Sejarah Film 1900-1950: Bikin Film di Jawa

Setelah Oh, Film… dan Keajaiban Pasar Senen, Misbach Yusa Biran menyajikan Sejarah Film Indonesia bagian 1 (tahun 1900-1950) dalam tulisan yang ringan-menyenangkan nan berbobot. Mulai dari komedi stamboel, film dokumenter, film cerita, film bisu, film bicara, Misbach menyajikan dinamika antara produser, penulis cerita, sutradara, pemain, pers, pemilik bioskop, penonton, dan pemerintah. Misbach menjabarkan berulang kali kunci laris manis sebuah film dengan target terbesar penonton pribumi yaitu harus menjual romance, pemandangan indah, perkelahian, lelucon, dan nyanyian melayu, seperti dalam komedi stamboel atau toneel, strategi yang sama dipakai oleh kebanyakan perusahaan film di indonesia saat ini.

Buku ini adalah ensiklopedia film indonesia yang menarik, sejarah film indonesia dari zaman belanda, zaman jepang, dan zaman revolusi, banyak gambar reklame film, potongan adegan, foto dibelakang layar, tabel produksi film tahun 1926-1950, daftar bioskop, ulasan film, dan surat-surat. kesimpulan dari sejarah film indonesia tahun 1900-1951 adalah pindahnya subkultur komedi stamboel atau toneel ke layar perak (atau layar putih).

Membaca Film Indonesia

Kami menyadari pentingnya data dan pemahaman sejarah dalam menilai segala hal, termasuk film Indonesia dan segala kebijakannya.  Untuk itu, bulan ini kami menampilkan buku-buku mengenai film Indonesia dari koleksi kami.  Selamat menonton dan membaca! Sejarah Film 1900-1950: Bikin Film di Jawa Pengarang: Misbach Yusa Biran Penerbit: Komunitas Bambu, 2009 No. Panggil: 791.4309598 BIR Sej Resensi: …

Bulan Film Nasional

Bulan Maret ditetapkan sebagai Bulan Film Nasional. Untuk itu, kami memutar beberapa film Indonesia dari koleksi kami: Janji Joni, Tjoet Nja Dhien, Anak Naga Beranak Naga, Opera Jawa, Banyu Biru, Minggu Pagi di Victoria Park, cin(T)a, Jermal.

Animation & Comics on Screen

Untuk meramaikan Cergamboree: Festival komik Indonesia – Prancis, yang akan diadakan untuk ketiga kalinya dengan bekerjasama dengan Pusat Kebudayaan Prancis (CCCL) Surabaya, C2O akan memutar berbagai animasi dan film mengenai komik. Tonton Mary & Max, Comic Book Confidential, Masters of Russian Animation, Sita Sings the Blues, My Dog Tulip, dan Persepolis! Mari bergabung dan menonton beragam gambar cerita dari seluruh dunia!

Comics on Screen pt. 1

Untuk menyambut dan mempersiapkan Cergamboree: Festival komik Indonesia – Prancis, yang akan diadakan untuk ketiga kalinya bulan Februari depan, C2O akan memutar berbagai animasi dan film mengenai komik. Tonton bagaimana cerita sehari-hari bisa diangkat menjadi komik dalam American Splendor, bagaimana kemanusiaan dan kekejian perang digambarkan dalam The Grave of the Fireflies, dan perlawanan terhadap totalitarianisme bergejolak dalam V for Vendetta. Tiap Jumat, pk. 17.00, selama bulan Januari 2011.
————–
American Splendor
Sutradara: Shari Springer Berman & Robert Pulcini
2003 | USA | 100 menit | Warna | Inggris, teks Inggris
Pemutaran: 14 Januari 2011, 17.00

Biopic mengenai almarhum Harvey Pekar, penulis serial komik American Splendor, sekaligus adaptasi komik-komiknya yang mendramatisasi kehidupan sehari-harinya sebagai penyortir dokumen, kolektor berbagai macam trinkets, komikus dan tukang ngedumel.

Award: Grand Jury Prize, Sundance Film Festival dan FIPRESCI, Cannes Film Festival 2003
—————-
The Grave of the Fireflies
Sutradara: Isao Takahata
1998 | Jepang | 88m | Warna | Jepang, teks Inggris
Pemutaran: Jumat, 21 Januari 2011, 17.00

Animasi ini dengan manusiawi menceritakan kekacauan dan penderitaan pada zaman Perang Dunia II di Jepang dari sudut pandang sepadang kakak adik. Dibuat berdasarkan novel semi-autobiografis, penulisnya telah kehilangan adiknya di tengah-tengah perang.
——————-
V for Vendetta
Sutradara: James McTeigue
2005 | USA | 127 menit | Warna | Inggris, teks Inggris
Pemutaran: Jumat, 28 Januari 2011, 17.00

Dibuat berdasarkan komik Alan Moore dan David Lloyd, V for Vendetta dengan tajam menceritakan masa depan distopia London, di mana seorang figur misterius bertopeng, “V”, berusaha melawan totalitarianisme Inggris di bawah partai Norsefire. Komik ini juga terinspirasi kejadian Gunpowder Plot. Jika kamu menyukai novel Orwell, Huxley, Pynchon, dkk., wajib ditonton.

Asal-usul peradaban: senapan, kuman, dan baja?

Kenapa orang-orang Eropa bisa menjajah begitu banyak bagian dunia? Kenapa bukan orang-orang Inca yang menguasai dunia dengan peradabannya? Kenapa kota-kota pertama kali berkembang di Timur Tengah? Kenapa pertanian tidak muncul di Australia? Dan kenapa daerah tropis sekarang rentan dengan kemiskinan?

Menurut Jared Diamond, faktor lingkungan–ekologis dan geografis–berpengaruh banyak dalam membentuk kesenjangan teknologi dan kekuasaan. Dalam buku dan dokumenternya, Guns, Germs and Steel, Jared Diamond memaparkan bagaimana faktor-faktor lingkungan mempengaruhi pembentukan nasib peradaban manusia.

Secara garis besar, teori utamanya adalah bahwa Eropa Asia memiliki lebih banyak keuntungan lingkungan, seperti: bentuk memanjang horisontal benua Eropa-Asia memberi iklim yang lebih merata dan mempermudah penyebaran flora dan fauna; flora-fauna yang ada di Eropa-Asia jauh lebih mudah didomestikasi; dan hidup berdampingan dengan hewan-hewan ternak meningkatkan kekebalan penyakit dan wabah.

Bagaimana menurut Anda? Mari menonton dan mendiskusikannya di C2O. Tiga episode, diputar Sabtu, tanggal 15, 22 dan 29 Januari 2011:

* Episode I: Out of Eden – Sabtu, 15 Januari 2010, pk. 17.30
* Episode II: Conquest – Sabtu, 22 Januari 2010, pk. 17.30
* Episode III: Tropics – Sabtu, 29 Januari 2010, 17.30

Jared Diamond adalah penulis dan ilmuwan yang telah menulis berbagai buku ilmiah populer. Saat ini ia menjabat sebagai Profesor geografi dan fisiologi di UCLA, California. Anda bisa meminjam atau membeli beberapa bukunya di C2O, antara lain The Third Chimpanzee, Guns, Germs and Steel dan Collapse.

Stop-Motion

Selama bulan Desember 2010, kami menyuguhkan dua film animasi stop-motion menarik untuk Anda, tanpa diskusi di TV kecil kami. Tonton cerita-cerita H.C. Andersen dan alegori negara totaliter dalam teater boneka dalam The Puppet Films of Jiri Trinka, atau saksikan animasi khas Tim Burton tentang penduduk kota Halloween yang nyasar ke kota Natal dalam The Nightmare before Christmas. Selamat menikmati bersama keluarga, dan nantikan pemutaran dan diskusi film tahun depan!

The Puppet Films of Jiri Trnka
Pemutaran: Sabtu, 11 Desember 2010, ,17.30

Terlahir di tahun 1912 di Bohemia, sutradara, penulis dan pembuat boneka Jiri Trnka telah membuat banyak karya-karya terkenal di kalangan animator dan teater. Koleksi film ini mencakup karya-karya terkenalnya: “The Emperor’s Nightingale” berdasarkan cerita Hans Christian Andersen dan dinarasikan oleh Boris Karloff. Jangan lewatkan juga “The Hand”, alegori negara totaliter yang memantau segala kegiatan si boneka pemahat.

Daftar judul:
The Emperor’s Nightingale (1951, 67 min.), The Hand (18 min.), The Story of the Bass Cello (13 min.), A Merry Circus (11 min.), A Drop Too Much (14 min.), The Song of the Prairie (21 min.), Jiri Trnka: Puppet Animation Master documentary (12 min.).

“Trnka—the name is the sum of childhood and poetry.” Jean Cocteau

Film ini adalah hadiah dari Ariani Darmawan, Rumah Buku & Kineruku.

——————

The Nightmare before Christmas
1993 | Amerika | 75 menit | Warna | Bahasa Inggris, teks Inggris

Pemutaran: Sabtu, 18 Desember 2010, 17.30

Kota Halloween adalah dunia mimpi yang dihuni oleh monster, hantu, goblin, vampir, manusia serigala dan penyihir. Jack Skellington (“Sang Raja Labu”) memimpin mereka dalam perayaan mencekam tiap Halloween, tapi dia sendiri sudah jenuh dengan rutinitas yang sama dari tahun ke tahun. Saat berjalan-jalan di hutan pinggir kota, dia tidak sengaja membuka portal ke “Kota Natal.”

Terpesona dengan atmosfer Natal, Jack memaparkan penemuan dan pemahamannya (yang terbatas) mengenai liburan tersebut kepada penduduk kota Halloween. Mereka gagal mengerti maksud Jack dan membandingkan apa yang dia katakan dengan ide mereka mengenai Halloween. Dia terpaksa setuju dan mengumumkan bahwa mereka akan merampas Natal. Jack menaiki kereta kuda berbentuk peti mati yang ditarik tengkorak-tengkorak rusa dan mengantarkan hadiah-hadiah mengerikan.

Tentang Kota

Bagaimana kota digambarkan dalam film? Berikut adalah beberapa contoh film klasik terkenal tentang kota: Berlin, Tokyo, Manhattan dan Paris. Dengan pilihan dari berbagai periode, selalu ada sesuatu gambaran kota untuk kamu nikmati di akhir minggu di C2O!

—————————–
Berlin, Symphony of a Great City
Sutradara: Walter Ruttmann
1927 | Jerman | 65 menit | BW | Silent, teks Inggris
Pemutaran: 5 November 2010, 17.00

Satu contoh genre “simfoni kota”, menggambarkan kehidupan dalam kota melalui impresi visual, dengan gaya semi-dokumenter tanpa isi narasi konvensional, meskipun urutan kejadian tetap menunjukkan semacam tema besar atau impresi kehidupan sehari-hari.
—————
Tokyo Story
Sutradara: Yasujiro Ozu
1953 | Jepang | 136 menit | BW | Jepang, teks Inggris
Pemutaran: 12 November 2010, 17.00

Cerita mengenai sepasang suami istri lansia yang pergi ke Tokyo untuk mengunjungi anak-anaknya yang telah dewasa, tapi menemukan bahwa anak-anaknya terlalu sibuk untuk menghabiskan waktunya dengan mereka. Kerap dianggap sebagai mahakarya Ozu, dan dua kali muncul di majalah Sight & Sound dalam daftar ‘Top Ten’ film terbaik.
——————
Manhattan
Sutradara: Woody Allen
1979 | USA | 96 menit | BW| Bhs. Inggris
Pemutaran: 19 November 2010, 17.00

Komedi romantis mengenai duda 2x cerai berusia 42 tahun yang berpacaran dengan perempuan 17 tahun, sebelum akhirnya jatuh cinta dengan perempuan se-lingkuhan sahabat karibnya.
Film dari koleksi Erlin Goentoro.
—————
Paris, Je t’aime
2006 | Prancis | 120 menit | BW| Prancis, teks Inggris
Pemutaran: 26 November 2010, 17.00

Aktor-aktor dari berbagai negara termasuk Amerika, Inggris dan Prancis, muncul dalam film dengan durasi 2 jam yang terdiri dari 18 film pendek dengan latar belakang distrik Paris yang berbeda. Dibuat oleh 22 sutradara: Gurinder Chadha, Sylvain Chomet, Joel dan Ethan Coen, Gerard Depardieu, Wes Craven, Alfonso Cuarón, Nobuhiro Suwa, Alexander Payne, Tom Tykwer, Walter Salles dan Gus Van Sant

Soerabaja, Surabaya

Tiap bulan November, kita merayakan Hari Pahlawan dengan berbagai pertunjukan, arakan, dan berbagai acara gegap gempita. Pada kenyataannya, di banyak buku sejarah luar (Amerika, Inggris, Belanda), pertempuran November di Surabaya jarang sekali tercantum.

Sutradara Peter Hoogendijk membawa ibunya, Thera André, ke Surabaya, kota di mana ibunya kembali dari kamp Jepang 60 tahun yang lalu saat dia berusia 17 tahun. Dengan meletusnya revolusi Surabaya, Thera bersama ribuan perempuan dan anak-anak Eropa dan Eurasia kemudian dilarikan oleh tentara Inggris ke luar kota. Selama di Belanda, ia bahkan tidak tahu sama sekali apa yang terjadi di kota yang ditinggalkannya.

Peter membawa ibunya kembali ke kota kelahirannya untuk mencari tahu apa yang terjadi, dan dari dokumenter ini, kita bisa melihat berbagai sudut pandang: perayaannya tiap 10 November dan wawancara dengan para veteran pejuang (Pemuda) seperti Des Alwi dan Askandar, korban pelarian Belanda, dan putra-putra Jendral Mallaby. Kita bisa melihat footage dokumenter-dokumenter lama, dan juga kondisi Surabaya saat ini, serta perayaan-perayaan reenactment-nya tiap tahun.

Film ini membangkitkan banyak pertanyaan dan informasi-informasi yang tak terbayangkan. Sebagai contoh, ternyata di antara kalangan pelarian Belanda, ada yang disebut sebagai Bloody Monday, Senin Berdarah, 15 Oktober 1945, di mana dikatakan 50-200 orang Eropa & Eurasia dikumpulkan dan dibantai di Simpang Societeit (sekarang Balai Pemuda). Informasi ini begitu asing bagi kita. Wawancara dengan dua putra Jendral Mallaby juga banyak memberi informasi mengejutkan mengenai brigade 49, Jenderal Mallaby, dan kesiapan tentara Sekutu di Surabaya.

————————-
Selama bulan November 2010, bekerja sama dengan komunitas Surabaya Tempo Dulu, kami memutar dua film berkaitan dengan sejarah Surabaya. Film ini diputar di C2O Sabtu lalu, 6 November 2011, dengan diskusi santai tapi informatif yang dipandu oleh dua admin komunitas Surabaya Tempo Dulu, Ajeng Kusumawardani dan Nikki Putrayana, serta Mba Windhi yang malu-malu di kursi pengunjung bersama putrinya :).

Film berikutnya yang akan kami putar adalah film Jalan Raya Pos, lihat jadual di sini. Bagi yang tidak sempat menonton film “Soerabaja, Surabaya”, film ini akan diputar lagi pada hari Kamis 11 November 2010, pukul 09.00 WIB di Auditorium FIB UNAIR, dalam rangka Diesnatalis Departemen Ilmu Sejarah UNAIR dan hari Pahlawan yang diadakan oleh HIMA Ilmu Sejarah Unair. Kru STD dan C2O juga akan hadir di sana. Sampai ketemu!

The Last Bissu

Bissu adalah pendeta Bugis di Sulawesi Selatan, yang dahulu terutama berperan sebagai penjaga para raja dan kerajaan di Sulawesi Selatan. Mereka menyelenggarakan ritual-ritual bagi para bangsawan dan mengurusi pusaka suci kerajaan, arajang. Dalam menjalankan kegiatan tersebut, mereka mengenakan pakaian androgin yang menonjolkan kombinasi atribut laki-laki dan perempuan. Bissu dihubungkan dengan tradisi pra-Islam, dan pertama kali masuk dalam catatan tertulis orang Barat dengan kunjungan Antonio de Paiva ke Sulawesi di tahun 1545.

Hanya bissu yang dipercaya dapat kerasukan arwah dewata untuk kemudian memberi berkat, karena dianggap merepresentasikan baik laki-laki/perempuan, mortal/dewata. Untuk membangkitkan arwah, mereka harus menyelenggarakan ritual yang cukup rumit dengan musik, sesajen, dan tarian. Jika arwah sudah terbangun dan memasuki raga mereka, mereka kemudian menusukkan keris-keris pusaka leher, atau telapak tangan dan dahi. Keberadaan arwah dalam raga membuat mereka kebal. Hanya bissu yang kebal dengan hir berhak untuk memberikan berkat, mulai dari upacara kelahiran, kematian, kesuburan desa, hingga berkat untuk pergi naik haji ke Mekkah.

Film dokumenter The Last Bissu yang disutradarai oleh Rhoda Grauer ini, memberi kita gambaran singkat mengenai bissu dan kaitannya dengan masyarakat Bugis. Diputar di C2O Sabtu lalu, 30 Oktober 2010, pemutaran dihadiri sekitar 20 penonton, bersama Soe Tjen Marching dan Pak Dédé Oetomo hadir sebagai pembicara.

Fenomena transvesti yang berhubungan dengan seni pertunjukan atau ritual telah sejak lama mengakar di berbagai kelompok etnis di Indonesia. Soe Tjen menyampaikan bahwa di Bugis, ada lima gender, sebagaimana ditulis oleh Sharyn Graham Davies dalam buku Gender Diversity in Indonesia: Sexuality, Islam and queer selves, yaitu: oroane (maskulin), makkunrai (feminin), calalai (perempuan maskulin), calabai’ (laki-laki feminin), dan bissu yang dianggap mewakili semuanya. Pertanyaannya adalah, akankah pengkategorian yang lebih banyak ini justru menimbulkan peraturan-peraturan yang lebih ketat?