Kita mendengarkan musik sambil melihat wujud visualnya yang bergerak seiring. Dunia paralel audio-visual.
***
Sabtu sore, 18 Juni 2011, pengunjung mulai berdatangan, menempati kursi-kursi yang telah disediakan, untuk menyaksikan pemutaran film AeroSon, musik grafik karya komponis Belanda, Arno Peeters. Dalam film ini, kita mendengarkan musik elektro-akustik sambil melihat visualisasinya. Sore itu, kami beruntung sekali dapat berdiskusi bersama penggagas acara ini, yaitu Slamet Abdul Sjukur, maestro musik dan komponis kelahiran Surabaya dengan berbagai prestasi dan penghargaan internasional.
Apa itu musik elektro-akustik? Slamet memberi pengantar mengenai musik elektro-akustik, dan perjalanan pergantian nama penggolongannya: musik konvensional, musik kongkrit, dan musik eksperimen. “Tapi semua musik juga eksperimen, jadi akhirnya, dipilihlah musik elektro-akustik, yang gamblang menjelaskan penggabungan teknologi elektronik dengan akustik.”
Untuk memberi gambaran, sebelum film dimulai, kami mendengarkan petikan karya Pierre Henry, Variations pour une Porte et un Soupir (Main-main dengan Pintu dan Nafas): Balancement (Berayun-ayun), Chant (Dendang) dan Éveil (Menggeliat). Dengan hanya menggunakan permainan suara pintu dan nafas—dua hal yang begitu sederhana, kita bisa merasakan, membayangkan berbagai gestur dan perasaan. Sesuai dengan judulnya, ada kesan bermain-main di ayun-ayun, menggeliat bangun, jenaka sekaligus sensual.
“Musik bukan lagi sekedar obyek, tapi juga subyek, dengan kemampuan menangkap dan ditangkap.” Terkadang, saking terpakunya pada hal-hal yang kasat mata, kita melupakan indra lainnya. Bunyi-bunyian di sekeliling kita, bisa menjadi musik yang mengharukan. “Termasuk kentut.”
Film ini dibuat oleh Arno Peeters di tahun 1996, mengenai bunyi di sekeliling kita yang terus menerus berubah dan bergerak. Bunyi-bunyian peradaban masyarakat Indian Makaron di Amazon, digabungkan dengan bunyi-bunyian teknologi seperti bunyi dot-matrix printer, pemancar TV, dering telpon, dan radio. Sementara di layar, kami melihat interpretasi visual Arno Peeters.
Narasi teks renungan Arno Peeters, terselipkan dalam film, yang terjemahannya disediakan pula oleh Slamet. Renungan mengenai pertemuan padanan suara dan perubahan makna bunyi, gelombang pendek radio SW yang terasas seperti suara-suara jangkrik atau kodok di Amazona, Hari Perhitungan yang menggabungkan keresahan David Oppeheimer dengan suara-suara gelisah 800 penduduk yang mengakhiri nyawanya atas perintah Jim Jones, jati diri dan berbagai hal lainnya.
Pemutaran dilanjutkan dengan diskusi. Sehubungan dengan visualisasi Arno Peeters yang terkadang bagi beberapa pengunjung dirasa sedikit tidak sinkron dengan musiknya, di sini dibahas dominasi budaya visual yang kemudian kerap mengabaikan indra lainnya, dan hal-hal yang “abstrak” yang tidak terlalu diberi tempat dalam ruang “logika”. Meskipun di sini, Pak Slamet tidak terlalu mempermasalahkan apa yang disebut “abstrak”. Namun, dibahas di sini bagaimana bayi, dan beberapa orang, “menonton bunyi.” Bayi, sampai usia 2-2.5 tahun, tidak bisa membedakan apa yang dia lihat ataupun dia dengar. Jika dia melihat warna biru, terdengar pula bunyi, begitu pula sebaiknya. Di sini, bisa dilihat bahwa pemisahan-pemisahan logika audio dan visual itu dibangun. Terasa di sini pentingnya pendekatan yang lebih menyeluruh, holistik, dalam mengamati sekeliling kita, pendekatan yang saling berkaitan dan tidak terpisah-pisahkan.
Terkait dengan banjirnya berbagai peralatan elektronik dan software canggih zaman sekarang—yang dapat menirukan berbagai musik “tradisional”—Benny Wicaksono menanyakan dan menyatakan kerinduannya atas proses pembuatan yang masih analog dan sederhana, tapi penuh kreatifitas.
Di sini, Slamet memberi contoh musik Pierre Henry yang diputar sebelumnya. “AeroSon itu masih baru, dibuat tahun 1996. Sementara musik Pierre Henry tadi, bahannya cuma pintu dan nafas. Itu dibuat tahun 1948. Sementara kalau kita lihat sekarang, kemajuan semakin hebat. Semakin mudah membuat musik, tapi tetap ada masalah kreatifitas. Jadi bukan kemudahan yang menjamin.”
Sekitar jam setengah sembilan, acara kami akhiri. Pengunjung yang tinggal membantu mengemasi peralatan dan perabotan. Di dalam ruangan, kami lanjut bercanda dengan Slamet, yang mengaku lebih suka dipanggil Mas ketimbang Pak yang terdengar sangat birokratis DPR, tapi sengaja tetap kami panggil Pak, hehehe… Malam yang menyenangkan dan berkesan. Terima kasih kepada Mas Slamet, VIDEO:WRK 2, dan semua orang yang telah membantu meramaikan acara ini.
***
Booklet pengantar dan terjemahan adegan AeroSon dapat diunduh di:
http://c2o-library.net/wp-content/uploads/2011/06/AeroSon-web.pdf
Pemutaran dan diskusi AeroSon adalah bagian dari pra-acara VIDEO:WRK 2, Surabaya Video Festival.