Comics

Sabtu, 15 Oktober 2011
Perpustakaan C2O
Jl. Dr. Cipto 20 Surabaya 60264
(lihat peta di sini: http://c2o-library.net/about/address-opening-hours/)
INFO: (031) 77525216 / 0858 5472 5932

17.00-19.30
DIY Talk Day 4: Comics
Panelist:
Broky (outline studio)
X-Go (Studio Bunuh Diri)
Pak Waw (Mantri Animasi)
Kathleen Azali (C2O Library)

Moderator:
Andriew B
Ari Kurniawan

Berusaha membebaskan diri dari pengkategorian gaya gambar yang cenderung membelenggu, masing-masing komikus ini mencoba berkarya dengan pilihan bahasa visual mereka masing-masing. Yang menarik mereka memilih pendekatan yang berbeda dalam proses produksi dan distribusi karya komik mereka.

DIY Screening: Beautiful Loser
19.30-21.00
Documentary
(2009)
Duration 90 min

Introduction to Design

C2O library, Jl. Dr. Cipto 20 Surabaya
Minggu, 2 Oktober 2011, 17.00

17.00 DIY TALKS Day 1
Intro to DIY (Design It Yourself)
Introduction to Design
Panelis:
Bing Fei (Vaith Design)
Josef Prijotomo (Guru Besar Arsitektur ITS)
Anas Hidayat (Republik Kreatif)
Moderator : Ramok Lakoro (DKV ITS)

Diskusi hari pertama dimulai dengan pengantar desain secara umum dan universal. Mulai dari makna kata desain, proses, hingga peranan dan tantangannya dalam peradaban manusia. Semuanya dikontekskan dengan kondisi terkini di masyarakat.Menghadirkan panelis dari disiplin dan modus kreatif yang berbeda-beda sehingga memancing keberagaman perspektif pikiran.

20.00 DIY Screening
The Genius of Design Episode 1 : “Ghosts in the Machine”
Duration 48m

Gender & Seksualitas dalam Seni

Bulan ini kami menghadirkan film-film yang membahas gender dan seksualitas, terutama dalam kaitannya dengan seni. Di sini, gender dipahami sebagai konstruksi sosial yang melingkupi seperangkat karakteristik (perilaku, sifat, tanggung jawab, dsb.) yang diidentikkan pada diri laki-laki/ perempuan/ gender lainnya, akibat bentukan budaya atau pengaruh lingkungan. Sementara seksualitas mengandung makna yang sangat luas karena mencakup aspek kehidupan yang menyeluruh, dan terkait dengan jenis kelamin biologis maupun gender, juga orientasi dan perilaku seksual.

Dalam film-film ini, kita bisa melihat bagaimana seksualitas mempengaruhi dan dipengaruhi oleh interaksi begitu banyak faktor-faktor kehidupan: biologis, psikologis, sosial, politik, budaya, ekonomi, agama dan spiritual, termasuk pula seni. Seni di sini tidak terbatas pada seni rupa, tapi juga ada pada musik rock (Hedwig & the Angry Inch), seni patung (Camille Claudel), komik (Chasing Amy), dan lukisan (Seraphine, Caravaggio). Dari film-film ini juga kita dapat melihat, bagaimana “gender melekatkan, dilekatkan, dan mengalami proses pelekatan” dalam produksi seni, sebagaimana juga terjadi di Indonesia, yang bisa kita simak di peluncuran & diskusi buku katalog data IVAA #1, Rupa Tubuh (24/9).

Semoga rangkaian acara kecil ini dapat sedikit memperkaya dan memprovokasi wawasan kita mengenai gender, seksualitas, dan seni. Selamat menikmati!

Reportase: Tattoo People

“Dari pemutaran yang ada di dua kota sebelumnya (Jakarta & Bandung), di Surabaya ini yang paling rame…” kata Durga setelah acara pemutaran dan diskusi Mentawai Tattoo Revival berakhir. Acara screening yang digagas Hifatlobrain Travel Institute dan C2O Library ini memang menyedot banyak pengunjung yang terdiri dari berbagai latar belakang. Sekitar 100 orang memadati halaman belakang perpustakaan sejak pukul lima sore.

Salah satunya adalah Iman Kurniadi, seorang movie addict yang tinggal di Surabaya. Ia datang bersama kawannya. Ada pula Zani Marjana, seorang penggiat di milis Indobackpacker yang datang dengan membawa sumbangan takjil berupa cake klappertaart yang lezat. Suwun om! Hehehe.Sebelum berbuka memang ada semacam tausiyah singkat dari kyai Rahung yang menceritakan latar belakang pembuatan film dokumenter Merajah Mentawai ini. “Waktu itu saya nggak ada rencana apa-apa, nggak ada script juga. Saya hanya ingin mengabadikan kegiatan Durga di Mentawai, karena menurut saya idenya sangat luar biasa,” kata Rahung.

Sejak akhir dasawarsa 90, Durga meninggalkan Jogja untuk mendalami kehidupan sebagai seorang disk jockey dan underground artist di Berlin. Seni merajah tubuh bukan hal asing bagi Durga, ia sudah berkenalan dengan mesin dan tinta sejak menjadi mahasiswa ISI dan “terlibat” dengan komunitas punk generasi awal di Jogja. Pada 2005, dengan semangat petualangannya, Durga kembali meninggalkan Indonesia menuju Los Angeles, di kota ini Durga mendapatkan inspirasi dari Sua Sulu Ape di Black Wave Studio Tattoo untuk belajar kembali tentang tato tradisi Nusantara. Durga mengamati, sebagai maestro tato tribal, Sua Sulu Ape sering mengunjungi Borneo, Samoa dan Tahiti untuk mendalami tato tradisi yang kini populer kembali.

Berbekal pengetahuan yang minim tentang tato Mentawai, Durga mengajak Rahung untuk bergabung. Catatan antropologis seorang peneliti Belanda, Reimar Schefold, dijadikan acuan awal bagi ekspedisi ini. Bantuan datang kemudian dari Universitas Andalas di mana salah satu mahasiswa jurusan Antropologi ada yang berasal dari Mentawai. Mahasiswa inilah yang menjadi penunjuk jalan utama bagi perjalanan Durga dan Rahung.

Durga menjelaskan bahwa budaya tato Mentawai, salah satu budaya rajah paling tua di dunia, sangat terakit erat dengan sistem kepercayaan suku Mentawai, Arat Sabulungan. “Jadi setiap tato memiliki arti dan proses inisiasinya sendiri. Ia menjadi tanda yang disepakati secara umum, menunjukkan status dan personalitas pemakainya,” kata Durga.

Sayang, hari ini tato Mentawai tidak lagi banyak ditemui. “Kita sulit menemukannya di Pagai, namun masih cukup banyak di Sipora…” kata Durga. Terma cukup banyak ini sendiri tidak benar-benar menggambarkan kata ‘cukup banyak’, tato di Sipora pun hanya bisa ditemui pada orang-orang tua dan sikerei (dukun Mentawai) yang kulitnya sudah penuh keriput. “Anak muda Mentawai sudah malu dan menganggap budaya tato itu ketinggalan zaman, primitif” kata Durga. Pola pikir itu dibentuk dari sistem pendidikan modern yang masuk seiring dengan datangnya misionaris dan lembaga bernama negara.

Rumah Abu HanRumah Abu Han

Minggu, 14 Agustus 2011, 18.00
Perpustakaan C2O, Jl. Dr. Cipto 20 Surabaya 60264
(Lihat peta di sini: http://c2o-library.net/about/address-opening-hours/)

Bersama:
Kevin Reinaldo, filmmaker, rantingpohon production
Robert W. Rosihan, pemilik Rumah Abu Han
Ir. Lukito Kartono, MA, dosen arsitektur UK Petra, pakar arsitektur tradisional Tionghoa & Indonesia, Center for Chinese Indonesian Studies (CCIS)
Debby Ariyani, Jejak Petjinan
Moderator: Setyo Nugroho, Surabaya Tempo Dulu

Surabaya dengan segala perkembangan dan kesibukannya, terkadang melupakan sisi-sisi historisnya. Bangunan-bangunan kuno di daerah kota lama, menjadi sebuah peninggalan yang terkadang terabaikan keberadaanya. Padahal mereka memiliki banyak hal unik dan kaya nilai-nilai kebudayaan yang dapat dipelajari.

Salah satu bangunan kuno di daerah kampung Cina di Surabaya adalah Rumah Abu Han. Film Dokumenter Rumah Abu Han menceritakan sebuah rumah peninggalan keturunan Han pada zaman kolonial Belanda di Surabaya yang masih kokoh berdiri hingga saat ini. Sebuah rumah dengan perpaduan 3 gaya arsitektur. Yaitu arsitektur Cina, Belanda/Eropa dan Jawa. Sebuah perpaduan yang unik dan memiliki makna-makna filosofis yang kuat di dalamnya. Bagaimanakah 3 gaya arsitektur tersebut berpadu di dalamnya? Bagaimana keturunan keluarga Han yang hidup saat ini mempertahankan keberadaan rumah leluhur mereka?

Kunjungi:
http://www.facebook.com/Rumahabuhandocumentaryfilm

Music to Eat, Play, and LaughMusic to Eat, Play, and Laugh

Penutupan Eat, Play, Laugh: Kids Fest for All
bersama Slamet Abdoel Sjukur
Minggu, 31 Juli 2011
Perpustakaan C2O, Jl. Dr. Cipto 20 Surabaya 60264
(lihat peta lokasi di: http://c2o-library.net/about/address-opening-hours/ )

Workshop komposisi musik, lucu tapi jitu
15.00-17.00

Pemutaran film The Chorus
Sebuah film Prancis tentang sekolah anak-anak “buangan” yang kemudian menjadi anak-anak yang mempesona setelah bersentuhan dengan musik yang penuh kasih.
17.00-19.00

Slamet Abdul Sjukur (lahir di Surabaya, Jawa Timur, 30 Juni 1935; umur 75 tahun)[1] adalah seorang komponis dari Indonesia. Ia disebut sebagai salah seorang pionir musik kontemporer Indonesia. Karya-karyanya telah banyak dinikmati di mancanegara, khususnya negara-negara Eropa. Ialah yang mempunyai ide yang disebut minimaks, yaitu menciptakan musik dengan menggunakan bahan yang sederhana dan minim. Ia adalah satu satu musisi Indonesia yang di tahun 1970an mengenyam pendidikan lebih dari 14 tahun di Eropa, di Perancis dengan Olivier Messiaen dan Henri Dutilleux.

Beberapa penghargaan yang telah diterima adalah: Bronze Medal dari Festival de Jeux d’Automne in Perancis (1974), Piringan Emas dari Académie Charles Cros di Perancis(1975, untuk karyanya berjudul Angklung) dan Medali Zoltán Kodály dari Hungaria (1983). Majalah Gatra juga memberinya anugerah sebagai pioner musik alternatif (1996) dan ia juga diangkat sebagai anggota Akademi Jakarta seumur hidup (2002). Pada tahun 2005, Slamet Abdul Sjukur dianugerahi penghargaan dari Gubernur Jawa Timur karena dedikasinya pada musik.

Beberapa nama yang menonjol yang sempat mengenyam ilmu darinya adalah Tony Prabowo, Gilang Ramadhan, Franki Raden, dan Soe Tjen Marching.

———
Acara ini adalah acara penutupan festival anak & craft Eat, Play, Laugh, yang diselenggarakan selama bulan Juli 2011 di Perpustakaan C2O.
Lengkapnya: http://c2o-library.net/2011/07/eat-play-laugh/

Gratis dan terbuka untuk umum. Sampai ketemu!

Info:
Email: c2o.library@yahoo.com
Telp: 031-77525216

Reportase: AeroSon, dunia paralel audio-visual

Kita mendengarkan musik sambil melihat wujud visualnya yang bergerak seiring. Dunia paralel audio-visual.

***

Sabtu sore, 18 Juni 2011, pengunjung mulai berdatangan, menempati kursi-kursi yang telah disediakan, untuk menyaksikan pemutaran film AeroSon, musik grafik karya komponis Belanda, Arno Peeters. Dalam film ini, kita mendengarkan musik elektro-akustik sambil melihat visualisasinya. Sore itu, kami beruntung sekali dapat berdiskusi bersama penggagas acara ini, yaitu Slamet Abdul Sjukur, maestro musik dan komponis kelahiran Surabaya dengan berbagai prestasi dan penghargaan internasional.

Apa itu musik elektro-akustik? Slamet memberi pengantar mengenai musik elektro-akustik, dan perjalanan pergantian nama penggolongannya: musik konvensional, musik kongkrit, dan musik eksperimen. “Tapi semua musik juga eksperimen, jadi akhirnya, dipilihlah musik elektro-akustik, yang gamblang menjelaskan penggabungan teknologi elektronik dengan akustik.”

Untuk memberi gambaran, sebelum film dimulai, kami mendengarkan petikan karya Pierre Henry, Variations pour une Porte et un Soupir (Main-main dengan Pintu dan Nafas): Balancement (Berayun-ayun), Chant (Dendang) dan Éveil (Menggeliat). Dengan hanya menggunakan permainan suara pintu dan nafas—dua hal yang begitu sederhana, kita bisa merasakan, membayangkan berbagai gestur dan perasaan. Sesuai dengan judulnya, ada kesan bermain-main di ayun-ayun, menggeliat bangun, jenaka sekaligus sensual.

“Musik bukan lagi sekedar obyek, tapi juga subyek, dengan kemampuan menangkap dan ditangkap.” Terkadang, saking terpakunya pada hal-hal yang kasat mata, kita melupakan indra lainnya. Bunyi-bunyian di sekeliling kita, bisa menjadi musik yang mengharukan. “Termasuk kentut.”

Film ini dibuat oleh Arno Peeters di tahun 1996, mengenai bunyi di sekeliling kita yang terus menerus berubah dan bergerak. Bunyi-bunyian peradaban masyarakat Indian Makaron di Amazon, digabungkan dengan bunyi-bunyian teknologi seperti bunyi dot-matrix printer, pemancar TV, dering telpon, dan radio. Sementara di layar, kami melihat interpretasi visual Arno Peeters.

Narasi teks renungan Arno Peeters, terselipkan dalam film, yang terjemahannya disediakan pula oleh Slamet. Renungan mengenai pertemuan padanan suara dan perubahan makna bunyi, gelombang pendek radio SW yang terasas seperti suara-suara jangkrik atau kodok di Amazona, Hari Perhitungan yang menggabungkan keresahan David Oppeheimer dengan suara-suara gelisah 800 penduduk yang mengakhiri nyawanya atas perintah Jim Jones, jati diri dan berbagai hal lainnya.

Pemutaran dilanjutkan dengan diskusi. Sehubungan dengan visualisasi Arno Peeters yang terkadang bagi beberapa pengunjung dirasa sedikit tidak sinkron dengan musiknya, di sini dibahas dominasi budaya visual yang kemudian kerap mengabaikan indra lainnya, dan hal-hal yang “abstrak” yang tidak terlalu diberi tempat dalam ruang “logika”. Meskipun di sini, Pak Slamet tidak terlalu mempermasalahkan apa yang disebut “abstrak”. Namun, dibahas di sini bagaimana bayi, dan beberapa orang, “menonton bunyi.” Bayi, sampai usia 2-2.5 tahun, tidak bisa membedakan apa yang dia lihat ataupun dia dengar. Jika dia melihat warna biru, terdengar pula bunyi, begitu pula sebaiknya. Di sini, bisa dilihat bahwa pemisahan-pemisahan logika audio dan visual itu dibangun. Terasa di sini pentingnya pendekatan yang lebih menyeluruh, holistik, dalam mengamati sekeliling kita, pendekatan yang saling berkaitan dan tidak terpisah-pisahkan.

Terkait dengan banjirnya berbagai peralatan elektronik dan software canggih zaman sekarang—yang dapat menirukan berbagai musik “tradisional”—Benny Wicaksono menanyakan dan menyatakan kerinduannya atas proses pembuatan yang masih analog dan sederhana, tapi penuh kreatifitas.

Di sini, Slamet memberi contoh musik Pierre Henry yang diputar sebelumnya. “AeroSon itu masih baru, dibuat tahun 1996. Sementara musik Pierre Henry tadi, bahannya cuma pintu dan nafas. Itu dibuat tahun 1948. Sementara kalau kita lihat sekarang, kemajuan semakin hebat. Semakin mudah membuat musik, tapi tetap ada masalah kreatifitas. Jadi bukan kemudahan yang menjamin.”

Sekitar jam setengah sembilan, acara kami akhiri. Pengunjung yang tinggal membantu mengemasi peralatan dan perabotan. Di dalam ruangan, kami lanjut bercanda dengan Slamet, yang mengaku lebih suka dipanggil Mas ketimbang Pak yang terdengar sangat birokratis DPR, tapi sengaja tetap kami panggil Pak, hehehe… Malam yang menyenangkan dan berkesan. Terima kasih kepada Mas Slamet, VIDEO:WRK 2, dan semua orang yang telah membantu meramaikan acara ini.

***

Booklet pengantar dan terjemahan adegan AeroSon dapat diunduh di:
http://c2o-library.net/wp-content/uploads/2011/06/AeroSon-web.pdf

Pemutaran dan diskusi AeroSon adalah bagian dari pra-acara VIDEO:WRK 2, Surabaya Video Festival.

Zamrud Khatulistiwa

Narasumber : Farid Gaban (Tim ekspedisi, wartawan Kantor Berita Pena Indonesia)Moderator : Ayos Purwoaji (hifatlobrain)
Minggu, 26 Juni 2011 18.00 – selesai
C2O Library, Jl. Dr. Cipto 20 Surabaya

Indonesia adalah negeri kepulauan terbesar di dunia. berisi sekitar 17.000 pulau, negeri ini memiliki garis pantai terpanjang kedua di dunia setelah Kanada. Mengandung kekayaan alam, baik darat maupun laut, tiada tara, dia berisi keanekaragaman hayati yang kaya raya.

Namun, sebagian besar penduduk pesisir dan kepulauan Indonesia tergolong miskin; tidak tersentuh deru pembangunan. Paradigma pembangunan kita masih cenderung memanjakan darat dan perkotaan, serta mengabaikan laut dan kepulauan kecil.

Di masa lalu, Nusantara dikenal sebagai negeri bahari. Pelaut-pelaut tradisional kita adalah pelaut petualang dan pemberani. Citra itu telah pudar belakangan ini. Padahal, di masa depan, laut dan pulau-pulau kita dengan segala keindahan dan kekayaan di dalamnya, merupakan jawaban atas sebagian besar problem Indonesia. Namun, perhatian, kepedulian dan pengetahuan kita tentang laut masih relatif minim.

Tim Ekspedisi keliling Indonesia selama 8 bulan dari Mei hingga Desember 2009, mengunjungi, mendokumentasikan dan mempublikasikan lewat produk multimedia kehidupan di 100 pulau pada 40 gugus kepulauan.
Pemerintah dan masyarakat Indonesia perlu mengubah cara berpikir : mulai secara serius menengok khasanah kekayaan hayati dan budaya laut serta kepulauan sebagai jawaban atas krisis ekonomi dan lingkungan yang sekarang melanda negeri ini.

Ekspedisi ini diharapkan bisa menyumbang dokumentasi, pengetahuan serta ajakan yang lebih keras agar kita lebih serius mengembangkan potensi kelautan dan kepulauan kita sekaligus melestarikannya.

Pemutaran AeroSon: Musik-Grafik

Kita mendengarkan musik sambil melihat wujud visualnya yang bergerak seiring. Dunia paralel audio-visual.
Bersama pembicara dan pengantar: Slamet Abdoel Sjukur.
Sabtu, 18 Juni 2011, pk. 18.00 – selesai
bagian dari pra-acara VIDEO:WRK #02, Surabaya Video Festival.

***

AeroSon dibuat 1996 oleh seorang komponis Belanda Arno Peeters.

Tentang lingkungan bunyi yang mengelilingi kita dan terus menerus berubah. Dulu kita akrab dengan suara air, suara sehari-hari di desa atau binatang, sekarang peralatan telekomunikasi modern dan kebisingan industri menunjukkan kehidupan kota yang semakin sibuk. Bunyi-bunyi yang tidak pernah ada sebelumnya, disebarkan melalui udara oleh pemancar tv dan radio. Mesin penggerak komputer, fax, penjawab telpon, elevator, generator pembangkit listrik, semuanya bergumam bersama-sama tiada hentinya: sebuah simfoni berbagai gelombang yang menghuni udara.

Bunyi-bunyian seperti itu oleh Arno Peeters diramu dengan suara-suara masyarakat Indian Makaron (sebuah suku di Amazon) yang hidupnya masih seperti di Zaman-Batu. Dari rekaman tiupan tabung panjang mirip didgeridoo aborigin, dan ritme yang mereka lakukan untuk mengatur waktu, terdengar seperti bunyi printer dot-matrix. Bunyi-bunyi peradaban tua dipertemukan dengan belantara bunyi teknologi. Kita tersambung ke seluruh jaringan dan sekaligus merasa terpencil.

Books to Film

Untuk meramaikan Book’s Day Out selama bulan April tiap hari Sabtu dan Minggu, pk. 18.00, kami akan memutar film-film adaptasi dari buku.
———–
No Country for Old Men

Sutradara: Coen Brothers
2007 | USA | 122 m | Warna | Inggris, teks Inggris
Pemutaran: Sabtu, 2 April 2011, 18.00

Diadaptasi dari novel Cormac McCarthy, No Country for Old Men menceritakan pengalaman seorang pria yang kebetulan menemukan rezeki besar, dan akhirnya menjeratnya dalam drama perburuan antara tiga orang laki-laki di Texas di tahun 1980.
———————
Oliver Twist

Sutradara: Roman Polanski
2005 | UK | 130 menit | Warna | Inggris, teks Indonesia
Pemutaran: Minggu, 3 April, 18.00
Adaptasi dari cerita klasik Charles Dickens, di mana seorang anak yatim piatu bertemu dengan seorang pencopet di jalanan London. Dari situ, dia bergabung dengan sekumpulan anak yang dilatih mencuri untuk majikan mereka.
—————
Tristram Shandy

Sutradara: Michael Winterbottom
2006 | USA | 90m | Warna | Inggris
Pemutaran: Sabtu, 9 April 2011, 18.00
Dibuat berdasarkan novel Laurence Sterne, The life and opinions of Tristram Shandy, Gentleman, Michael Winterbottom membawa kita dalam suatu komedi yang berpindah-pindah dari abad ke-18 ke usaha-usaha konyol pembuat film di abad ke-21 dalam mengadaptasi novel Inggris ini.
———————
The Name of the Rose

Sutradara: Jean-Jacques Annaud
1986 | USA | 130 m | Warna | Inggris, teks Inggris
Pemutaran: Minggu, 10 April 2011, 18.00
Dengan setting Italia di awal abad ke-14, biarawan William
of Baskerville dan pembantunya, Adso dari Melk, tiba di biara Benediktus di mana kematian misterius telah terjadi. Mereka berdua menyelidiki kematian tersebut, dan menyaksikan bagaimana berbagai kematian aneh lainnya menyusul. Dibuat berdasarkan novel Umberto Eco dengan nama yang sama.
————–
Fight Club

Sutradara: David Fincher
1999 | USA | 139 menit | Warna | Inggris, Indonesia
Pemutaran: Sabtu, 16 April 2011, 18.00
Edward Norton memerankan narator, “everyman” tak bernama yang tidak puas dengan profesi kantorannya. Bersama Tyler Durden, dia membentuk “Fight Club” untuk para pekerja yang tidak puas dengan sterilitas hidup mereka melampiaskan diri dengan berkelahi. Dibuat berdasarkan novel Chuck Palahniuk.
————
Animal Farm

Sutradara: John Halas & Joy Batchelor
1955 | UK | 80 menit | Warna | Inggris, teks Inggris
Pemutaran: Minggu, 17 April, 18.00
Muak berada di bawah perintah manusia, para hewan di Peternakan Manor memberontak untuk membebaskan
diri di bawah komando para babi. Slogan “All animals are equal” perlahan-lahan mendapat tambahan,
“but some animals are more equal than others.” Diadaptasi dari fabel alegoris George Orwell.
————–
Never Let Me Go

Sutradara: Mark Romanek
2010 | UK | 103m | Warna | Inggris, teks Indonesia
Pemutaran: Sabtu, 23 April 2011, 19.00

Sebuah drama distopia mengenai Kathy, Ruth, dan Tommy, yang terlibat dalam cinta segitiga. Mereka adalah spesimen percobaan ilmiah yang diciptakan dari laboratorium, dan dibesarkan untuk menyediakan organ dalam bagi pasien yang membutuhkan donor organ. Dibuat berdasarkan novel Kazuo Ishiguro.
——
Howl

Sutradara: Rob Epstein & Jeffrey Friedman
2010 | USA| 84m | Warna | Inggris teks Indonesia
Pemutaran: Sabtu, 24 April 2011, 19.00
Penyair Allen Ginsberg menceritakan perjalanan hidup dan keseniannya, sementara puisinya yang paling terkenal, Howl, dihadirkan dalam bentuk animasi, dengan dramatisasi pengadilannya yang terkenal