, ada juga yang berlatar belakang sebagai seorang lonesome freelancer.
Tapi dari semua pembicara memiliki benang merah yang sama, bahwa manajemen terhadap proses desain itu sangat penting. Namun yang membedakan antara satu pembicara dengan pembicara lainnya adalah pelaksanaan manajerial yang tergantung pada jenis usaha yang dijalankan. Maritjee misalnya, ia memilki jam kerja rutin setiap harinya untuk memudahkan produksi tas hasil rancangannya yang dilakukan oleh para pekerja. Sedangkan Bayu, managing director dari graphichapter, mengatakan bahwa alur manajerial di bironya tidak hierarkis (top-down management), melainkan setara. “Saya nggak ingin mematikan adanya potensi ide baru dari para desainer. Selain itu kami membagi dua pola kerja, satu bagian konsep (dikerjakan oleh para senior desainer) dan satu lagi bagian eksekusi (terkadang dikerjakan oleh para junior desainer, biasanya outsourcing mahasiswa desain)”
Untuk jam kerja, GraphiChapter menerapkan jam kerja biasa seperti layaknya kantor lain, tapi ini tidak berjalan kaku. “Seringkali desainer datang setelah Dhuhur atau sore, biasanya yang datang sore ini mereka yang ingin bermalam di kantor. Aturan main kami fleksibel, asalkan finish by deadline. Jadi misalnya ada waktu seminggu untuk bikin dummy, ya sudah terserah desainer mau mengerjakan kapan saja, asalkan selesai pada waktunya, biasanya H-1 sudah diserahkan,” kata Bayu. Sedangkan Nitchii menerapkan standar waktu yang berbeda. Ia mengerjakan berbagai proyek ilustrasinya di malam hari. “Soalnya aku kan masih kerja di agensi ya, jadi kalo sore pulang kerja, malamnya aku kerjain ilustrasi. Di sini passionku. Dalam waktu dekat bisnis ilustrasi dan craft ini mau aku tekuni secara full-time, sedangkan kerja di agensi jadi sampingan…” kata Nitchii.
Komunitas menjadi bagian penting yang menyokong proses kreatif para desainer. Semua pembicara sepakat akan hal tersebut, termasuk Nitchii dan Maritjee yang tergabung dalam serikat desainer wanita di Surabaya yang bernama BRAngerous. “Komunitas kreatif ini yang bikin kita terus berkarya. Sering kita tukar pikiran atau gagasan meski hanya lewat milis saja,” kata Maritjee. Arghubi, dari Aiola dan Global appleworks mengatakan bahwa menjaga keberlangsungan sebuah komunitas juga bukan hal yang mudah. “Pasti jatun bangun, ada yang datang ada yang pergi. Tapi berbagai kolaborasi kreatif membuat kita bisa terus berdiri sampai hari ini,” kata Ghubi yang turut membangun Global appleworks sejak 2004.
Sharing menarik tentang keberadaan komunitas juga disampaikan oleh MADCahyo, seorang sesepuh di deMaya, desainer muda Surabaya, sebuah komunitas untuk para desainer (muda?) yang beberapa kali menggelar acara kreatif di Surabaya, termasuk Surabaya Design Week di tahun 2008. “Komunitas itu seperti rumah, tapi tanpa sekat, tanpa pintu, dan tanpa tembok. Siapapun boleh keluar masuk dan berkontribusi. Anggota deMaya datang dari mana saja, mulai kelasnya profesor hingga mahasiswa, dari freelancer hingga pemerintah kota. Jadi ini merupakan ladang untuk memperluas pergaulan dan saling bersilaturahmi antar insan kreatif,” kata MADCahyo. Pernyataan sesepuh deMaya ini langsung ditanggapi oleh Bayu GraphiChapter,”Sebagai salah satu anggota deMaya, saya juga dapat relasi dengan pemerintah kota dari milis ini. Jadi ya bisa jadi dengan bergabung di komunitas kreatif, selain memperluas pergaulan kita juga bisa menjaring klien baru yang potensial. Komunitas yang kuat dan sustainable seharusnya bisa hidup dan menghidupi anggota komunitas itu sendiri,” kata Bayu.
Namun berurusan dengan pemerintah sendiri masih menjadi domain yang agaknya rawan bagi para desainer. “Mereka itu masih belum punya regulasi yang jelas untuk menentukan tender-tender desain. Konon proyek bagi para desainer masuknya di sub multimedia, tapi proyek multimedia isinya hanya pengadaan komputer di sekolah-sekolah,” kata Bayu.
“Pemerintah itu kadang labil deh, dulu film Surabaya Grammar kami pernah dikoreksi habis-habisan karena banyak kata-kata pisuhan yang vulgar, eh saat kami mengeluarkan CuloBoyo Juniol, malah kami ditawari tender untuk pendidikan animasi bagi sekolah dasar di Jawa Timur. Bingung deh, apa sih maunya pemerintah ini?” kata Vinka, dari Gathotkaca Studio. Kondisi pemerintah kurang wawasan tampaknya menjadi penyebab lesunya atmosfer kreatif di Surabaya. Jadi, konsepsi “managing the design strategy” yang harus dilakukan dalam wilayah besar itu masih belum ada wujudnya di Surabaya. Meski diklaim sebagai kota yang memiliki ciri khas, namun tidak ada visi yang jelas dari para pelaku kreatif di Surabaya, semua berjalan sendiri-sendiri.
“Saya memiliki manajemen berupa: membagi proyek desain menjadi dua; profitable dan non-profitable. Untuk yang profitable saya bagi dua; governmental project atau non-govermental. Nah saat mengerjakan proyek pemerintah (governmental project) maka harus disiapkan tiga platform mental; putih, hitam atau abu-abu. Bekerja dengan pemerintah itu menurut saya kebanyakan wilayahnya abu-abu,” kata Ghubi.
Sedangkan usul menarik datang dai Jeri Kusuma, seorang desainer freelance, yang sering mengerjakan proyek kreatif untuk pemerintah, “Masih ada banyak celah yang bisa dimasuki oleh para desainer. Pemerintah kota Surabaya ini butuh banyak sekali masukan kreatif untuk menyelesaikan permasalahan kota. Saya pernah mengusulkan beberapa ide dan dari sekian ide itu banyak yang diterima. Tapi bekerja dengan pemerintah memang tricky, apalagi untuk proses pembayaran. Saran saya, pakailah kalender kerja pemerintah. Masukkanlah ide sebelum anggaran kerja baru dibuat,” kata Jeri.
Peran pemerintah dalam mendukung iklim kreatif memang masih dibutuhkan. “Seperti kami para penggiat film, sangat sedikit sekali ruang umum di Surabaya yang bisa kita manfaatkan untuk screening film. Padahal untuk menyewa Balai Pemuda, misalnya, itu butuh uang yang tidak sedikit. Padahal para penonton masuk gratis. Jadinya ya kita membiayai proyek kreatif dari hasil kerja reguler dan penjualan merchandise yang tentu saja hasilnya tidak seberapa,” kata Vinka.
“Saya pernah mengurus ijin merek di pemerintah, tapi sepertinya ribet sekali, jadi ya sampai sekarang saya belum mengurus lagi merek saya,” kata Maritjee. “Saya juga masih nyaman dengan proyek-proyek bukan pemerintah,” kata Nitchii. Dua desainer wanita ini justru punya pandangan menarik tentang strategi marketing. “Kami lebih suka menggunakan media internet yang borderless. Karya kami lebih mudah mendapat apresiasi di luar negeri. Setelahnya, saat banyak orang Indonesia yang sudah aware, baru kami pasarkan produk kami untuk orang Indonesia,” kata Maritjee dan diamini Nitchii. Proyek idealis dengan skala kecil ini tampaknya masih menjadi pilihan yang menarik bagi para single fighter freelancer seperti mereka berdua. “Bahkan proyek kolaborasi gratisan menurut saya jauh lebih menarik, tapi suka pusing juga kalo ada orang luar negeri pesan craft saya, terus saya harus mengurus biaya kirim yang jauh lebih mahal dari biaya produksi craft itu sendiri,” kata Nitchii.
Sedangkan Bayu yang harus menghidupi banyak desainer di bawah kendalinya justru punya pemikiran lain. “Dulu awalnya saya berpikir untuk mencari klien sebanyak-banyaknya. Sampai banting harga di depan klien demi mendapatkan efek word of mouth yang bombastis. Tapi nyatanya itu nggak sustainable. Daripada mengurus banyak klien, sebetulnya lebih baik mengurus sedikit klien tapi benar-benar loyal. Menurut pengalaman saya di GraphiChapter, mengurus tiga klien saja dengan proses desain yang benar, dengan manajemen yang bernar, dan dengan bayaran yang benar pula, kita sudah bisa hidup di Surabaya. Bahkan bisa juga kasih bonus gaji ke para desainer saya. Tapi ya harus itu, semua dikerjakan dengan benar,” kata Bayu. []
Reportase: DIY #1 Introduction to Design
“Ayah, desain itu apa?” tanya Jasmine. Pertanyaan yang sebelumnya dilontarkan iseng oleh Ayos padanya. Pak Ramok, ayahnya, tertawa kecil dan menjawab, “Kamu duduk di sini saja. Mungkin nanti kamu akan tahu jawabannya.”
“Sembilan tahun yang lalu pertanyaan yang mirip pernah dilontarkan juga pada saya, oleh calon mertua saya. ‘Kerjanya apa?’ Kalau saya jawab ‘desainer’, mereka tahu nggak yah? Bisa-bisa malah memancing pertanyaan-pertanyaan yang lebih banyak. Jadi saya jawablah, ‘Dosen’. Dan selesailah semua permasalahan,” lanjut Pak Ramok, disambut gelak tawa para pengunjung.
***
Minggu sore, 2 Oktober 2011, tikar-tikar telah siap di pelataran belakang C2O. Sambil menunggu acara dimulai, ada yang melihat-lihat atau membaca-baca buku. Di ruang kecil di belakang, ruang yang disulap menjadi think thank lab (alias kantor, gudang, sekaligus kamar kos (??) C2O), presentasi untuk malam itu disiapkan.
Memang, ada banyak pengertian desain, entah sebagai cara berpikir (way of thinking), pemecahan masalah (problem solving), sebagai hasil, sebagai proses, sebagai hanya visual, dan lain-lain. Di Design It Yourself (DIY), desain kami artikan sebagai sesuatu yang sangat mendasari aktifitas manusia—penempatan dan pengelolaan apapun untuk mencapai tujuan yang dinginkan adalah proses desain. “Semua orang mendesain, ketika mereka merancang rangkaian rencana, cara, aksi, apapun, untuk merubah situasi yang ada sekarang, menjadi situasi yang lebih baik atau diinginkan,” papar Andriew Budiman dalam presentasinya mengenai DIY 2011 yang membuka acara malam itu. Desain di sini kami pahami sebagai pemikiran yang integral, apalagi di jaman yang semakin mobile dengan sistem berjejaring, makin diperlukan ruang untuk bertatap muka, berdialog, menyikapi perbedaan dan berkolaborasi.
Maka, di tahun pertama Design It Yourself, kami mengangkat tema Contemporary Local Design Scenes dengan tujuan mengumpulkan, meneliti dan memetakan situasi, kondisi, dan permasalahan-permasalahan dalam desain di Surabaya. Fokus utama memang pada dialog dan diskusi, dengan suasana yang santai dan tentunya tidak kehilangan begejegan khas Suroboyoan.
Garis batas
Bedah buku Garis Batas: Perjalanan di Negara-negara Asia Tengah
bersama Agustinus Wibowo, penulis Garis Batas dan Selimut Debu
moderator Lukman Simbah, hifatlobrain.net
Penduduk desa Afghan setiap hari memandang ke “luar negeri” yang hanya selebar sungai jauhnya. Memandangi mobil-mobil melintas, tanpa pernah menikmati rasanya duduk dalam mobil. Mereka memandangi rumah-rumah cantik bak vila, sementara tinggal di dalam ruangan kumuh remang-remang yang terbuat dari batu dan lempung. Mereka memandangi gadis-gadis bercelana jins tertawa riang, sementara kaum perempuan mereka sendiri buta huruf dan tak bebas bepergian.
Negeri seberang begitu indah, namun hanya fantasi. Fantasi yang sama membawa Agustinus Wibowo bertualang ke negeri-negeri Asia Tengah yang misterius. Tajikistan. Kirgizstan. Kazakhstan. Uzbekistan. Turkmenistan. Negeri-negeri yang namanya semua berakhiran “Stan”. Perjalanan ini bukan hanya mengajak Anda mendaki gunung salju, menapaki padang rumput, menyerapi kemegahan khazanah tradisi dan kemilau peradaban Jalan Sutra, ataupun bernostalgia dengan simbol-simbol komunisme Uni Soviet, tetapi juga menguak misteri tentang takdir manusia yang terpisah dalam kotak-kotak garis batas.
Petualangan Agustinus Wibowo di buku ini seakan mengajak kita untuk masuk dan melihat sendiri tempat-tempat yang selama ini tersembunyi di peta dunia. – Andy F. Noya
Acara ini diselenggarakan oleh Lembaga Bhinneka, atas dukungan Perpustakaan C2O dan Hifatlobrain Travel Institute.
Gratis dan terbuka untuk umum.
INFO: cannedbrain@gmail.com
Graphic & Branding
Minggu 9 Oktober 2011
Perpustakaan C2O
Jl. Dr. Cipto 20 Surabaya 60264
INFO: (031) 77525216 / 0858 5472 5932
17.00 – 19.30
DIY Talk Day 3: Graphic & Branding
Pembicara:
Bayu Prasetya (graphichapter)
Jimmy O. (MAM)
Iiko (ikiiko)
Obed Bima (DKV Petra)
Bing Fei (Veith Design)
Moderator:
Andriew Budiman / Ari Kurniawan (Butawarna Design)
Para desainer grafis berikut memiliki spesialisasi masing-masing. Mulai dari desain untuk sektor publik, korporasi, komunitas, hingga tipografi dan seni jalanan. Di hari ketiga DIY Talks, bergabunglah dengan mereka untuk menyatukan perspektif demi mengurai siklus permasalahan desain grafis di Surabaya.
19.30 – 21.00
DIY Screening: Helvetica
Documentary | USA | 80 min | 2007
Film ini diluncurkan bertepatan dengan ulang tahun typeface Helvetica yang ke 50. Sebuah dokumenter tentang tipografi, desain grafis, dan budaya visual global yang akan memberi gambaran bagaimana typeface mempengaruhi kehidupan kita sehari-hari.
Monggo teko, it’s gratis.
Design & Business Management
Sabtu, 8 Oktober 2011
C2O Library
Jl. Dr. Cipto 20 Surabaya 60264
17.00-19.30
DIY Talks Day 2: Design Business & Management
Pembicara:
Bayu Prasetya (Graphichapter)
Arghuby (Aiola Store)
Nitchii (nitchii.net)
Vinka (Gathotkaca Studio)
Maritjee (maritjee.blogspot.com)
Moderator:
Ayos Purwoaji (Hifatlobrain Travel Institute)
Bagaimana sistem kerja dan gaya “ngantor” yang sesuai untuk desainer? Bagaimana pendekatan mereka untuk menaklukkan pasar? Diskusi hari kedua akan membahas bagaimana setiap desainer mendesain sistem dan manajemen yang sesuai dengan entitas mereka masing-masing.
19.30-21.00
DIY Screening: Objectified
Documentary | UK | 2009 | 75 min
Mendokumentasikan proses kreatif dari desainer produk paling berpengaruh di dunia. Ini adalah dokumenter tentang relasi kompleks kita dengan produk di sekitar kita hingga ke desainer dibalik produk tersebut. Melalui objek-objek sekitar, kita dapat belajar mempertanyakan siapa dan akan menjadi apa diri kita.
Introduction to Design
C2O library, Jl. Dr. Cipto 20 Surabaya
Minggu, 2 Oktober 2011, 17.00
17.00 DIY TALKS Day 1
Intro to DIY (Design It Yourself)
Introduction to Design
Panelis:
Bing Fei (Vaith Design)
Josef Prijotomo (Guru Besar Arsitektur ITS)
Anas Hidayat (Republik Kreatif)
Moderator : Ramok Lakoro (DKV ITS)
Diskusi hari pertama dimulai dengan pengantar desain secara umum dan universal. Mulai dari makna kata desain, proses, hingga peranan dan tantangannya dalam peradaban manusia. Semuanya dikontekskan dengan kondisi terkini di masyarakat.Menghadirkan panelis dari disiplin dan modus kreatif yang berbeda-beda sehingga memancing keberagaman perspektif pikiran.
20.00 DIY Screening
The Genius of Design Episode 1 : “Ghosts in the Machine”
Duration 48m
Reportase: Wacana Gender dalam Seni Rupa Indonesia
Sabtu sore, 24 September 2011, tikar-tikar digelar pelataran belakang C2O. Pot-pot rosemary dipasang di sela-sela—pengusir nyamuk sekaligus penghijau mata. Makanan berupa cupcakes coklat vanilla, gorengan, semangka dingin dan es teh limun digelar di atas meja panjang di samping, dijaga oleh Antonio Carlos dan intern favorit kami, Deasy. Erlin datang membawa makarani schotel buatannya, dan langsung …
Continue reading “Reportase: Wacana Gender dalam Seni Rupa Indonesia”
IK’OL’SAN, IKutan ngobrOL SANtai
Komunitas Jejak Petjinan mengadakan IK’OL’SAN, IKutan ngobrOL SANtai bersama teman-teman mahasiswa Magister Kajian Sastra dan Budaya (S2) dari (FIB UNAIR) Fakultas Ilmu Budaya Universitas Airlangga. Beberapa saat yang lalu, mereka mewawancara beberapa narasumber masyarakat Tionghoa dalam rangka tugas kuliah berkelompok berjudul “Dinamika Diskriminasi Tionghoa Indonesia”
Obrolan santai ini jadi menarik, karena biasanya subyeknya (yang membahas) adalah orang Tionghoa, dan obyeknya (yang dibahas) juga orang Tionghoa, sehingga kita kadang meragukan kenetralannya dan nggumun “opo iyo”. Nah, seperti halnya arek-arek Suroboyo (yang cinta buta kotanya) selalu memuji masakan Suroboyo dimanapun dia berada… Kali ini teman-teman dari UNAIR yang notabene bukan Tionghoa akan membagi cerita mereka dalam proses mengerjakan tugasnya, dan kita semua dapat bonus presentasi yang keluar dari ruang kuliah, yang dinikmati mungkin sambil makan siang di dalam ruang perpustakaan di tengah kota Surabaya.
Lokasi: C2O Library, jl. Dr.Cipto no 20, Surabaya 60264
Hari: Minggu, 2 Oktober 2011
Waktu: 10.30-14.00 siang
Konsumsi: disediakan makan siang sederhana dengan menu pecel
Pembicara:
Pujo S.Nur Cahyo
Edy Santoso
Ajeng K.Wardani
Ayu Saraswati
Moderator:
Paulina Mayasari (Jejak Petjinan)
@FreShSby “Go Travelling”
Waktu:
Jumat, 30 September 2011
Pukul 18.30-21.00
Tempat:
C2O Library Surabaya
Jl. Dr. Cipto 20 Surabaya 60264
(Jalan kecil seberang konjen Amerika, lihat petanya)
Pembicara:
Ayos Purwoaji (Petualang ACI 2010, Hifatlobrain.Net )
Ayos akan menceritakan pengalamannya travelling ke beberapa tempat di Indonesia. Apa asyiknya travelling dan apa pentingnya mendokumentasikan travelling. Lalu, bagaimana pula mendokumentasi travelling yang baik, melalui foto, tulisan, maupun video.
Paulina Mayasari ( Jejak Petjinan )
Maya akan menjelaskan motifasinya menggagas Jejak Petjinan. Jejak Petjinan adalah upaya mengenal, memelihara, peninggalan budaya China di Indonesia dengan mengunjungi situs-situs pecinan. Apa asyik dan menariknya?
Andy Kristono ( LiburanMurah.Info )*
Andy akan memberikan tips-tips travelling yang murah. Menjelaskan tentang apa saja yang perlu dipersiapkan sebelum travelling. Serta bagaimana menikmati travelling.
Acara ini gratis dan terbuka untuk umum. Ada makanan kecil untuk peserta. Kamu bisa mendaftar di sini: FB-FreShSby
Ajak juga teman-temanmu.
*) dalam konfirmasi
Kamu juga bisa mengikuti kontes tweet #FreShSby . Caranya:
1. kirim tweet photo [foto ketika travelling], mention ke @FreShSby , dengan menyertakan hashtag #travelling
2. kontes ditutup sampai tanggal 30 September 2011 pukul 15.00
Ada hadiah menarik untuk 3 pemenang.
Kontak
Email: freshsby@gmail.com atau freshsby@yahoo.com
Twitter: http://twitter.com/freshsby atau hastag #FreShSby
Facebook: http://facebook.com/freshsby
Website: http://freshsurabaya.com
Kontak Personal
P. 0856 297 1955
Twitter: http://twitter.com/imammtq
Reportase: Orang Rimba di Jambi
Siapa sih Orang Rimba, atau Orang Kubu itu? Menurut data Adi, ada sekitar 6.650 orang Rimba, kebanyakan terpusat di Jambi. Catatan-catatan mengenai orang Kubu dapat ditemukan dari catatan-catatan Belanda mengenai kesultanan Melayu di abad ke-17-18. Menurut Barbara Watson Andaya, sejak abad 17 pun, ada dinamika kekuasaan antara Orang Hulu dan Hilir. Orang-orang Hulu (Rimba) menjadi ujung tombak penyedia persediaan sumber daya alam seperti cula badak, gading gajah, kayu dsb. yang nantinya berputar di jalur perdagangan di selat Malaka.