Reportase: Kisah di Balik Pintu

Saya kerap meresensi buku. Bukan karena ingin dianggap sok pintar, sok intelek, tapi ingin mengingatkan diri akan kandungan sebuah buku. Terlebih ketika saya mulai menghentikan belanja buku, dan menggantungkan diri pada buku yang saya pinjam dari perpustakaan.

Ketika menerima buku ‘Kisah di Balik Pintu’ karangan Soe Tjen Marching, benak saya dipenuhi banyak pertanyaan berkaitan dengan isi buku ini. Bagi saya, suatu karya mirip buku umumnya isinya sangat dipengaruhi oleh pengalaman hidup orang yang menulisnya. Meski, buku itu bukan sebuah otobiografi. Pemilihan topik bahasan misalnya, tentu berkaitan dengan minat penulis, serta pengalaman hidup penulis. ‘Jiwa’ pengarang ini banyak saya temukan dalam buku ‘Kisah di Balik Pintu’. Walau, ini adaptasi dari sebuah desertasi penulis ketika menyelesaikan s-3 nya di Monash University, Australia.

Dalam ‘Kisah di Balik Pintu’, penulis meneropong identitas perempuan Indonesia ketika berada di ruang publik  dan privat, pada media tulis. Representasi di ruang publik diwakili oleh otobiografi beberapa perempuan yang dekat dengan tokoh nasionalis, sedang di wilayah privat diambil dari diari beberapa perempuan biasa. Baik otobiografi maupun diari ini ditulis pada masa orde baru (1969-1998). Penulis lalu menganalisa otobiografi dan diari ini dikaitkan dengan represi rezim orde baru.

Saya harus merangkum ‘sedikit’ hasil bedah buku yang dilaksanakan di c2o Library pada 18 November semalam, sebelum berkisah di sebalik balik buku ini.

Menurut pengakuan penulis, dia mengambil tema ini karena otobiografi di matanya itu ‘tricky’. Masyarakat menganggapnya sebagai kisah nyata yang penuh kebenaran, kejujuran, padahal kenyataannya tidak selalu begitu. Otobiografi kerap dimunculkan sebagai ‘citra diri’, sesuatu yang merupakan hasil kompromi antara kisah hidup penulisnya dengan nilai-nilai yang dianut penguasa, atau dengan apa yang diharapkan oleh masyarakat.


Soe Tjen dalam acara bedah buku di c2o library

Di masa orde baru, banyak otobiografi diterbitkan, khususnya otobiografi mereka yang dekat dengan kekuasaan. Sebaliknya, tak banyak karya sastra diluncurkan. Mengapa? Karena otobiografi menjadi alat yang efektif untuk memanipulasi sejarah, mencuci otak rakyat, serta mengagung-agungkan penguasa pada saat itu. Sementara mereka yang otobiografinya ingin lolos sensor kekuasaan, harus ‘menjilat’ penguasa, dan menulis dalam gaya yang ‘tersamar’ jika hendak mengungkap kebenaran. Misalnya, otobiografi yang ditulis oleh Herlina si Pending Emas (Bangkit dari Dunia Sakit, 1986) atau yang ditulis oleh Rachmawati Soekarno (Bapakku Ibuku, 1984). (Saya tak menguraikan bagian mana, silakan Anda baca sendiri )

Sebaliknya, diari bisa tampil blak-blakkan. Sensor dilakukan oleh penulis diari sendiri, dengan membuang bagian yang dianggapnya sebagai kisah yang ‘memalukan’.

Penulis lalu membandingkan aspek represi ideologi-politik negara, juga seksual, yang dilakukan rezim orba, di dalam otobiografi dan diari.

Rachmawati harus ‘berdamai’ dengan menunjukkan  muka manis, pujian, di depan Suharto. Sementara dirinya marah dan ingin berontak melihat melihat bapaknya, Sukarno, diperlakukan mirip tahanan. Begitu juga pujian Herlina pada Suharto (setahu saya pujian dan jilatan ini terkait dengan bisnis, diantaranya pengangkatan bangkai kapal selam yang memenuhi lautan sekitar Morotai).

Muka dua juga dilakukan penulis otobiografi tatkala harus berkisah tentang urusan seks. Herlina harus menunjukkan laku ‘alim’ kala dikirim dalam pembebasan Irian Barat, di dalam kapal yang dipenuhi oleh kaum adam. Atau dia nampak konservatif melarang anak gadisnya camping karena takut ‘dihamili’. Sebaliknya, dia berkisah tentang hubungan cintanya yang mendua dengan si suami dan mantan suami. Mungkin hanya Inggit Gunarsih yang blak-blakkan mengungkap penyelewengannya dengan si ‘anak kos’ Soekarno.

Lalu bagaimana dengan diari? Represi ideologi nampak lewat sara yang muncul pada diari Lilies dan Ida yang menunjukkan ‘kebencian’ pada etnis Tionghoa. Kebencian yang sengaja diciptakan penguasa (orde baru) demi menegakkan kekuasaannya. Sebuah politik ‘devide et impera’ agar kaum ‘pribumi’ dan peranakan tak bersatu. Maka kran pembatasan pendidikan, menjadi pns, berpolitik, menjalankan ibadah, diterapkan pada etnis Tionghoa, namun mereka diberi kebebasan dalam roda perekonomian. Hal sebaliknya diterapkan pada kaum ‘pribumi’.

Dalam hal seks, para penulis diari merasa ‘berdosa’, ketika mengisahkan hubungan intimnya dengan lelaki. Dogma agama dipakai dan dikuatkan oleh penguasa untuk menanamkan ideologinya, demi tegaknya kekuasaan. Norma sosial yang ditegakkan, tak lepas dari dominasi tangan penguasa juga. Penguasa menentukan apa yang layak dan apa yang haram bagi warga negaranya, dikaitkan dengan nilai agama.

Itu sedikit dari yang saya rangkum. Saya tak akan menyoroti apa yang diutarakan penulis di dalam bukunya. Biar Anda membaca sendiri dan menyimpulkan hasilnya. Entah mendapatkan bukunya dengan cara meminjam di perpustakaan, atau membelinya :D.

Saya lebih suka mengamati siapa Soe Tjen Marching. Menurut saya, dia pribadi yang ‘unik’. Keras hati, (mungkin) juga keras kepala, tak suka kompromi, penganut kebebasan, universalisme, baginya tak guna  melekatkan atribut etnis, tak jua berguna melibatkan agama dalam membahas permasalahan hidup. Dia seorang seniman, pemusik juga sastrawan, juga akademisi. Gabungan antara otak kanan dan kiri.

Soe Tjen berkisah buku ini merupakan adaptasi dalam bahasa yang lebih pop dari desertasinya yang berjudul ‘The Discrepancy Between the Public and the Private Selves of Indonesian Women: A Comparison of Published and Unpublished Autobiographies and Diaries. Desertasi ini sudah diterbitkan oleh The Edwin Mellen Press di Britania,  Kanada, dan Amerika pada 2007 lalu.

“Ada yang meminta saya untuk menerbitkan di Indonesia,” akunya. Tak segan, Soe Tjen menerjemahkan sendiri desertasinya ke dalam bahasa Indonesia. Agar tak ada salah interprestasi, katanya, karena dia yang paling tahu dan memahami bukunya.

Soe Tjen mengaku dia korban rezim orde baru. Lahir sebagai keluarga peranakan Tionghoa, membuat dirinya mengalami represi orba secara langsung, seperti ejekan masyarakat setempat sebagai ‘Cina’, pembatasan di bidang politis, berbudaya dan beragama sesuai adat leluhur, juga dalam pendidikan. Lebih dari itu, ayahnya pernah dituduh PKI, dan harus berganti nama berkali-kali agar keluarganya tak terkena efek tuduhan tersebut.

“Saya sampai membenci papa karena dia PKI,” jelas perempuan yang sempat didera kanker, sehingga desertasinya molor sampai empat tahun. Secara langsung, dia mengalami ‘cuci otak’ akibat ideologi yang ditanamkan orba. Cap PKI di masa itu ibarat handycap yang mematikan jalan hidup seseorang.

Semula saya heran kenapa ketujuh otobiografi itu ‘mirip’, seragam. Sementara diarinya beragam. Otobiografi yang diambilnya menggambarkan tokoh perempuan Jawa dengan mayoritas mengalami didikan ala patriarkhart yang kuat, dengan jujugan ‘perempuan itu mesti mengabdi kepada suami’, dll dll. Kenapa dia tak mengambil otobiografi tokoh yang lain agar lebih beragam?

Saya juga sempat terperangah kenapa di setiap pembahasan dan analisanya, Soe Tjen begitu anti Soeharto. (Saya pun korban orba, ketika ayah saya mati ditembak dan kasusnya ditutup begitu saja).

Namun dengan memahami Soe Tjen, latar belakang hidupnya, membuat saya memahami buku ‘Kisah di Balik Pintu’ lebih baik. Misalnya saya jadi mengerti bahwan ketujuh otobiografi yang dipilihnya hidup di masa Soekarno dan mengalami represi langsung oleh rezim Soeharto. Sungguh otobiografi yang ‘typical’.

Pengalaman hidup pahit di bawah rezim Suharto membuat setiap analisanya tentang diari dan otobiografi begitu anti Soeharto. Apapun kebijakan Soeharto, di matanya, diambil semata demi menegakkan kekuasaan. Sementara Soekarno yang juga punya ‘dosa  politik’ tak terlalu disinggungnya. (Saya pikir setiap penguasa akan melakukan apapun untuk menegakkan kekuasaanya, karena dengan demikian dia bisa menjalankan sebuah negara. Apapun yang dilakukannya dianggap sah, sepanjang tidak melanggar HAM.)

Apakah buku Soe Tjen bisa menjawab ‘identitas perempuan Indonesia di ruang publik dan privat’? Apakah semua otobografi yang dia paparkan mampu mewakili perempuan Indonesia secara general dalam media tulis di masa represi orba?

“Tidak, ini studi kasus,” katanya. Sebuah studi kasus, kajian, yang mengajak pembacanya berpikir kritis. Sudah saatnya kita cermati apakah otobiografi yang beredar sekarang memang begitu adanya? Atau hanya pembenaran dari penguasa dan memanipulasi sejarah?  Atau semata pencitraan diri dari para idol ? Anda yang bisa menjawab!

*saya sendiri sudah mendapat jawab atas pertanyaan saya. Roland Barthes tidak selalu benar. Pengarang belum mati. 

Email | Website | More by »

Pernah bekerja sebagai jurnalis di sebuah harian Surabaya, lalu majalah wanita di Jakarta, dan menjadi penulis lepas di beberapa media seperti Familia (Kanisius Group), Intisari, The Jakarta Post. Telah menerbitkan buku "TKI di Malaysia: Indonesia yang Bukan Indonesia", "Antologi Bicaralah Perempuan", dan "Journal of 30 Days Around Sumatra".

Leave a Reply