Dari Ave Maria ke Jalan Lain ke Roma

Memuat kisah-kisah zaman Revolusi, Dari Ave Maria ke Jalan Lain ke Roma dibagi secara kronologis menjadi tiga bagian: Jaman Jepang, Corat-Coret di Bawah Tanah, dan Sesudah 17 Agustus 1945. Dari buku yang tipis ini, kita dapat melihat semacam evolusi Idrus dari gaya romantik ke gaya khas satir tragikomiknya yang belum banyak dianut saat itu. Ringkas, lincah, dan lugas, Idrus mengolok-olok Jepang, dan menjungkirbalikkan “kesakralan” heroisme revolusi.

“Di kala mana sedang revolusi berkobar dengan hebatnya dengan semboyan-semboyan yang berapi-api, pengarang telah melihat dan mengeritik berbagai kekurangan yang dilihatnya,” tulis Jassin dalam pendahuluan buku ini. Tak jarang ia didamprat karena tulisan-tulisannya dianggap menghina revolusi. Idrus, dengan gaya prosanya yang tajam dan lugas, memberi kita banyak kritik dan laporan sejarah, untuk tidak tenggelam dalam sekedar simbol dan semboyan mendayu-dayu. Wajib dibaca.

Saksi Mata

Suparto Brata adalah salah satu penulis yang mengangkat berbagai kenangan masa lampau menjadi bagian dari karya-karyanya. Hal ini tercermin dari novel Saksi Mata yang berlatar belakang masa penjajahan Jepang di kota Surabaya. Terus terang tidak banyak karya sastra dengan latar belakang masa penjajahan Jepang dibandingkan dengan novel dengan latar belakang masa penjajahan Belanda. Yang sering adalah masa penjajahan Jepang hanya muncul sekilas diantara masa panjajahan Belanda dan masa kemerdekaan. Selain itu karya sastra yang berlatar belakang masa penjajahan Jepang sering tampil dengan wajah yang muram, menggambarkan kesulitan yang amat terasa. Dalam novel Saksi Mata kita tidak akan merasakan hal tersebut. Tentu ada bagian-bagian dalam novel tersebut yang menceritakan tentang beberapa kesulitan dalam penghidupan sehari-hari karena toch masa yang menjadi latar belakang novel Saksi Mata memang masa yang sulit tetapi dengan mudah kita bisa merasa bahwa kesulitan penghidupan yang terjadi di dalam novel ini dapat terjadi kapan saja… (bandingkan dengan kumpulan cerpen karya Idrus yang juga memakai masa penjajahan Jepang sebagai latar belakang).

Saksi Mata menceritakan seorang pemuda pelajar sekolah menengah yang tanpa sengaja menjadi saksi mata ketika buliknya sedang bercinta dengan lelaki yang tidak dikenal. Berawal dari peristiwa inilah Kuntara (sang pemuda pelajar) terseret dalam rentetan peristiwa yang cukup menegangkan dan tentunya membingungkan bagi pemuda tanggung seusianya. Walaupun banyak yang mengatakan bahwa gaya penulisan novel ini sederhana tetapi sesungguhnya konflik-konflik yang terjadi dalamnya sangat tidak sederhana. Sebagai contoh, konflik cinta yang rumit antara Kuntara sang keponakan dan bibinya yang tampak platonik pada awalnya. Dan konflik kepentingan antara Tuan Ichiro dengan Mas Wiradad yang memperebutkan Bulik Rum. Terseretnya keluarga Suryohartanan ke dalam konflik kepentingan perwira Jepang yang berkuasa serta konflik pribadi diantara para tokoh-tokoh dalam cerita ini sungguh asyik untuk dibaca. Menarik juga bahwa berbagai konflik yang terjadi akhirnya ditutup oleh sebuah peristiwa yang dramatis, action serta heroik

Dalam novel ini kita juga bisa melihat bahwa ternyata tindakan yang tampaknya heroik bagi orang lain atau banyak orang ternyata juga berawal dari kepentingan dan perhitungan yang sifatnya pribadi semata. Sebuah tindakan yang luar biasa ternyata bisa hanya dilandasi oleh rasa ingin membela harga diri atau kepentingan keluarga saja. Tetapi justru karena hal inilah maka tindakan kepahlawanan yang ditampilkan dalam novel Saksi Mata menjadi tampak manusiawi dan tampil apa adanya.

The Last Bissu

Bissu adalah pendeta Bugis di Sulawesi Selatan, yang dahulu terutama berperan sebagai penjaga para raja dan kerajaan di Sulawesi Selatan. Mereka menyelenggarakan ritual-ritual bagi para bangsawan dan mengurusi pusaka suci kerajaan, arajang. Dalam menjalankan kegiatan tersebut, mereka mengenakan pakaian androgin yang menonjolkan kombinasi atribut laki-laki dan perempuan. Bissu dihubungkan dengan tradisi pra-Islam, dan pertama kali masuk dalam catatan tertulis orang Barat dengan kunjungan Antonio de Paiva ke Sulawesi di tahun 1545.

Hanya bissu yang dipercaya dapat kerasukan arwah dewata untuk kemudian memberi berkat, karena dianggap merepresentasikan baik laki-laki/perempuan, mortal/dewata. Untuk membangkitkan arwah, mereka harus menyelenggarakan ritual yang cukup rumit dengan musik, sesajen, dan tarian. Jika arwah sudah terbangun dan memasuki raga mereka, mereka kemudian menusukkan keris-keris pusaka leher, atau telapak tangan dan dahi. Keberadaan arwah dalam raga membuat mereka kebal. Hanya bissu yang kebal dengan hir berhak untuk memberikan berkat, mulai dari upacara kelahiran, kematian, kesuburan desa, hingga berkat untuk pergi naik haji ke Mekkah.

Film dokumenter The Last Bissu yang disutradarai oleh Rhoda Grauer ini, memberi kita gambaran singkat mengenai bissu dan kaitannya dengan masyarakat Bugis. Diputar di C2O Sabtu lalu, 30 Oktober 2010, pemutaran dihadiri sekitar 20 penonton, bersama Soe Tjen Marching dan Pak Dédé Oetomo hadir sebagai pembicara.

Fenomena transvesti yang berhubungan dengan seni pertunjukan atau ritual telah sejak lama mengakar di berbagai kelompok etnis di Indonesia. Soe Tjen menyampaikan bahwa di Bugis, ada lima gender, sebagaimana ditulis oleh Sharyn Graham Davies dalam buku Gender Diversity in Indonesia: Sexuality, Islam and queer selves, yaitu: oroane (maskulin), makkunrai (feminin), calalai (perempuan maskulin), calabai’ (laki-laki feminin), dan bissu yang dianggap mewakili semuanya. Pertanyaannya adalah, akankah pengkategorian yang lebih banyak ini justru menimbulkan peraturan-peraturan yang lebih ketat?

Revolt in Paradise

Revolt in Paradise adalah buku autobiografi roman K’tut Tantri yang bernama (asli?) Muriel Pearson, perempuan Amerika keturunan Skotlandia, yang menceritakan pengalaman romantis-heroiknya di Indonesia selama tahun 1932 sampai dengan 1947. Pertama kali diterbitkan di tahun 1960 dalam bahasa Inggris, buku ini telah diterjermahkan dalam bahasa Jerman, Prancis, Norwegia, Swedia, Polandia, Finlandia, Denmark, Jepang, Kanton, dan tentunya, Indonesia, sebagai Revolusi di Nusa Damai.

Dibagi menjadi tiga bagian, di bagian pertama kita membaca bagaimana dia tiba di Bali, berkenalan dengan keluarga kerajaan, dan mengelola satu hotel di bagian selatan Bali (yang kerap dikunjungi berbagai tokoh, Walter Spies salah satunya). Bagian kedua menceritakan bagaimana dia ditawan Jepang di Surabaya. Sementara bagian ketiga, menceritakan pengalamannya setelah kemerdekaan bersama pejuang-pejuang Indonesia. Bahkan, dikatakan bahwa dia membantu Bung Tomo menyiarkan propaganda Indonesia dalam bahasa Inggris melalui Radio Pemberontakan, yang memberi dia sebutan ‘Surabaya Sue’ (meskipun dia punya sederetan nama sebutan lainnya!).

Tantri menggambarkan pengalamannya dengan sangat heroik: bagaimana dia meninggalkan Amerika setelah terpaku melihat film Bali, the Last Paradise di Hollywood Boulevard (!!), untuk seorang diri menuju Bali demi mencari petualangan, dan bagaimana di tengah-tengah penderitaannya, dia selalu membela dan memperjuangkan hak-hak Indonesia, entah sebagai mata-mata, tahanan perang, korban siksaan, propagandis dan pejuang revolusi. Kita juga bisa membaca pertemuan-pertemuannya dengan tokoh-tokoh penting seperti Bung Tomo, Bung Karno—yang ditulis mengatakan K’tut “telah berjuang sekuat tenaga untuk membantu kita berjuang demi kemerdekaan”, Ali Sastromijoyo, Amir Syarifuddin, dan Syahrir.

Heboh dan melodramatik, kebenaran isi otobiografi roman ini memang banyak diperdebatkan dan sering dianggap tak lebih dari sekedar fantasi roman. Meskipun buku ini menikmati penjualan laris dan distribusi yang luas di berbagai negara, dan boleh dibilang salah satu buku populer paling terkenal mengenai Indonesia di tahun 1960an, figur K’tut Tantri–yang katanya lebih dikenal dengan sebutan Manx saat dia di Bali–kerap tidak dianggap dalam sejarah resmi revolusi Indonesia, baik versi Indonesia maupun luar. Pada kenyataannya, memang banyak kontradiksi-kontradiksi yang ditemukan dalam buku ini jika dicocokkan dengan berbagai sumber sejarah, termasuk dari narasumber-narasumber Angkatan ’45. Selain itu, figurnya yang digambarkan begitu idealis dan heroik dalam buku sering dibantah sebagai perempuan eksentrik pretensius, egois, bohemian, atau bahkan pengkhianat dan pembohong. Tapi tidak dapat dibantah bahwa dia banyak terlibat dalam perjuangan gerilya Indonesia, terutama sebagai penyiar propaganda dalam bahasa Inggris, sebagaimana tertulis dalam pengantar edisi pertama bahasa Indonesia yang ditulis oleh Bung Karno sendiri.

Dua Kota Tiga Zaman

Dibagi menjadi dua bagian Surabaya dan Malang, buku ini berisi kumpulan tulisan sejarah lepas yang tidak disusun dengan kronologis. Menggunakan pendekatan interdisplin, Purnawan Basundoro mencatat pelbagai sisi dan dimensi kota Surabaya dan Malang dari masa ke masa. Buku ini menawarkan berbagai cara pandang menarik tentang bagaimana kota dan ruang publik turut membentuk sekaligus dibentuk: bukan oleh tokoh atau sekelompok orang, tapi oleh proses-proses ekonomi, sosial, politik dan budaya sekaligus. Kota menjadi “arena konflik” di mana semua orang (baik penguasa maupun masyarakat) menggunakan berbagai strategi dan taktik untuk saling menunjukkan diri melalui hak atas kota.

Secara geografis, Surabaya dikategorikan sebagai kota pesisir (coastal city), dengan karakteristik derajat pertumbuhan yang lebih cepat karena sifatnya yang lebih terlibat dalam jaringan ekonomi dan transportasi yang lebih luas. Selain jaringan laut, Jalan Raya Pos yang dibangun oleh Gubernur Jenderal Daendels di tahun 1808-1811 juga menempatkan Surabaya sebagai salah satu simpul dalam jaringan jalan utama yang menghubungkan Anyer hingga Panarukan. Surabaya berkembang menjadi pusat jasa, pusat perdagangan, atau dengan kata lain, pusat ekonomi dan bisnis.

Sebaliknya, Malang sebagai kota pedalaman (inland city) yang dikembangkan menjadi kota hunian dan peristirahatan, mempunyai derajat pertumbuhan yang lebih lambat namun terencana dan karena lokasi geografisnya yang nyaman dan teduh. Apalagi, sejak Undang-Undang Gula di tahun 1870 yang mendorong pengembangan masuknya modal swastas asing ke Hindia, menjadikan Malang kota pusat perkebunan, yang cocok untuk kopi, kakao (dan teh?). Dengan Rencana Pembangunan Kota (Bouwplan) I-VIII secara bertahap, Malang dikembangkan sebagai kota hunian yang lebih nyaman, tertata dengan perhitungan teknik yang memadai. Campur tangan Ir. Thomas Karsten, arsitek kenamaan yang banyak membantu mendesain kota-kota di Indonesia sebelum masa pendudukan Jepang, juga menjadikan kota Malang terasa lebih teratur dan serasi.

Sebagai penutup, Purnawan menguraikan bagaimana Surabaya sebagai kota industri terbesar di Indonesia pada awal abad ke-20, kemudian mengalami arus urbanisasi yang sangat besar dengan peningkatan jumlah penduduk yang amat tinggi. Salah satu dampaknya, tentunya, adalah perebutan ruang yang amat intensif. Sementara kota Malang, yang pernah menjadi pusat Kerajaan Singasari, diposisikan sebagai kota pedalaman dengan segala fungsi tradisionalnya. Letak geografisnya yang nyaman dan dikelilingi pegunungan membuatnya cocok sebagai kota hunian dan peristirahatan yang mengedepankan kenyamanan. Jaringan jalan dibuat terpadu dan terintegrasi dengan rencana pengembangan kota. Ruang terbuka yang luas memperkuat citranya sebagai kota taman. Jika Surabaya dapat disamakan dengan Bombay dan—menurut Bung Karno—New York, orang-orang Eropa menjuluki Malang sebagai Switzerland van Java.

Tidak hanya menghadirkan riwayat kota, buku ini memperkenalkan kita kepada berbagai pemahaman sejarah mengenai kota Surabaya dan Malang secara lebih luas sekaligus kritis. Satu buku yang menarik dari Seri Kota, Kata dan Kuasa yang diedit oleh Manneke Budiman dan diterbitkan oleh Penerbit Ombak. Semoga dapat berlanjut dalam menyajikan keragaman ekspresi dan dimensi studi kota, sekaligus menjembatani teori dan praktik pembangunan kota.

Surabaya, City of Work

“Surabaya pernah menjadi kota terbesar dan terpenting di Hindia Belanda, bahkan dibandingkan Batavia yang sepi, Surabaya merupakan pelabuhan penting di Asia modern sejajar dengan Kalkuta, Rangoon, Singapore, Bangkok, Hongkong dan Shanghai. Siapapun yang bergelut dalam dunia pelayaran tujuh-puluh tahun yang lalu akan mengenali Surabaya sebagai pelabuhan gula terbesar ketiga di dunia”( p. xvii -xviii). Buku ini membangunkan penduduknya dari amnesia sejarah dan merangkai argumen tentang faktor-faktor penyebab stagnasi hingga tergesernya Surabaya di posisi kedua (atau keenam?) di Indonesia setelah Jakarta.

Beruntung kita, bahwa bahwa H.W. Dick telah memberikan kita satu buku penelitian sejarah Surabaya yang tampil ringan dan memikat, tapi juga mengandung penelitian ilmiah yang serius. Lebih dari sekedar sejarah kota Surabaya, buku ini membuka sebuah bidang baru dalam penelitian sejarah perekonomian sebuah kota yang sama sekali belum pernah ditulis di Indonesia sebelumnya.

Report: Only a Girl

Sabtu, 23 Oktober 2010, pk. 17.30 WIB, kursi-kursi mulai dipenuhi oleh pengunjung. Kru GPU Surabaya, telah lama bersiap di depan. Buku-buku nominasi Khatulistiwa Literary Award, dijual di meja sirkulasi depan dengan diskon 10% hanya untuk hari itu. Cuaca Surabaya yang panas seperti biasa, tidak meredekan antusiasme untuk acara peluncuran buku “Only a Girl: Menantang Phoenix” yang berlangsung sore itu di C2O.

Kami semua terkesan dengan Lian Gouw, penulis buku Only a Girl yang khusus datang ke Indonesia untuk peluncuran terjemahan bukunya, setelah 50 tahun lebih meninggalkan tanah airnya untuk menetap di Amerika. Di usia senja 76 tahunnya, beliau masih tampak bugar, terus bersemangat untuk menulis, giat belajar untuk meningkatkan kemampuan menulisnya, bahkan menjual sendiri karya-karyanya! Didampingi oleh Soe Tjen Marching, yang bulan depan akan meluncurkan novelnya, juga diterbitkan oleh Gramedia, acara diskusi berlangsung dengan interaktif, menghibur sekaligus informatif.

Walaupun sedikit terbata-bata, Lian Gouw bersikeras untuk melangsungkan acara dengan bahasa Indonesia. Beliau mengutarakan ketidak nyamanannya jika melihat istilah-istilah Inggris digunakan dengan clemang-clemong, dicampur aduk dalam bahasa Indonesia, demi sekedar “gengsi”. “Banggalah dengan bahasamu sendiri, karena tanpa bahasa, kamu tidak punya suara,” tegasnya.

Nusantara

Nusantara dibagi menjadi 16 bab yang ditata secara kronologis, dengan bab pertama menguraikan secara mendasar latar belakang geografis dan berbagai teori mengenai populasi Indonesia kuno. Vlekke kemudian dengan bertahap mengantarkan kita ke zaman kerajaan-kerajaan Jawa dan Sumatra, kedatangan Portugis, pedagang-pedagang asing, kedatangan Islam, keunggulan kekuatan maritim Indonesia, kedatangan Belanda hingga kebangkitan revolusi.

Toraja 1921

Di kalangan masyarakat Toraja masih dapat dilihat sebuah sistem tukar-menukar yang mencolok, terutama dalam upacara kematian mereka. Dalam sistem pertukaran ini, kerbau mengambil tempat sebagai pusat. Upacara kematian yang sangat megah, tentunya memberi beban besar kepada keluarga. Hukum adat mewajibkan saling menyumbang antar kerabat, yang berarti pula hutang piutang hak serta kewajiban, dan salah satu akibatnya adalah pengikat kekerabatan yang berkelanjutan.

Film pendek ini, yang dibuat di tahun 1921, merekam upacara kematian seorang puang, dengan lokasi Rante-Pao. Asia Tenggara pada umumnya dan Kepulauan Nusantara Barat pada khususnya, sesungguhnya merupakan laboratorium mekanisme keuangan yang luar biasa, di mana evolusi konsep nilai dapat kita pelajari. Sistem tukar-menukar di kalangan masyarakat Toraja ini adalah salah satu keanekaragaman system alat tukar yang sangat menonjol, menurut taraf perkembangan sosio-ekonomi yang dicapai.

Orang Bajo

Orang Bajo: Suku Pengembara Laut adalah hasil dari penelitian etnografis dan kisah pengalaman François-Robert Zacot, seorang etnolog Prancis yang menghabiskan bertahun-tahun mempelajari cara hidup suku Bajo—dulunya suku pengembara laut yang senang menyendiri, menghindar dan terkungkung, muncul dan menghilang di berbagai pesisir dengan cara mereka sendiri—dengan lokasi terpencil di Sulawesi Utara meskipun mereka tersebar di berbagai pelosok nusantara.