Sabtu malam, 12 Februari 2012, Perpustakaan C2O kedatangan dua tamu, yaitu Anwar Jimpe Rachman dari Tanah Indie dan penerbit Ininnawa, dan Dian Tri Irawaty dari Rujak Center for Urban Studies. Dengan Dian sebagai moderator, dan ditemani kopi hangat dan makanan potluck kue blackforest, kacang dan jagung Makassar, kami mendengarkan presentasi dan cerita Jimpe mengenai proses pembuatan Makassar Nol Kilometer, buku bunga rampai pertama yang “memotret warga kota Makassar kontemporer, lengkap dengan karnaval budayanya, seperti merayakannya di alun-alun; di titik nol kilometer.”
Memang, tak bisa disangkal buku ini menjadi salah satu rujukan utama bagi siapapun yang ingin mengetahui mengenai budaya populer Makassar dan sekitarnya. Di dalamnya, kita menjumpai 49 artikel (meski versi revisi hanya memuat 48), yang dibagi menjadi 4 tema: komunitas, kuliner, fenomena, dan ruang. Dari buku ini, kita bisa membaca mengenai suporter sepak bola PSM, waria Karebosi, casciscus English meeting di Fort Rotterdam, makanan-makanan dari Coto hingga Jalangkote (yang ternyata adalah pastel!), pete-pete (angkutan kota berwarna biru), dan berbagai potret-potret Makassar di tahun 2005.
Jimpe bercerita bahwa buku ini merupakan jalan masuk Tanah Indie ke penerbit Ininnawa. Sebelumnya, di tahun 2002-2004, selama 2 ½ tahun Jimpe memang bekerja sebagai wartawan di suatu media Jawa Pos group di Balikpapan. Jam kerjanya yang ketat—dari 8 pagi hingga 1 pagi, setiap hari—membuatnya merasa jenuh dan kemudian kembali ke Makassar.
Di Makassar yang telah beberapa tahun ditinggalkannya, Jimpe merasakan semacam “gegar budaya”. Ada perbedaan-perbedaan yang dia rasakan semenjak terakhir dia di sana. Dari situ, lahirlah semacam keinginan untuk mencatat, merekam, dan mengumpulkan apa saja yang tertinggal mengenai Makassar, kemudian dibuatlah pelatihan menulis dengan sistem editing ping-pong. Untuk merangsang minat, dibuat target bahwa hasil pelatihan harus diterbitkan.
Tahun 2005 kebetulan memang menyaksikan maraknya buku-buku cultural studies. Tapi Jimpe bilang, dia kurang menyukai buku-buku teori tersebut. Dia ingin melihat praktiknya, dan menurutnya, melalui proses pembuatan Makassar Nol Kilometer ini lah dia menjadi mengerti cultural studies.
Ada 77 topik mengenai Makassar yang dikumpulkan sebagai subjek tulisan. Penulis bebas memilih topik yang disukainya, dan disarankan memang topik yang paling dekat dengan diri masing-masing. Sebagai contoh, Jimpe memilih topik penjual obat di Karebosi karena semenjak kecil dia kagum melihat mereka. Bisa menelan beling dan melakukan berbagai tontonan “ajaib” lainnya. Tapi dengan mengamati penjual-penjual obat (yang makin jarang ditemukan dan sebaliknya digantikan dengan pusat-pusat perbelanjaan), kita bisa melihat perubahan dan pergeseran sosial yang terjadi di Karebosi, terutama berkaitan dengan perebutan dan akses ruang. Perubahan ini juga makin terasa setelah buku ini diterbitkan lagi edisi revisinya tahun lalu. Makin terasa perubahan-perubahan yang terjadi dalam 6 tahun.
Pemilihan penulis-penulis yang diikutsertakan—15 orang total—dibuat berdasarkan kedekatan pribadi. Memang, buku ini bersifat sangat subjektif, karena, “Kalau teman dekat, bisa kita mandori,” urai Jimpe bercanda. Memang, projek ini dibuat dengan hampir tanpa dana. Tiap penulis hanya dibayar Rp. 50.000, tapi mereka bertemu tiap minggu selama 10 bulan (molor dari target 6 bulan) untuk menyelesaikan penulisan buku ini. “Ini Indonesia, pasti molor,” candanya.
Beberapa pengunjung yang hadir dalam presentasi ini menanyakan proses kreatif pembuatan bunga rampai ini. Karena, dari curhat dan pengalaman masing-masing, di kota ini kita sudah sering sekali ada keinginan membuat semacam publikasi serupa tentang Surabaya kontemporer, tapi belum pernah terlaksana karena terpentok molor, kisruh antar peserta, dana yang minim, minat yang perlahan-lahan menyusut, dan sebagainya. Tapi Makassar Nol Kilometer juga dibuat dengan semangat bondho nekad—tidak ada dana, tapi ada niat dan komitmen yang tinggi. Banyak dari mereka masih menumpang meminjam komputer dan mengandalkan menggunakan USB stick saja.
Menurut Jimpe, inilah fungsi editor—bukan hanya sebagai penyunting dan mandor, tapi juga “penjaga iman”. Menurutnya, pengalaman kerjanya di media utama juga cukup membantunya dalam kedisiplinan dan tahan banting pengerjaan buku ini.
Ketika ada peserta yang mengeluhkan keterlambatan proses menulis 100 resensi buku mengenai Surabaya, Jimpe menjawab dengan optimis, “Mungkin, targetnya yang terlalu ambisius. 100. Padahal, sudah ada 65 tulisan yang sudah terkumpul. Itu saja sebenarnya sudah suatu pencapaian. Daripada kita pesimis dan berkutat pada kenapa sisa 35 tulisan ini tidak selesai-selesai, lebih baik kita fokus pada, kenapa 65 ini terkumpul?”
Memang, jelas Jimpe, beberapa peserta pada proses Makassar Nol Kilometer pun “gugur” atau tidak mampu menyelesaikan tulisannya. Beberapa menemukan fakta lapangan begitu berbeda dengan teori-teori yang mereka ketahui. Mereka kemudian menjadi terkekang oleh teori-teori yang mereka pelajari. Padahal, penulisan buku ini sangat menekankan pengalaman dan pengamatan lapangan. “Tanggalkan teorimu,” adalah nasehat yang diberikan kepada penulis-penulis. Pada akhirnya tulisan-tulisan yang tidak terselesaikan ini, akhirnya diselesaikan oleh editor. “Tapi, untuk menghargai mereka karena sudah berpartisipasi, nama mereka tetap dicantumkan bersandingan dengan nama penulis yang menyelesaikannya,” jelas Jimpe.
Menjelang proses akhir penyuntingan, dilakukan pengecekan data-data mendasar seperti luas Makassar, kisar jumlah kendaraan, dan data-data statistik lainnya melalui penelusuran di internet. Sayang memang buku, ini tidak banyak dilengkapi foto ataupun gambar. “Yah, bagaimanapun ada perhitungan budget. Sebagai penerbit kami tidak mampu menerbitkan buku dengan banyak gambar.”
Tapi buku ini tampaknya memicu banyak minat kembali pada permasalahan dan isu lokal Makassar. Setelah buku ini terbit, makin banyak media dan publikasi lain yang melirik dan mengangkat isu lokal. Muncul acara TV kuliner lokal. Ada juga website Makassar Nol Kilometer yang tidak dibuat oleh mereka, tapi diinspirasi oleh buku tersebut.
Begitu pula buku-buku Ininnawa makin menjadi rujukan di tataran akademik. Penerbitan Makassar Nol Kilometer memicu penerbitan buku-buku kajian lokal lainnya, yang bisa dilihat di situs mereka, http://penerbit-ininnawa.blogspot.com/. Salah satunya, Assikalaibineng: Kitab Persetubuhan Bugis, bahkan menjadi best seller, yang habis terjual hanya dalam waktu 2 minggu. Mereka bahkan berulang kali dihubungi Gramedia karena banyak sekali orang yang beli indent ke Gramedia sementara stock belum lagi tersedia.
Kegigihan dan ketelitian mereka dalam membangun kualitas juga mengantarkan mereka untuk mendapatkan kepercayaan dari penerbit-penerbit ternama seperti KITLV untuk menerbitkan terjemahan buku-buku KITLV dan kajian-kajian peneliti asing lainnya dengan lisensi gratis, bahkan didanai oleh lembaga-lembaga tersebut.
“Sebelumnya, ada perasaan dan kesan inferior terhadap terbitan-terbitan Jawa, terutama Yogyakarta dan Jakarta. Kami ingin membuat kajian lokal mengenai Makassar menjadi seksi melalui Makassar Nol Kilometer,” urai Jimpe. Sebagaimana diuraikan Ayos dalam ulasannya mengenai buku ini di blog perjalanannya hifatlobrain.net, memang lebih sulit bagi kita untuk melihat dan tertarik pada apa yang ada di sekitar kita. Seringkali kita terpukau pada apa yang ada jauh di sana, dan melupakan bumi yang kita pijak. Tampaknya, buku ini, dan buku-buku terbitan Ininnawa lainnya, berhasil mengangkat kembali isu-isu lokal, dan membawa kebanggaan dan identitas Makassar.
Di akhir acara, buku Makassar Nol Kilometer yang dibawa Jimpe langsung habis terjual dibeli teman-teman. Buku ini, dan buku terbitan Ininnawa lainnya, sangat kami rekomendasikan dan patut kita baca untuk mengenal Makassar dan kawasan Indonesia Timur. Banyak terima kasih kepada Jimpe dan Dian atas presentasi dan berbagi ilmunya yang inspiratif!
Judul buku: Makassar Nol Kilometer
Editor: Anwar J. Rachman, M. Aan Mansyur, Nurhady Sirimorok
Penerbit: Ininnawa-Tanahindie
Juni 2011 (edisi revsi)
273 halaman