Ayah Anak Beda Warna

Pertama kali saya mengetahui buku ini dari cerita “The” Pak Hadi Purnomo yang menjadi sesepuh dari perpustakaan C2O ketika ada mahasiswa UK Petra yang bertanya tentang buku budaya Toraja. Beliau bercerita tentang buku yang isinya menceritakan pergulatan dan gugatan seorang Toraja yang dibesarkan di Jakarta terhadap adat tradisi Toraja. Topik tentang seorang Toraja yang menggugat tradisinya sudah merupakan topik yang menarik. Menarik karena saya penasaran apakah buku ini hanya sekedar buku yang bersifat sentimental belaka atau ada yang lebih dari ceita yang dipaparkan dalam buku ini. Tetapi rekomendasi dari “The” Pak Hadi sudah cukup saya yakin bahwa ini adalah buku yang bagus. Sayangnya beliau tidak menyebutkan judulnya hanya menyebut penulisnya yaitu Tino Saroengallo. Nama Tino Saroengallo saya kenal sebagai documentary film maker dan juga pemain film. Salah satu film yang beliau bintangi adalah sebagai Sang Germo di Film Quicky Express. Karena infonya ya segitu saja maka info tersebut hanya saya simpan baik-baik dalam relung ingatan saya.
Pada suatu waktu saya melihat sebuah buku di jajaran buku baru di C2O. Judulnya “Ayah Anak Beda Warna” dengan gambar sampul beberapa orang berdiri di antara Tongkonan (Rumah Adat Toraja). Saya hanya melihat sepintas sambil dalam hati berkata,” Okay… Another boring anthropology book… Yeah….” Tapi tiba-tiba ujung mata saya menangkap tulisan nama sang penulis, Tino Saroengallo… langsung memori saya bekerja. Apalagi di bagian bawah terdapat lagi tulisan “Anak Toraja Kota Menggugat”. Yippie….!!! Akhir ketemu juga buku yang sebelumnya hanya jadi angan-angan belaka.

Buku ini bercerita tentang bagaimana sang penulis menyiapkan proses upacara kematian ayahnya yang merupakan seorang penuluan atau kiblat adat bagi seluruh Tana Toraja. Kedudukan tersebut tentunya menempatkan keluarga dalam kedudukan bangsawan tinggi. Maka dalam kedudukan tersebut upacara kematian (rambu solo’) yang harus dilakukan adalah upacara yang sesuai dengan kedudukannya. Jika selama ini kita melihat upacara Rambu Solo’ dengan sudut pandang yang romantik maka dalam buku ini musnahlah segala romantisme tersebut karena kita diajak untuk melihat kenyataan bahwa dibalik upacara yang megah dan luar biasa tersebut terdapat kenyataan beban biaya yang luar biasa besarnya, dan juga tekanan adat yang bisa tanpa ampun.

Bagi saya yang sedikit banyak dibesarkan dalam kehidupan kota besar modern dan juga kehidupan dalam lingkup adat walaupun tidak semengikat adat yang dialami oleh sang penulis, bisa merasakan bahwa upacara adat itu sangat-sangatlah besar biayanya. Dan romantisme adat memang harus berhadapan dengan kenyataan real terutama kenyataan seberapa kuat sumber dana yang kami miliki untuk membuat sebuah upacara adat yang lengkap. Sehingga celetukan di dalam keluarga inti baik oleh penulis yang saya baca dalam buku ini dan yang saya alami juga tidak jauh berbeda, intinya kami kadang-kadang mempertanyakan kembali “adat” bahkan dengan rada ekstrim kelakar “makan deh tuh adat” sering juga terlontar.

Yang juga membuat saya jatuh cinta dengan buku ini adalah keterusterangan bahkan tampak sangat telanjang bagaimana kenyataan masyarakat gotong royong yang kita kenal selama ini tidak semanis seperti di buku-buku pelajaran PMP jaman dahulu. There’s nothing free in this world merupakan sebuah hal yang jamak sifatnya. Mereka yang membantu gotong-royong dalam upacara adat seringkali harus dibalas dengan berbagai rupa. Tidak harus dalam upah kontan. Seperti dalam upacara Rambu Solo’, upah bisa didapat salah satunya dari pembagian daging Kerbau yang dikurbankan dalam acara mantunu tedong. Kerbau atau Babi bahkan gula, beras dan kopi juga tidak diberikan take as a granted tetapi ada kewajiban adat untuk ganti memberi. Tidak ada yang salah dengan hal tersebut. Tetapi seringkali mengakibatkan semacam gegar budaya yang harus dialami oleh penulis atau mereka yang sudah terlalu biasa dengan kehidupan cara barat.

Cara pandang beda generasi juga dipaparkan dalam buku ini dengan apa adanya. Bagaimana sang Ayah memandang kewajiban adat yang berat sebagai salib keluarga yang harus dipikul sementara generasi yang lebih muda memandang dengan lebih pragmatis kenapa tidak ada pembaharuan adat sehingga adat tidak lagi menjadi beban yang mencekam. Hal ini masih bisa menjadi issue yang masih hangat untuk diperdebatkan hingga saat kini. Salah satu kesimpulan yang menarik yang saya baca adalah tali persaudaran di dalam masyarakat adat Toraja sepenuhnya ditentukan oleh tidaknya hubungan darah yang mengalir terutama pada upacara kematian atau rambu solo’. Eksistensi ikatan seperti suami-istri dan mertua-menantu hanya berlaku ketika seseorang masih hidup. Bila tiba saatnya meninggal dunia dan diantar dengan upacara rambu solo’ maka pasangan yang bersangkutan harus rela sekali lagi harus rela diambil kembali oleh keluarga besar secara adat. Adalah dewan adat yang berhak menentukan (baca:memaksakan) tatanan upacara yang layak bagi anggota adat tersebut.

Walaupun benang merah buku ini memang tentang pengalaman menguburkan sang ayah dalam upacara adat tetapi latar belakang penulis sebagai seorang pembuat film dokumenter membuat kajian budaya atas gugatannya terhadap upacara rambu solo’ menjadi lengkap karena tentunya gugatan tersebut didasari atas pendalaman kembali adat istiadat Tana Toraja. Sehingga selain sebagai buku cerita, buku ini juga bisa menjadi salah satu buku referensi tentang budaya Tana Toraja yang segar. So… Selamat membaca buku “Ayah Anak Beda Warna” para anggota C2O.

Kitchen Confidential

I thought it was a spark of missing a location called restaurant, last place where I worked for, but my chemistry with this book definitely beyond “missing”.

C2o library classified “Kitchen Confidential, Adventures in the Culinary Underbelly” by Anthony Bourdain into business/management section, but I personally disagree. It’s a memoir. I didn’t said that the book doesn’t told us how to manage a restaurant, yes it is, but the real sensation is how Bourdain made the reader as his fellow traveler to traverse an up-down yet magnetizing adventure at his chefdom life.

In a narrative way, Bourdain start to steal attention in his Appetizer part. He promised nothing of this book, which become more appealing because of my triggered mind with “the nothingness”. Then flowing nonstop as a sushi bar, the journey begins and every part of food and restaurant revealed. Bourdain used, and repetitively overused, tons of adjective word to describe as vivid image as he could for every part of the book. You will unconsciously salivating for reading menu description and having goosebumps for a story of savage owner.

Don’t be surprised for the amount of cursing along Kitchen Confidential. It is harsh, maybe, for some readers but it also shows the honest side on how the stories being delivered. You will meet the hard part of being a chef: your uncontrollable cooks, fussy but mega-billionaire owner, customer complaints, sassy purveyor, and of course drugs and sex. It is amazing how he brought all of these smoothly and enjoyable to read.

My favorite part is Second Course where Bourdain even give you step-by-step on How to Cook like A Pro! Through the book, Bourdain give whole clue involving food, not only for restaurateur, chef, or any people who involved in restaurant business, but also for a real stranger who never heard what demi-glace is. He could show many aspects that we could learn from food: politic, strategy, joke, romance, game, ambition, etc.

When I read Kitchen Confidential, I burst in laughter, my heart skipped a beat, and I do evaluating myself again and again. I have a lot of fun reading this book, I hope it’ll be yours also!

Reportase: Makassar Nol Kilometer

Buku yang menjadi salah satu rujukan utama bagi siapapun yang ingin mengetahui mengenai budaya populer Makassar dan sekitarnya. Di dalamnya, kita menjumpai 49 artikel (meski versi revisi hanya memuat 48), yang dibagi menjadi 4 tema: komunitas, kuliner, fenomena, dan ruang. Dari buku ini, kita bisa membaca mengenai suporter sepak bola PSM, waria Karebosi, casciscus English meeting di Fort Rotterdam, makanan-makanan dari Coto hingga Jalangkote (yang ternyata adalah pastel!), pete-pete (angkutan kota berwarna biru), dan berbagai potret-potret Makassar di tahun 2005.

Voice of the Past: Oral History

Ditulis dengan bahasa yang mudah dimengerti, buku ini tidak hanya memberi kita panduan untuk memulai projek sejarah lisan, tapi juga membahas, dan mempertanyakan, metode dan makna sejarah dalam kehidupan kita, serta pentingnya peran sumber-sumber lisan yang sering kali kurang diperhatikan. Buku yang mendorong kita tidak hanya untuk mempelajari sejarah, tapi juga dengan aktif mengujarkan, menuliskan, membentuknya. “Oral history gives history back to the people in their own words. And in giving a past, it also helps them towards a future of their own making.”

Have a Little Faith

“Keyakinan itu tentang melakukan sesuatu. Kau adalah bagaimana kau beraksi, bukan sekedar bagaimana kau percaya. Itu membuat ritual dalam beragama menjadi penting.”

Ungkapan ini paling saya suka dari quote Albert Lewis si rabi dalam buku ini, karena bisa menampik komentar usil orang ketika saya berangkat beribadah, “Buat apa shalat, kalau cuma ritual?” hahaha !

Have a Little Faith dibuka dengan permintaan Albert Lewis, rabi berumur 82 tahun kepada si penulis, Mitch Albom, untuk membacakan eulogy-nya di saat kematiannya nanti. Permintaan yang aneh, menakutkan, karena Mitch bukan umat yang patuh. Malah dia tergolong skeptis memandang agama yang dianggapnya menimbulkan perpecahan dan kekacauan di bumi. Padahal dulu, di masa kecilnya, Mitch sangat akrab dengan kehidupan religi sebagai ‘putra altar’ ala Yahudi.

Mitch akhirnya menyetujui permintaan sang rabi, dengan syarat dia diperbolehkan mengunjungi rabi secara berkala untuk mengenal siapa rabi sebenarnya. Maka kisah pun dibangun dari sini. Si rabi dan kehidupan sehari-harinya dalam pandangan dan kenangan Mitch, ikatan Mitch dengan kehidupan religiusnya di masa lalu, dan tentang Henry Convington.

Henry adalah seorang pastor di sebuah gereja tua yang nyaris runtuh di Detroit, kota tempat tinggal Mitch. Henry mulanya seorang pecandu, pengedar narkoba, dan juga kriminal. Dia pernah dipenjara selama tujuh tahun karena kejahatannya. Dalam sebuah kejadian yang membahayakan jiwanya, Henry berdoa, jika dia selamat, dia akan memberikan hidupnya kepada Tuhan. Dan Jesus, mengabulkan doanya.

Di gereja bobroknya Henry melayani jemaatnya yang terdiri dari para tuna susila, pecandu, dan mereka yang tersisih. Keihlasan Henry, penyerahan dirinya yang total walau dalam keterbatasan menarik perhatian Mitch.

Menurut saya, ada beberapa hal yang membuat buku ini menarik. Pertama, bahasanya yang sederhana dan mudah dimengeti, ditunjang cara bercerita Mitch dalam tiga plot yang singkat dan tak bertele-tele. Mulanya dia berkisah tentang si rabi, lalu ganti dirinya, kemudian si pastor. Berulang begitu. Kisah yang berkaitan dengan kekinian, masa lalu, atau kejadian yang berkesan. Kisah yang dirangkainya secara singkat, mengena, dan tak membosankan.

Kedua, buku ini merupakan kisah nyata, dan ditulis Mitch berdasarkan lebih tujuh tahun pengalamannya bersahabat dengan rabi. Albert meninggal pada umur 90 tahun, Seperti buku-bukunya yang lain (Tuesday wit Morrie, For One More Day), Mitch selalu mendasarkan buku-buku yang ditulisnya berdasarkan kisah nyata. Semi biografi, karena merupakan pengalaman pribadinya dan tokoh-tokohnya. Dengan begitu pembaca merasa ini hal ini bisa juga terjadi pada mereka. Bukan utopia.

Tokoh yang diangkat Mitch pun selalu orang biasa. Orang biasa dengan pengalaman hidup yang tak biasa. Kata kawan, mirip chiken soup-lah tapi jelas bukan genre chiken soup hehe..

Ketiga, percakapan dan quote dalam buku ini begitu hidup dan mengena. Misalnya, ketika Mitch bertanya kepada Albert Lewis kenapa dia menjadi rabi, jawabannya sungguh unik:

I always like a people
I love gentleness
I have patience
I love teaching
I am determined in my faith
it connects me to my past
it allows me to fulfill the message of our tradition: to live good, to do good, n to be blessed.
Lalu mengapa bukan Tuhan yang menjadi alasan? Tanya Mitch. Jawabnya, ‘God was there before number one.’

Atau ketika seorang gadis kecil yang terpaksa mengungsi karena perang di negerinya, dikasihani orang karena tak punya rumah, dia membantah tegas. ‘I have a home, but I don’t have a house to put it in’.

Keempat, buku ini tak menggurui secara langsung akan keyakinan pada agama tertentu, apalagi menanamkan doktrin. Sebagaimana disadari penulisnya di akhir buku, bahwa ‘faith is not the conclusion, but the search, the study, the journey to belief. You can’t fit the lord in a box. But you can gather stories, tradition, wisdom, and in time, you needn’t lower the shelf; god is already nearer to thee.’

Berbagai pertanyaan seperti apa itu keyakinan, apa pentingnya keyakinan dalam hidup kita, lalu bagaimana keyakinan menghadapi berbagai masalah di dunia, mulai perang agama, toleransi, cinta kasih, dan sebagainya, dijawab dalam buku ini, walau secara umum.

Beberapa quote menarik seperti ‘enemy schememy’ yang dilukiskan antara arab-yahudi, atau ‘may your God and my God bless you always’ untuk menerjemahkan toleransi, membuat saya terbahak membacanya. Masih banyak lagi quote yang menarik dan bermakna.

Bagi saya, Have a Little Faith bukan buku biasa. Dia buku luar biasa, membuat saya bergairah membaca sejak halaman pertama hingga terakhir. Tidak cepat-cepat, namun lamat-lamat menikmati setiap kisah, plot, percakapan, dan quote yang dibangun sang penulis dengan indahnya. Ini buku indah, menginspirasi, dan membuka kotak logika saya yang sempit. Buku yang membuat saya tersenyum, tergelak, atau geleng-geleng kepala tatkala menikmatinya.

Mungkin karena saya bukan agnostik (walau dulu mengira begitu). Namun bagi kaum agnostik dan skeptis terhadap agama pun, buku ini bisa membuka cakrawala. Apalagi di saat seperti sekarang ini, dimana konflik agama masih kerap terjadi dan selalu mendidihkan emosi, membaca buku ini sungguh meneduhkan sekaligus menghibur.

Jadi kenapa perlu ‘have a little faith‘? Setidaknya kalau ada keluarga saya yang mati, saya bisa bilang Tuhan memanggilnya, jadi bukan karena salah saya (jawaban ala ‘Albert Lewis’)

Akhir kata, selamat membaca! Dijamin tidak menyesal! Semoga!

Ritus Modernisasi

Salah satu rujukan utama mengenai seni pertunjukan Jawa Timur ini mengandaikan pertunjukan ludruk sebagai suatu “ritus modernisasi”, di mana ludruk membantu orang-orang menetapkan gerak peralihan mereka dari satu macam situasi ke situasi yang lain, dalam hal ini dari tradisional (seperti desa) ke modern (kota, pabrik).

Reportase: Kisah di Balik Pintu

Dalam ‘Kisah di Balik Pintu’, penulis meneropong identitas perempuan Indonesia ketika berada di ruang publik dan privat, pada media tulis. Representasi di ruang publik diwakili oleh otobiografi beberapa perempuan yang dekat dengan tokoh nasionalis, sedang di wilayah privat diambil dari diari beberapa perempuan biasa. Baik otobiografi maupun diari ini ditulis pada masa orde baru (1969-1998). Penulis lalu menganalisa otobiografi dan diari ini dikaitkan dengan represi rezim orde baru.

Reportase: Orang Rimba di Jambi

Siapa sih Orang Rimba, atau Orang Kubu itu?  Menurut data Adi, ada sekitar 6.650 orang Rimba, kebanyakan terpusat di Jambi.  Catatan-catatan mengenai orang Kubu dapat ditemukan dari catatan-catatan Belanda mengenai kesultanan Melayu di abad ke-17-18.  Menurut Barbara Watson Andaya, sejak abad 17 pun, ada dinamika kekuasaan antara Orang Hulu dan Hilir.  Orang-orang Hulu (Rimba) menjadi ujung tombak penyedia persediaan sumber daya alam seperti cula badak, gading gajah, kayu dsb. yang nantinya berputar di jalur perdagangan di selat Malaka.

Serah Jajah dan Perlawanan yang Tersisa

Sekitar dua tahun lalu seorang kawan memamerkan tulisannya. Sebuah thesis S-2. Kawan saya ini tidak pintar sangat, tapi tekun dan pandai memanfaatkan peluang. Saat bekerja di Warsi, tak disia-siakannya kesempatan untuk memahami kehidupan Orang Kubu. Obyek yang kemudian menjadi bahan masternya. Bahan yang kemudian menjadi inti buku ‘Serah Jajah’ ini. Buku yang melukiskan dominasi Orang Melayu terhadap Orang Kubu di Jambi dan bagaimana Orang Kubu melawan dominasi itu.

Ada beberapa hal yang menarik dari bukunya. Diantaranya penggunaan terminologi Orang Rimba atau Anak Dalam untuk mengganti Kubu demi kehalusan. Menurut penulis, kata kubu berkonotasi negatif, yang berarti bodoh, bengak, keras kepala, dan tak mau mengikuti aturan. Padahal, di masa lalu kata kubu merujuk kepada mereka yang tinggal di hutan. Mengubu berarti berdiam di hutan selama masa tertentu.

Mengutip Loeb, 1927, “..Kubu berarti orang-orang yang makan segalanya termasuk makanan yang tidak bersih, dimana mereka tidak hidup di dalam rumah, dan tubuh mereka tidak bersih sebagai akibat penolakan mereka terhadap air. Orang-orang yang mempunyai karakter yang rendah…”

Siapa Orang Rimba itu? Dalam salah satu teorinya, penulis menyebutkan mereka sebagai keturunan Melayu juga, yang karena suatu hal (melawan Belanda) lalu melarikan diri dan tinggal di hutan. Ini menarik, dan sesuai dengan teori antropologi sebelumnya bahwa Orang Rimba berasal dari Ras Proto-Melayu, bukan Veddoid.

Inti buku ini membahas bagaimana Orang Rimba melakukan perlawanan terhadap dominasi dan diskrimanasi dari suku mayoritas Orang Melayu Jambi. Perlawanan ini antara lain dengan memilih hidup mirip Orang Melayu. Mereka menetap di sebuah kampung, memeluk agama Islam, bahkan mengganti nama mereka sesuai nama Melayu. Mereka pun lebih suka disebut sebagai Suku Anak Dalam atau dikenal juga sebagai kubu jinak. Namun ada juga yang memilih mempertahankan identitas aslinya sebagai Orang Rimba yang hidup di hutan dan mempertahankan nilai-nilai yang dianut nenek moyangnya.

Tato

Dibagi menjadi enam bab, buku ini dengan kritis membahas tato mulai dari tato sebagai fenomena budaya tanding dan budaya pop, sejarah perkembangannya di berbagai pelosok dunia, tato dalam masyarakat Indonesia, makna dan konteks sosial budaya, dan studi kasus di Yogyakarta. Dijelaskan pula proses teknis penatoan, baik di studio maupun dalam masyarkat tradisional. Buku ini pertama kali diterbitkan di tahun 2006, terutama karena penulis melihat minimnya kajian dan referensi mengenai tato di Indonesia.