Tulisan ini adalah catatan Anitha Silvia mengenai pengalamannya mengikuti Lokakarya Penelitian Komunitas di Hysteria, Jl Stonen 29 Semarang, selama 5 – 8 Januari 2013. Versi ini adalah versi yang sudah disingkat. Silakan membaca versi lengkapnya di blog Tinta: http://makantinta.blogspot.com/2013/01/stoned-di-semarang.html
Sabtu, 5 Januari 2013
Semarang secara geografis adalah unik, secara sederhana terbagi dua Semarang Bawah dan Semarang Atas. Semarang Bawah menuju pelabuhan Tanjung Mas, Semarang Atas meliputi UNES dan UNDIP. Menuju Hysteria yang berada di areal perbukitan adalah menyenangkan, tumpukan rumah di bukit, udara yang cukup sejuk, dan minibus melewati papan petunjuk arah Sampangan di depan rumah sakit Karyadi, wah kenapa saya gak turun sini aja yah kan mau ke Sampangan, karena masih bertahan pada petunjuk dari Adin, tapi ngerasa saya akan keburu nyampe terminal Banyumanik, akhirnya saya tanya ke kondektur, eh saya disuruh turun di PLN karena seharusnya turun di Karyadi, huhu. Turun di PLN, nyebrang ke sisi jalan lainnya, kembali ke Karyadi naek bis damri, lalu oper angkot ke Sampangan, turun di Jalan Kelud, lumayan masih inget jalan ke Hysteria, terakhir saya kesana awal tahun 2011, ini ketiga kalinya saya berkunjung ke Hysteria. TIba di Hysteria disambut Adin dan Purna, workshop belum dimulai.
Semarang adalah kota ketiga dalam projek Urban Knowledge Development (UKD) yang dicetuskan oleh Rujak Center for Urban Studies yang bertujuan mengumpulkan pengetahuan perkotaan dan menyebarkannya. UKD di Kota Makassar bertajuk Makassar Nol Kilometer, Surabaya bertajuk Ayorek, Semarang bertajuk UGDsmg. Hari pertama workshop penelitian komunitas diasuh oleh Antariksa–pendiri KUNCI Cultural Studies, dengan materi Sejarah Kampung, dengan peserta workshop : Anastasia Dwirahmi (UGDsmg), Adin (UGDsmg), Openk (UGDsmg), Purna (Hysteria), Hasyim (warga Kampung Tugurejo), Noviaji (Asosiasi Design Grafis Semarang), Ashar (warga Kampung Bustaman), Naka (Teater Ikat), (Ibrahim Lembah Kelelawar), dan saya sebagai perwakilan Ayorek, sayang perwakilan Makassar Nol Kilometer tidak bisa hadir karena Makassar dilanda banjir.
Antariksa mulai menggelar paparan mengenai Sejarah Komunitas berdasarkan sejumlah proyek yang dikerjakan oleh KUNCI Cultural Studies Center seperti Sejarah Keluarga, Sejarah Kampung Juminahan, dan Studi India. Sejarah Komunitas adalah sejarah yang dekat dengan komunitas tersebut, bukan narasi besar seperti Perang Diponegoro, melainkan sejarah yang berkaitan langsung dengan komunitas tersebut seperti sejarah nama kampung, sejarah minuman dan makanan lokal, jadi narasi yang dibuat adalah tentang kita, tentang keluarga kita, dan lingkungan sekitar kita, relevan dengan kehidupan kita. Hal penting lainnya adalah sejarah tidak menciptakan kebenaran tunggal tapi untuk mencari berbagai versi kebenaran, kebenaran yang majemuk. Pengetahuan (sejarah) tidak hanya berasal dari pemerintah, kampus, tapi juga dari warga sendiri, karena warga bukan orang yang bodoh, mereka punya pengetahuan (dan sejarahnya sendiri). Antariksa berbagi cerita mengenai Kampung Juminahan yang berusaha membalikkan citra “sumber masalah” (karena yang tinggal disana adalah copet, PSK, anak jalanan.) Dengan Sejarah Komunitas bermaksud menunjukkan kekayaan berupa pengetahuan dan ketrampilan warga Kampung Juminahan. Pengumpulan kekayaan ini penting karena warga bisa membangun kebanggaan, menghargai diri sendiri, dan bisa mengubah kebijakan secara bertahap.
Kenapa memilih sejarah? KUNCI punya minat yang besar terhadap sejarah. Yang sering terjadi adalah ketika kita—kelas menengah—terjun ke kampung, kita membawa persoalan yang bias kelas, jadi penting untuk mengubah cara pandang kita. Ada kesenjangan antara pendidikan di kampus yang berjarak dengan realitas. Jadi karena itu, perlu membangun pemahaman yang dimulai dari sejarah situs dan aktivitas warga. Anak-anak Kampung Juminahan belajar sejarah Indonesia yang melulu perang, bagi mereka sejarah tidak menarik dan tidak berguna (secara langsung) bagi mereka, sejarah jadi tidak ada konteksnya di kampung, maka kita buat sejarah tentang kampung kita sendiri. Penerapan metode Sejarah Komunitas bersifat partisipatoris dan kolaboratif. Diperlukan adanya observasi pendahuluan, wawancara, pemetaan masalah dan pengetahuan maka agar terjadi pertukaran pengetahuan dan ketrampilan.
Sejarah dibuat menarik dan lebih dekat dengan warga. Pengetahuan sejarah tidak harus dalam bentuk teks, tapi bisa dengan pertunjukkan seni, video, foto, ilustrasi. Metode Sejarah Komunitas nyaris bisa dilakukan tanpa biaya karena dilakukan oleh warga sendiri, tapi memang butuh banyak waktu. Kita memamfaatkan apa yang ada dan meyakinkan warga bahwa ini adalah kegiatan yang penting bagi mereka. Program bisa berupa pertukaran antar-kampung, pelatihan menulis, menggambar, mencukil, video, fotografi, dan pengarsipan. Bagaimana posisi kita sebagai peneliti, bagaimana menyesuaikan jadwal kita dengan warga, kita bisa memamfaatkan pertemuan rutin warga seperti pertemuan PKK, pengajian, arisan. Kuncinya adalah jaringan dan kolaborasi, jadi kita tidak bekerja sendiri. Untuk komunitas yang tidak memiliki pertemuan rutin seperti Komunitas India di Yogyakarta, KUNCI mendatangi tiap klan.
UGDsmg akan dilakukan di Kampung Bustaman dan Kampung Tugurejo (dengan output buku dan website) dengan waktu kerja 3 bulan. Dengan waktu yang singkat, menurut Antariksa metode yang visible yaitu dengan wawancara, observasi, dan studi literatur. Metode yang bisa dilakukan : studi literatur juga bisa memamfaatkan studi statistik dari institusi formal, kliping koran, wawancara warga tentang isu yang dipilih, dan kompilasi data dari beragam sumber. Antariksa menganjurkan untuk membuat suatu program yang bisa mendorong warga membuat inisiatif baru saat peluncuran buku dengan mengundang sebanyak banyaknya pihak, sekaligus menjadi kesempatan untuk membahas apa yang bisa dilakukan bersama sama dalam jangka panjang. Hari pertama workshop berakhir dengan memberikan kami sejumlah pilihan yang menarik dan bisa dilakukan dalam waktu yang pendek.
Cerita lainnya adalah ketertarikan Garna atas sejumlah rumah/bangunan kolonial yang ada di Semarang, rumah kuno tersebut tidak hanya menarik secara arsitektur dan interiornya, tapi pasti memiliki sejumlah cerita mengenai penghuninya. Di Semarang, ada sebuah hotel kolonial yang sudah tidak berfungsi lagi namun ditempati oleh sejumlah orang, tapi sayang Garna belum memiliki akses untuk masuk kesana karena memang sengaja tidak bisa dimasuki oleh orang luar selain penghuni “gelap”. Terbayang bagaimana gilanya tinggal di kamar hotel bintang lima di masanya, bagaimana nasib properti dan arsitektur yang ciamik setelah ditinggali oleh sejumlah penghuni “gelap”. Saya pun berbagi cerita yang serupa, sejumlah bangunan kolonial yang tidak “bertuan” di Kota Lama Surabaya ditempati secara “ilegal” oleh sejumlah keluarga Madura, sayang mereka tidak terlalu merawat bangunan kolonial tersebut, maka kesan kumuh yang tampak. Oh saya mulai suka dan penasaran dengan kota ini, Semarang seperti Surabaya, kota kolonial (dan kota pelabuhan) yang sekarang ditinggal jauh oleh Jakarta, tapi kedua kota ini menyimpan banyak kejutan yang belum banyak diketahui oleh banyak orang.