Little Birds

Saya bukan penyuka karya sastra selangkangan atau lebih dikenal sastra lendir. Buku-buku karangan Djenar Maesaayu atau Ayu Utami bukan favorit saya. Saya juga tak suka kisah cabul ala Amy Arrow atau Motinggo Busye. Membaca buku mereka menurut saya seperti melakukan onani saja. Maaf, saya tak bermaksud menghina. Hanya beda selera.

Seorang kawan menyarankan saya membaca karya-karya Anais Nin jika ingin mendalami sastra selangkangan yan tidak vulgar. Undangannya saya terima dengan mengobrak-abrik koleksi Anais Nin di C2O Library. Saya pilih yang paling tipis, agar cepat dibaca. Little Birds judulnya, diterbitkan Penguin Klasik tahun 1979.

Menarik menyimak kata-kata Nin dalam pengantar buku ini. Nin mengaku di jamannya, sekitar 1940-an, orang menulis kisah erotis karena didorong rasa lapar. Bayaran selembar kisah erotis bernilai satu dolar. Sungguh lumayan di saat itu.

Menurut Nin, rasa lapar menuntun kepada fantasi seksual, bukan kepada energi melakukan kuasa seksual. Sedang aktivitas seksual sendiri tak akan menuntun pada fantasi seksual yang luar biasa. Seperti diakuinya, menulis kisah-kisah erotis itu seperti memasuki kerajaan prostitusi. Mungkin di masanya hanya kaum pelacur yang berani menjelajahi fantasi liar seksual mereka. Sedang masyarakat kebanyakan menganggap seks itu tabu dibicarakan walau terus dijalani.

Little Birds terdiri dari 13 cerpen erotis, yang ditulis Anais Nin tahun 1940-an. Pengarang berdarah Kuba, Spanyol, dan Prancis ini lebih banyak menghabiskan hidupnya di Prancis dan Amerika. Ini yang mendasari keragaman latar karyanya. Kisahnya bisa berawal dari kehidupan gemerlap para selebritis, para model, pelukis, hingga manusia biasa dengan kemiskinan yang membelit.

Sejarah Film 1900-1950: Bikin Film di Jawa

Setelah Oh, Film… dan Keajaiban Pasar Senen, Misbach Yusa Biran menyajikan Sejarah Film Indonesia bagian 1 (tahun 1900-1950) dalam tulisan yang ringan-menyenangkan nan berbobot. Mulai dari komedi stamboel, film dokumenter, film cerita, film bisu, film bicara, Misbach menyajikan dinamika antara produser, penulis cerita, sutradara, pemain, pers, pemilik bioskop, penonton, dan pemerintah. Misbach menjabarkan berulang kali kunci laris manis sebuah film dengan target terbesar penonton pribumi yaitu harus menjual romance, pemandangan indah, perkelahian, lelucon, dan nyanyian melayu, seperti dalam komedi stamboel atau toneel, strategi yang sama dipakai oleh kebanyakan perusahaan film di indonesia saat ini.

Buku ini adalah ensiklopedia film indonesia yang menarik, sejarah film indonesia dari zaman belanda, zaman jepang, dan zaman revolusi, banyak gambar reklame film, potongan adegan, foto dibelakang layar, tabel produksi film tahun 1926-1950, daftar bioskop, ulasan film, dan surat-surat. kesimpulan dari sejarah film indonesia tahun 1900-1951 adalah pindahnya subkultur komedi stamboel atau toneel ke layar perak (atau layar putih).

Reportase: Kebisingan sebagai Polusi

Sabtu, 26 Maret 2011, 14.00. Beberapa orang mulai berkumpul untuk mendengarkan diskusi “Kebisingan sebagai Polusi yang Merajalela” yang diprakarsai oleh Masyarakat Bebas Bising. Dimoderatori oleh Gema Triono, Pak Slamet Abdul Sjukur sebagai pembicara memberi materi bagaimana kerusakan telinga tidak hanya merusak pendengaran, tapi juga melumpuhkan konsentrasi, kecerdasan, daya ingat, dan keseimbangan gravitasi.

Kebisingan yang dulu hanya terjadi di pabrik, bengkel dan tempat-tempat tertentu, kini mengepung kita di mana-mana, menyebabkan sulit berkonsentrasi, tekanan darah naik, gampang emosi, pernafasan dan pencernaan pun menjadi tidak normal. Masyarakat Bebas Bising di sini aktif mengkampanyekan kesadaran tentang:
1. Telinga sebagai karunia illahi yang wajib dilindungi dari kesemena-menaan kebisingan;
2. Akibat kerusakan pendengaran;
3. Kebisingan dan kemajuan teknologi sekaligus kebodohannya.

Kebisingan: Polusi yang Merajalela

Dalam rangka Earth Hour 60+, Masyarakat Bebas Bising akan mengadakan diskusi di Perpustakaan C2O pada hari Sabtu, 26 Maret 2011, pk. 14.00-16.00, dengan topik: “Kebisingan sebagai topik yang merajalela.”

Pembicara: Slamet Abdul Sjukur (komponis, anggota Akademi Jakarta)
Moderator: Gema Triono

Gratis dan terbuka untuk umum.

Tentang Masyarakat Bebas Bising:
Seorang komponis anggota AKADEMI JAKARTA (SlametA. Sjukur), sangat prihatin pada kenyataan bahwa kebisingan sebagai polusi semakin semena-mena menjajah lingkungan. Kebisingan sudah menjadi KOLONIALISME BARU yang tidak kitasadari.

Call for submissions: Postcards from Bookworms

Mengundang publik untuk mengirimkan kartu pos mengenai buku: boleh buku favorit, buku yang baru saja mereka baca, buku yang tidak bisa mereka lupakan, buku kanak-kanak, buku yang baru saja mereka beli, buku dari sahabat, dsb. Intinya, kartu pos itu akan memuat interpretasi kita tentang sebuah buku.

Di sini medium kartu pos menjadi bentuk “rekomendasi personal” seperti halnya komentar dan rekomendasi di Facebook. Tiap peserta boleh menginterpretasikan buku sesuka mereka. Boleh menggunakan cat, foto, cetak digital, kolase, mixed media, dsb. Tersedia blanko kartu pos dan alat-alat menghias/mendekor di C2O jika ingin membuatnya on the spot!

Semua karya kartu pos akan dipamerkan di Perpustakaan C2O, dalam rangka Hari Buku Dunia (23 April 2011). Pameran akan berlangsung selama seminggu, dan pengunjung bisa turut berpartisipasi menambah lebih banyak postcard!

Hasil karya postcard juga akan dikompilasikan menjadi antologi dalam bentuk PDF dengan lisensi Creative Commons (Bebas untuk disebarkan, digandakan atau diadaptasi, selama (1) mencantumkan atribusi pengarang, (2) untuk kepentingan non-komersil, dan (3) didistribusikan dalam kondisi yang sama (lihat http://creativecommons.org/licenses/by-nc-sa/3.0/)

Kirimkan karya kartu posmu ke:
C2O Library
Jl. Dr. Cipto 20
Surabaya 60264
INDONESIA

Profil Dunia Film Indonesia

Buku ini adalah salah satu buku sejarah film Indonesia yang paling populer dan mudah diakses, setidaknya di tahun 1980an. Berasal dari skripsi sarjananya, dalam buku ini Salim Said berusaha untuk menjawab sejumlah pertanyaan dari berbagai pihak dan kalangan yang mempersoalkan mutu dan kecenderungan utama (yang sering dikeluhkan dalam) film Indonesia. Misalnya, kenapa film Indonesia cenderung menonjolkan seks, kemewahan, dan kekerasan? Mengapa banyak sekali jiplakan film impor? Mengapa terasa asing sekali dengan manusia dan persoalan Indonesia?

Dari buku ini kita bisa melihat bahwa keluhan-keluhan ini sudah berlangsung sangat lama, dan ia tidak lahir begitu saja. Kecaman-kecaman ini menyangkut nilai-nilai dan kebiasaan yang telah melembaga lewat sejarah yang relatif panjang. Salim Said di sini berusaha memaparkan lemahnya posisi tawar pekerja film yang terjepit di bawah produser—kebanyakan berlatar belakang pedagang, atau mengimpor langsung dari film-film laris luar karena latar belakang hidup, ataupun tergiur atas prospeknya. Struktur perfilman di Indonesia, menurut Said, bersifat sangat “coba-coba” dengan kontrol ketat terletak pada produser yang juga pemilik modal.

Peta Buku Surabaya / Surabaya Book Map Project

Di Surabaya, kita kerap mendengar keluhan minimnya keberadaan tempat-tempat yang menyediakan buku, media dan informasi lainnya. Jika diamati, tempat-tempat itu sebenarnya ada, bahkan bertumbuh banyak dalam 2-3 tahun terakhir dalam bentuk taman baca, perpustakaan, toko buku, penerbit, dan lain sebagainya. Sayangnya, informasi keberadaan masing-masing tempat masih cenderung tercerai-berai.

Sebagai langkah awal, kami ingin membuat sebuah peta kota Surabaya yang dapat menunjukkan lokasi tempat-tempat yang berhubungan dengan buku di Surabaya. Di sini, tempat yang dimaksud bisa jadi perpustakaan, taman baca, lembaga dengan perpustakaan yang terbuka untuk umum, toko buku, penerbit, penulis, dan lain sebagainya. Harapan kami, peta ini dapat membantu kita untuk setidaknya mengetahui keberadaan dan mendorong kolaborasi pegiat-pegiat buku, literasi dan budaya di Surabaya dengan masyarakat sekitarnya.

Peta ini akan dibuat dalam bentuk kertas yang dapat dibawa ke mana-mana sebagai panduan berisi peta, alamat, dan informasi masing-masing tempat. Selain itu, juga akan dibuat versi online di google maps untuk memudahkan kolaborasi dan update informasi.

Bentuk awal draft peta ini di google maps bisa dilihat di (ongoing): http://maps.google.com/maps/ms?ie=UTF8&hl=en&msa=0&msid=200224058398583684682.00049e39624701a8d99b9&ll=-7.287893,112.772598&spn=0.110508,0.218525&z=13

Dengan begitu, peta ini akan menjadi projek yang akan terus berkelanjutan dan diperbaharui dengan munculnya tempat-tempat dan informasi baru. Untuk berpartisipasi, hubungi kami di c2o.library@yahoo.com

Indonesian Cinema

Dalam buku ini, film di sini diamati sebagai produk budaya, yang dapat dianalisa untuk mempelajari budaya asalnya (Indonesia). Menurut Heider, film-film Indonesia memiliki kharakteristik ke-“Indonesia”-an—sesuatu yang banyak diperdebatkan, mengingat banyaknya unsur daerah di Indonesia. Menurutnya, selain tidak adanya bisnis regional film, film-film Indonesia hampir semuanya menggunakan “bahasa Indonesia” (dengan sedikit frase-frase lokal sebagai bumbu) dan ditujukan untuk orang-orang dari segala propinsi, dengan kekhasan daerah yang diminimalisir. Memang, media film sendiri adalah media baru yang relatif “diimpor”, dengan elemen-elemen “asing”: teknologi kamera, projektor, film, poster iklan, dsb. Tapi memasuki abad ke-20, film menjadi salah satu media terkuat dalam mengekspresikan budaya “Indonesia”, dengan pengaruh kental pada kaum mudanya.

Melalui analisanya, Heider menyorot tema-tema dan fitur yang kerap diidentikkan dengan budaya “Indonesia”, seperti 1) keterikatan sosial (social embeddedness) dan harmoni kelompok >< otonomi individu (individual autonomy); 2) order vs. kekacauan >< baik vs. jahat; 3) pembentukan modernisasi dan pembangunan Indonesia; 4) penceritaan ulang sejarah dan legenda Indonesia; 5) (re)konstruksi tema-tema budaya Indonesia. Di sini dia juga menyorot perbandingan emosi: tidak sesimpel orang-orang Amerika lebih individualistik, Indonesia lebih berorientasi kelompok. Dalam penelitiannya, Heider mengakui tidak menggunakan metodologi yang rapi, dan pilihan-pilihan filmnya pun sedikit banyak dipengaruhi terbatasnya data film lokal (satu kendala yang masih terus mempengaruhi perkembangan film Indonesia). Di sini Heider dengan sadar memilih genre film karena dirasa lebih cocok untuk analisa budaya, dibandingkan dengan auteur film yang dengan sedikit “jaim” (self-conscious) (berusaha) menjauhi konvensi-konvensi standar.

Membaca Film Indonesia

Kami menyadari pentingnya data dan pemahaman sejarah dalam menilai segala hal, termasuk film Indonesia dan segala kebijakannya.  Untuk itu, bulan ini kami menampilkan buku-buku mengenai film Indonesia dari koleksi kami.  Selamat menonton dan membaca! Sejarah Film 1900-1950: Bikin Film di Jawa Pengarang: Misbach Yusa Biran Penerbit: Komunitas Bambu, 2009 No. Panggil: 791.4309598 BIR Sej Resensi: …

c2o Newsletter vol. 11

Memperingati bulan Film Nasional, selama bulan Maret ini, setiap hari Jumat dan Sabtu, kami akan memutar film-film Indonesia (hal. 2-3) dan menampilkan buku-buku mengenainya (hal. 4-5).

Sering kita mendengar (atau bahkan turut melanturkan) kecaman-kecaman terhadap karya-karya (film) lokal dan kebijakan-kebijakannya. Berbagai opini telah banyak mewarnai media dan percakapan sehari-hari. Di Jakarta, program Sejarah adalah Sekarang yang diselenggarakan oleh Kineforum dan Dewan Kesenian Jakarta telah memasuki tahun kelimanya, di mana mereka memutar film-film Indonesia lama, menggali teks-teks sejarahnya, dan mengadakan pameran sejarah bioskop di Indonesia. Minimnya keberadaan kegiatan serupa di Surabaya mendorong kami untuk menampilkan sedikit data yang kami miliki (film, buku, makalah, majalah dan katalog), dengan harapan pembacaan sejarah dan konteks film Indonesia ini dapat membantu sedikit mengenal film Indonesia, dan meningkatkan pemahaman persoalan hari ini.

Bagi yang tidak sempat mengikuti festival komik Cergamboree III Februari lalu, silahkan membaca reportasenya
di hal. 6.

Lengkapnya, unduh di: http://issuu.com/c2o.library/docs/c2o-newsletter11-201103
Terima kasih, selamat membaca dan menonton!