Mohe Wae Rebo!

Pemutaran & diskusi film arsitektur nusantara: Mohe Wae Rebo!
Bersama Rendy Hendrawan & Arya Wishnu Wardana
Jumat, 16 Desember 2011
Pk. 18.00 – 21.00

Tersedia popcorn dan minuman hangat, courtesy of Hifatlobrain Travel Institute, kru Mohe Wae Rebo dan C2O. Mohon sumbangan kawan-kawan untuk menjaga kelangsungan kegiatan ini ;-)
INFO: info@c2o-library.net
———-
Benarkah dimuseumkan berarti telah punah?
Menjadi pusaka berarti dibiarkan berdebu dan beku dimakan waktu?
Tercatat dalam sejarah berarti harus siap terlupakan dan digantikan oleh hal baru?

*

Seperti ada yang ingin disampaikan oleh alam melalui deretan gunung dan bukit, aliran sungai dan selapis kabut, langit pagi dan malam, juga mata yang memandang ramah sejumlah turis yang kebanyakan bukan berasal dari tanah nusantara.

Mungkin Wae Rebo memang hanya diperuntukkan bagi mereka yang dengan tulus ingin mencintai alam hingga ke akarnya. Berjam-jam perjalanan jauhnya dari gemerlap lampu kota dan gemercik air mancur bernilai milyaran, memang sangat logis jika hanya segelintir orang Indonesia diantara jutaan yang berjubel memenuhi pulau Jawa yang mampu dan mau menyempatkan waktu mencicipi surga dunia di tengah belantara ini. Alam memberi bayaran yang setimpal. Tak hanya sebentang lukisan hijau berhias kabut melatari rumah adat tua berbentuk kerucut yang bisa dinikmati sambil menyeruput kopi hitam di pagi hari, alam juga menghadiahi taburan bintang yang menjadi tayangan pembuka saat malam, sebelum kepala suku mulai bercerita tentang warisan budaya mereka yang dengan tekun mereka jaga.

Masyarakat Wae Rebo menghargai alam dari lapisan yang paling esensial. Nilai yang alam ajarkan sejak nenek moyang mereka tuangkan dalam keseharian, disimbolisasikan ke dalam Mbaru Niang (rumah adat) dan pola sawah yang mereka buat. Setiap detail perilaku mereka terlihat sederhana, namun merupakan budaya kaya dan tak lekang oleh zaman. Yang pernah rapuh dan hilang, kini tergantikan, dengan dukungan segelintir saudara setanah air mereka yang masih sanggup datang dan peduli.

*

Suatu siang ketika ketujuh Mbaru Niang telah tegak berdiri, siap dihuni, sayup terdengar lagu Indonesia Raya dikumandangkan dengan fasih, tanpa cela. Di ujung atap Mbaru Niang yang kembali sempurna, melambai-lambai bendera kebangsaan Indonesia.

“Seperti melihat nenek moyang lahir kembali dari rumah yang setelah sekian lama hilang, lalu kini bangkit dan berdiri,” kata seseorang dari Wae Rebo. Ah, Wae Rebo tidak boleh mati hanya agar dapat kita buat museumnya dan dinikmati tanpa hati.

Terima kasih, Wae Rebo, pusaka arsitektur nusantara tidak pernah seindah dan sehidup ini.

Mohe Wae Rebo!

Sumber: Ronaldiaz Hartantyo dan Adi Reza Nugroho
Ditulis oleh Rofianisa/Vidour untuk “Bring Waerebo to 21st Century” iPad Application Project

Pelangi di Merapi

Pemutaran film “Pelangi di Merapi”
Sabtu, 3 Desember 2011, pk. 18.00-21.00
C2O Library, Jl. Dr. Cipto 20 Surabaya 60264.

Film Pelangi di Merapi menceritakan tentang peristiwa pasca bencana erupsi merapi 2010 yang melumat habis 2.271 rumah yang tersebar di 14 desa di tiga kecamatan. Sejumlah warga kehilangan harta benda, rumah, hewan ternak, dan pekerjaan sehari-hari. Film ini diperankan oleh Rini, seorang Ibu rumah tangga dan Mbah Cipto (korban bencana dari desa Pengok Rejo, Umbulharjo kec. Cangkringan). Secara keseluruhan film Pelangi di Merapi akan di ceritakan oleh Rini dan Mbah Cipto dengan mengambil setting lokasi di tempat mereka tinggal yaitu dusun Pengok Rejo, Umbulharjo kec. Sleman.

Film ini akan diawali dengan sebuah tembang lagu “Si Gunung Merapi” oleh Ny. Tri Widijati (Pengungsi dari desa Parak Sari kec. Cangkringan) dengan latar visual pemandangan gunung Merapi pasca bencana erupsi. Kemudian secara bergantian Rini dan Mbah Cipto akan menceritakan beberapa kejadian yang mereka alami pada saat bencana erupsi menghantam desanya. Bagaimana mereka bertahan dalam menjalani masa-masa sulit selama di pengungsian?

Setelah kawasan lereng gunung Merapi dinyatakan aman dan dibuka untuk masyarakat umum, Rini 24 tahun, mencoba mencari peruntungan dengan berjualan makanan dan minuman di pekarangan rumahnya. Sedangkan Mbah Cipto kembali berjualan soto di atas reruntuhan bangunan rumahnya yang telah rata dengan tanah. Di pagi hari mereka menatap mimpinya dengan mendirikan warung / tenda darurat untuk di jajakan kepada pengunjung / wisatawan yang memadati wisata baru yaitu tracking volcano. Di sore hari, mereka berkemas-kemas menuju peraduan daruratnya yaitu pengungsian.

Setelah beberapa hari berjualan, Rini dan Mbah Cipto menemukan secercah harapan baru, mimpi-mimpi baru. Rupiah yang terkumpul membuat mereka lebih bersemangat dan melupakan trauma bencana yang telah mengubur masa depan mereka sebelumnya. Mimpi cita-cita lenyap hanya sesaat. Dengan berdoa serta usaha sekuat tenaga mereka yakin bahwa kehidupan akan hadir kembali di gunung Merapi.

Dongeng Rangkas

Pemutaran & diskusi filem dokumenter “Dongeng Rangkas”
Sabtu, 26 November 2011, pk. 18.00 – 21.00
C2O Library, Jl. Dr. Cipto 20 Surabaya 60264
(Jalan kecil seberang Konjen Amerika. Lihat peta di: http://c2o-library.net/about/address-opening-hours/)

bersama Forum Lenteng, Saidjah Forum, dan akumassa
Moderator: Kelompok Studi Kinetik

————–
Sinopsis
————–
Film Dongeng Rangkas merupakan sebuah usaha kawan-kawan komunitas yang punya ketertarikan kepada persoalan-persoalan lokal dan merekamnya ke dalam media audio visual untuk didistribusikan kepada masyarakan sebagai bahan pembelajaran bersama. Sebagai usaha untuk merekam persoalan lokal, maka format dokumenter feature dianggap salah satu cara yang paling efektif dalam menghadirkan dan membangun kesadaran bersama tersebut.

Produksi Dongeng Rangkas berlangsung selama 3 bulan (Mei – Juli 2011), yang melibatkan pelaku dokumenter Forum Lenteng, Jakarta dan Saidjahforum, Rangkasbitung. Proses perekaman film dilakukan di desa Kampung Muara, Kawasan Sungai Ciujung, Kota Rangkasbitung, dan suasana stasiun Kereta Api Rangkasbitung.

Film ini berusaha memotret Rangkasbitung dari aktivitas-aktivitas masyarakat yang diwakili oleh sosok dua orang penjual tahu; Kiwong dan Iron. Dua tokoh ini dapat dianalogikan sebagai potret dua pemuda yang hidup paska Reformasi 1998 yang hidup di sebuah kota berjarak 120 Km dari ibu kota Jakarta. Kota yang menjadi terkenal oleh buku Multatuli itu, sepertinya begitu lambat tumbuh, di antara hingar-bingar pembangunan paska Reformasi. Kiwong dan Iron adalah dua pemuda sederhana yang memilih hidup sebagai pedagang tahu, sementara mimpi-mimpinya tetap dipegang teguh. Kiwong bermimpi menjadi pemuda yang lebih baik, yang menjadikan keluarga hidup lebih baik dari sebelumnya. Sedangkan Iron, percaya musik adalah anugrah dari Tuhan, dan ia ingin terus mengembangkan fantasi musiknya di jalur ‘underground’.

Dongeng Rangkas bisa dianggap sebagai satu-satunya dokumenter feature yang hadir dan diproduksi di Rangkasbitung. Hal ini diharapkan dapat menjadi pemicu perkembangan dunia perfilman di Rangkasbitung dan sekitarnya.

Produksi
Filem ini adalah produksi Forum Lenteng yang bekerjasama dengan Komunitas Saidjah Forum, Lebak. Kerja produksi dokumenter ini merupakan bagian dari peningkatan kapasitas komunitas akumassa yang diprakarsai oleh Forum Lenteng. Kerja-kerja dalam program akumassa adalah melakukan pendidikan media kepada komunitas dalam rangka membangun kesadaran “media” kepada masyarakat sebagai bagian dari pengembangan diri dan masyarakat sekitar. Aktivitas akumassa dapat dilihat di www.akumassa.org.

—————
Tim Kerja
—————

KOLABORASI PENYUTRADARAAN
Andang Kelana, Badrul “Rob” Munir, Fuad Fauji, Hafiz & Syaiful Anwar
KAMERA
Syaiful Anwar & Fuad Fauji
ASISTEN KAMERA
Andang Kelana & Badrul Munir
PEWAWANCARA
Badrul “Rob” Munir, Andang Kelana, Fuad Fauji, Helmi Darwan & Zainudin “Dableng”
PENYUNTING
Hafiz & Syaiful Anwar
PENYELARAS SUARA
H. Sutan Pamuncak
KOREKSI WARNA
Ari Dina Krestiawan
DOKUMENTASI
Badrul Munir, Fuad Fauji, Zainudin “Dableng”, Bima Mulia, Aboy Sirait, Andang Kelana, Litbang Forum Lenteng & Litbang Saidjah Forum
MANAJER LAPANGAN
Helmi Darwan
ASISTEN MANAJER LAPANGAN
Aboy Sirait, Kuni Ahmed
PIMPINAN PRODUKSI
Otty Widasari
PRODUSER
Hafiz Rancajale
PRODUKSI
Forum Lenteng, akumassa & Saidjah Forum

Spesifikasi Teknis
2011 | Warna | PAL | 75 menit | Bahasa Indonesia & Sunda
Subteks Bahasa Indonesia & Bahasa Inggris | 17+

Didukung oleh
FORUM LENTENG | AKUMASSA | SAIDJAH FORUM | THE FORD FOUNDATION

———————–
Forum Lenteng
———————–
Forum Lenteng adalah organisasi nirlaba egaliter sebagai sarana pengembangan studi sosial dan budaya. Forum Lenteng berdiri sejak tahun 2003 yang didirikan oleh mahasiswa (ilmu komunikasi/jurnalistik), pekerja seni, periset dan pengamat kebudayaan — untuk menjadi alat pengkajian berbagai permasalahan budaya dalam masyarakat, guna mendukung dan memperluas peluang bagi terlaksananya pemberdayaan studi sosial dan budaya Indonesia. Forum Lenteng bekerja dengan merangkum serta mendata aspek-aspek sosial dan budaya yang mencakup kesejarahan dan kekinian di dalam kerangka kajian yang sejalan dengan perkembangan jaman dengan mengadakan pendekatan solusif bagi keberagaman permasalahan sosial dan budaya di Indonesia serta dunia internasional. Salah satu medium yang digunakan Forum Lenteng adalah medium audio visual (film dan video).

Jl. Raya Lenteng Agung No.34 RT.007/RW.02
Lenteng Agung, Jakarta Selatan
Jakarta-12610
Indonesia

———————–
Saidjah Forum
———————–
Saidjahforum adalah kelompok belajar yang didirikan oleh mahasiswa jurnalistik pada 3 Februari 2005 di Serang, Banten. Seiring dinamika organisasi, Saidjahforum kini menetap di Lebak, fokus pada kerja komunitas berbasis teks, video dan arsip, kajian sosial budaya. Saidjahforum didirikan sebagai respon terhadap pembelajaran non-akademik dan selalu memastikan akses terbuka terhadap pendidikan.

JL.Kitarung, Kampung Jeruk No.54, Rangkasbitung, Lebak-Banten. 42311.

Informasi
T/F (62 21) 78840373
dongengrangkas@gmail.com
info@forumlenteng.org

Anak Naga Beranak Naga

Pemutaran & diskusi dokumenter
Anak Naga Beranak Naga: Gambang Kromong, akulturasi budaya Tionghoa Betawi
Minggu, 20 November 2011, pk. 18.00 – 21.00
C2O, Jl. Dr. Cipto 20 Surabaya 60264
(Jalan kecil seberang Konjen Amerika. Lihat peta di: http://c2o-library.net/about/address-opening-hours/)

Bersama:
Ariani Darmawan (sutradara)
Moderator: Ardian Purwoseputro

Tidak banyak orang tahu bahwa Gambang Kromong, yang sempat dipopulerkan oleh Lilis Suryani di tahun 60-an dan duet Benyamin S. – Ida Royani di tahun 70-an, adalah sebuah musik akulturatif berbagai etnis di Indonesia yang cikal bakalnya telah dirintis lebih dari dua abad lalu. Irama gambang kromong dengan tata laras Salendro Cina pertama kali diperkenalkan oleh orang-orang Tionghoa Peranakan sebelum akhirnya mengalami percampuran dengan budaya Jawa, Sunda, hingga Deli, membentuk sebuah musik harmonis yang kini menjadi salah satu ciri khas Betawi.

Selain mengungkapkan sejarah panjang keharmonisan budaya dan musik tersebut lewat gaya tuturnya yang dinamis dan fluid, film ini juga sekilas bercerita tentang kehidupan orang-orang Tionghoa Peranakan sebagai pelaku utama musik Gambang Kromong saat ini.

Berdasarkan kompleksitas musik Gambang Kromong itu sendiri, film ini adalah sebuah catatan humanis, puitis, musikal, hingga komikal tentang musik dan budaya yang terpinggirkan.

akumassa Surabaya

Pemutaran & diskusi video akumassa Surabaya
Sabtu, 12 November 2011, pk. 18.00 – 21.00
Bersama kelompok Studi Kinetik
Gratis & terbuka untuk umum.

Kompilasi video akumassa Surabaya merupakan bagian keseluruhan dari program workshop akumassa yang telah dilakukan oleh Kinetik, sebuahkelompok studi media di Surabaya bekerja sama dengan Forum Lenteng, sebuah lembaga non-profit yang befokus soal pengembangan media dan masyarakat di Jakarta.

Akumassa sendiri merupakan program advokasi dan pengembangan komunitas dalam bentuk lokakarya (workshop) yang difasilitasi oleh Forum Lenteng. Secara mendasar, program akumassa adalah tentang penggunaan medium video, text dan media online di komunitas-komunitas pekerja kreatif muda (mahasiswa, seniman muda, pelaku budaya lokal) di Indonesia guna mendorong kemandirian dalam masyarakat. Program ini memfokuskan kepada pengkajian aspek-aspek sosial dan budaya yang dibentuk sebagai materi pembelajaran guna mengupayakan kesadaran partisipatoris akan persoalan-persoalan yang hidup di dalam masyarakat. Untuk program distribusi media online akumassa bisa dilihat di website http://akumassa.org/

Dalam kompilasi video yang singkat ini, terdapat beberapa bingkaian yang menjadi fokus bagi Kinetik dan Forum Lenteng dalam merekam narasi-narasi kecil, isu sosial masyarakat, kesejarahan serta kekinian di kota Surabaya, diantaranya adalah:

1. “Alkisah di Ampel” (Perkampungan masyarakat Arab di Surabaya sebagian besar berasal dan bermukim di sebuah kawasan yang mengelilingi Makam Suci Sunan Ampel. Masayarakat Arab di Surabaya kerap disebut sebagai penduduk “Ngampel”. Permukiman, pusat ekonomi dan religius, tertata dalam satu lingkup perkampungan kecil di Kawasan Wisata Religius Ampel, Surabaya.)

2. “Angin Barat Cak Meli” (Kampung yang berada di Pantai Ria Kenjeran yang terletak di Surabaya bagian timur ini tidak lepas dari kehidupan nelayan yang menjadikan laut sebagai tempat untuk mencari nafkah.Sebut saja Desa Nambangan, yang terletak di selatan Jembatan Suramadu yang menuju ke arah Taman Wisata Pantai Ria Kenjeran. Ketika matahari mulai terbit, banyak perahu milik warga yang datang atau bergegas menuju ke tengah laut untuk menjala maupun menjaring ikan. SemenjakJembatan Suramadu dibangun, banyak nelayan yang mencari ikan di bawah
jembatan tersebut.)

3. “Irama Budaya” (Salah satu cara kelompok Ludruk ini untuk bertahan dalam perkembangan dunia hiburan adalah dengan tetap berpentas walaupun megap-megap. Namun, sejak beberapa bulan lalu mereka mendapat tempat pentas yang baru sekaligus tempat tinggal para pemain Ludruk yang kesemuanya adalah pria. Mereka mendapat sebuah gedung di lingkungan kompleks Taman Hiburan Rakyat (THR) Surabaya, di mana Grup Srimulat memulai sejarahnya.)

4. “Kesepakatan Sentolop” (Pasar senter adalah pasar loak yang paling berbeda dibanding pasar loak lainnya di Surabaya. Karena pasar loak yang satu ini buka mulai pukul tiga pagi tanpa ada lampu yang menerangi. Subuh-subuh sudah ramai pengunjung dengan senter masing-masing yang mengunjungi pasar itu, oleh sebab itu kami menyebutnya Pasar Senter. Berbeda dengan para pedagang, mereka menyebut pasar ini dengan sebutan Pasar Subuh atau Pasar PMK (karena lokasi pasar yang berada di samping Dinas Pemadam Kebakaran). Bahkan ada yang menyebut Pasar maling, karena disinyalir pasar tersebut menjual barang-barang hasil curian. Pasar ini harus sudah tutup pada pukul Sembilan pagi, karena akan beralih fungsi sebagai Pasar Cincin Akik seperti biasanya.)

5. “Poo Tay Hie” (Pertunjukan boneka tradisional masyarakat etnis Tionghoa yang masih bertahan di Surabaya yaitu di Klenteng Kampung Dukuh, Surabaya Utara. Isi cerita dalam pertunjukan wayang ini selalu menceritakan tentang jaman kerajaan China atau tentang dewa–dewa mereka. Dalam pertunjukan wayang di klenteng ini telah terjadi akulturasi budaya, yaitu percampuran bahasa antara bahasa Cina, Jawa dan Indonesia.)

6. “Warung Catur” (Warung yang bertempat di pinggir Jalan Ngagel ini sudah beridiri sejak 1 taun lalu. Warung Catur dulunya sempat akan tutup dikarenakan bangkrut sebab sepi pengunjung. Akan tetapi, karena ada seorang pelanggan yang mau membeli untuk tetap mempertahankan satu-satunya warung dengan konsep permainan catur itu, jadi Warung Catur tetap buka. Kebanyakan para pengunjung yang datang di Warung Catur adalah para pekerja yang sedang beristirahat karena di sekitar warung tersebut terdapat toko-toko dan bengkel mobil. Warung ini hanya menyediakan minuman dan makanan ringan saja. Sambil beristirahat, para pekerja biasanya minum kopi dan bermain catur dengan waktu yang sangat lama. Warung ini juga menjadi Kantor Percasi (Persatuan Catur Seluruh Indonesia) cabang Surabaya.)

Digital Media Design

DIY Talk #7: Digital Media
Minggu, 23 Oktober 2011, pk. 17.00
Perpustakaan C2O
Jl. Dr. Cipto 20 Surabaya 60264
(lihat peta di sini: http://c2o-library.net/about/address-opening-hours/)
INFO: (031) 77525216 / 0858 5472 5932

Pembicara:
Beny Wicaksono (WAFT)
Hendry Wahana (Motionanthem)
Pinkan Victorien (VJ Poystories)
Eko Ende (Kinetik)
Novi Elisa (VJ Subsidiary)
Arghubi Rachmadia (Public Space)
Phleg (Terbujurkaku)

Moderator:
Ayos Purwoaji (hifatlobrain)

Berpraktik di wilayah disiplin desain yang tergolong muda, para panelis dibawah ini selalu berada dalam tantangan mengolah pesan dan ekspresi mereka dalam bentuk medium yang karakter dan kompleksitasnya berkembang seiring laju percepatan teknologi itu sendiri.

DIY Screening
RIP: A REMIX MANIFESTO
Documentary | Music (2009) | Duration 80 min

Let web activist Brett Gaylor and musician Greg Gillis, better known as Girl Talk, serve as your digital tour guides on a probing investigation into how culture builds upon culture in the information age.

Fashion

Sabtu 22 Oktober 2011, pk. 17.00
Perpustakaan C2O, Jl. Dr. Cipto 20 Surabaya 60264
Pembicara:
Kanya (VRY)
Marsha (kimilatta)
Ariani Widagdo (Arva School)
Era Hermawan (Tempat Biasa)
Alek Kowalsky (Ore Premium Store, allthethingsivedone)
Felkiza Vinanda (Surabaya Fashion Carnival)
Camomile Nungki (house of laksmi)

Moderator:
Linartha Darwis

DIY Talk hari ke 6 memecahkan rekor jumlah panelis terbanyak serta komplit dari berbagai aspek fashion. Mulai dari perancang fashion, aksesoris, blogger, retailer, dan akademisi, semua panelis disini memiliki passion yang sama terhadap dunia fashion. Simak dialog mereka dalam upaya merangkai infrastruktur fashion di Surabaya

DIY Screening: Bill Cunningham: New York (2010)

A cinematic profile of the noted veteran New York City fashion photographer.Cunningham’s enormous body of work is more reliable than any catwalk as an expression of

Comics

Sabtu, 15 Oktober 2011
Perpustakaan C2O
Jl. Dr. Cipto 20 Surabaya 60264
(lihat peta di sini: http://c2o-library.net/about/address-opening-hours/)
INFO: (031) 77525216 / 0858 5472 5932

17.00-19.30
DIY Talk Day 4: Comics
Panelist:
Broky (outline studio)
X-Go (Studio Bunuh Diri)
Pak Waw (Mantri Animasi)
Kathleen Azali (C2O Library)

Moderator:
Andriew B
Ari Kurniawan

Berusaha membebaskan diri dari pengkategorian gaya gambar yang cenderung membelenggu, masing-masing komikus ini mencoba berkarya dengan pilihan bahasa visual mereka masing-masing. Yang menarik mereka memilih pendekatan yang berbeda dalam proses produksi dan distribusi karya komik mereka.

DIY Screening: Beautiful Loser
19.30-21.00
Documentary
(2009)
Duration 90 min

Reportase: DIY #1 Introduction to Design

“Ayah, desain itu apa?” tanya Jasmine. Pertanyaan yang sebelumnya dilontarkan iseng oleh Ayos padanya. Pak Ramok, ayahnya, tertawa kecil dan menjawab, “Kamu duduk di sini saja. Mungkin nanti kamu akan tahu jawabannya.”

“Sembilan tahun yang lalu pertanyaan yang mirip pernah dilontarkan juga pada saya, oleh calon mertua saya. ‘Kerjanya apa?’ Kalau saya jawab ‘desainer’, mereka tahu nggak yah? Bisa-bisa malah memancing pertanyaan-pertanyaan yang lebih banyak. Jadi saya jawablah, ‘Dosen’. Dan selesailah semua permasalahan,” lanjut Pak Ramok, disambut gelak tawa para pengunjung.

***

Minggu sore, 2 Oktober 2011, tikar-tikar telah siap di pelataran belakang C2O. Sambil menunggu acara dimulai, ada yang melihat-lihat atau membaca-baca buku. Di ruang kecil di belakang, ruang yang disulap menjadi think thank lab (alias kantor, gudang, sekaligus kamar kos (??) C2O), presentasi untuk malam itu disiapkan.

Memang, ada banyak pengertian desain, entah sebagai cara berpikir (way of thinking), pemecahan masalah (problem solving), sebagai hasil, sebagai proses, sebagai hanya visual, dan lain-lain. Di Design It Yourself (DIY), desain kami artikan sebagai sesuatu yang sangat mendasari aktifitas manusia—penempatan dan pengelolaan apapun untuk mencapai tujuan yang dinginkan adalah proses desain. “Semua orang mendesain, ketika mereka merancang rangkaian rencana, cara, aksi, apapun, untuk merubah situasi yang ada sekarang, menjadi situasi yang lebih baik atau diinginkan,” papar Andriew Budiman dalam presentasinya mengenai DIY 2011 yang membuka acara malam itu. Desain di sini kami pahami sebagai pemikiran yang integral, apalagi di jaman yang semakin mobile dengan sistem berjejaring, makin diperlukan ruang untuk bertatap muka, berdialog, menyikapi perbedaan dan berkolaborasi.

Maka, di tahun pertama Design It Yourself, kami mengangkat tema Contemporary Local Design Scenes dengan tujuan mengumpulkan, meneliti dan memetakan situasi, kondisi, dan permasalahan-permasalahan dalam desain di Surabaya. Fokus utama memang pada dialog dan diskusi, dengan suasana yang santai dan tentunya tidak kehilangan begejegan khas Suroboyoan.

Introduction to Design

C2O library, Jl. Dr. Cipto 20 Surabaya
Minggu, 2 Oktober 2011, 17.00

17.00 DIY TALKS Day 1
Intro to DIY (Design It Yourself)
Introduction to Design
Panelis:
Bing Fei (Vaith Design)
Josef Prijotomo (Guru Besar Arsitektur ITS)
Anas Hidayat (Republik Kreatif)
Moderator : Ramok Lakoro (DKV ITS)

Diskusi hari pertama dimulai dengan pengantar desain secara umum dan universal. Mulai dari makna kata desain, proses, hingga peranan dan tantangannya dalam peradaban manusia. Semuanya dikontekskan dengan kondisi terkini di masyarakat.Menghadirkan panelis dari disiplin dan modus kreatif yang berbeda-beda sehingga memancing keberagaman perspektif pikiran.

20.00 DIY Screening
The Genius of Design Episode 1 : “Ghosts in the Machine”
Duration 48m