The Face of Another

judul : the face of another
penulis : kobo abe
penerbit : charles e. tuttle company, inc., 1998

saya mengenal kobo abe saat menonton film “woman in the dunes” karya hiroshi teshigahara di c2o library. film yang diadaptasi dari novel dengan judul yang sama karya kobo abe ini sangat bagus sekali visualnya, mencekam, penuh detail, dan indah, tentu saja cerita yang menawan, tentang seorang entomologis yang sedang melakukan ekspedisi mengumpulkan serangga di gurun pasir dan terpaksa tinggal di rumah seorang janda di lembah pasir!

the face of another menyajikan jurnal/surat (terdiri dari 3 notebook dengan warna yang berbeda) oleh seorang pria yang seluruh wajahnya terluka akibat ledakan oksigen cair saat melakukan eksperimen di laboratorium tempat ia bekerja, surat tersebut ditujukan kepada sang istri. tentu saja wajahnya hancur dan sangat menakutkan bagi orang lain, penuh dengan luka keloid, yang selamat hanya mata dan bibirnya, dia memakai kacamata saat bencana terjadi. istrinya sudah tidak mau berhubungan seks dengannya, dan dia teralienasi dari lingkungan sosial.

“how wonderful would it be, frankly, if everybody in the world would suddenly lose his sight or forget the existance of light. immediately, there would be agreement about form. everybody would accept the fact that a loaf of bread is a loaf of bread whether triangular or round. just because there was light, she heedlessly thought that a triangular loaf of bread was not bread but a triangle. this thing called light is itself transparent, but it apparently changes into something non-transparent.”

awalnya dia akan operasi plastik, tapi dia merasa jijik jika organ palsu menempel di wajahnya dan kesulitan utama dalam operasi plastik wajah adalah menciptakan ekspresi di wajah. tanpa kaki, tanpa tangan, tanpa mata, tanpa kuping itu masih bisa dihadapi, tapi tanpa wajah, tidak ada yang bisa hidup tanpa wajah, pilihan terbaik adalah bunuh diri. tapi pria itu memilih jalan lain, dia membuat topeng realis dan mengubah identitasnya, tujuannya adalah untuk menipu sang istri sehingga berselingkuh dengannya.

Zona Aman Gorazde

Katakan dengan gambar. Berdasar ingatan yang kuat, goresan tangan yang detil, serta pendengaran yang tajam, Joe Sacco mampu menampilkan peristiwa pembantaian muslim Bosnia oleh Serbia dengan apik di bukunya, Zona Aman Gorazde. Adegan mencekam, sindiran satir dan pahit, bahkan kemampuan menertawakan diri sendiri, diramunya dengan hidup dalam novel grafisnya ini.

Dimanakah Gorazde itu? Orang mungkin lebih kenal Sarajevo yang lebih sering masuk tivi kala meletus perang etnis paska pecahnya Yugoslavia bentukan Tito. Tapi Gorazde?

Gorazde adalah satu-satunya wilayah Bosnia di timur dan dikepung oleh wilayah Serbia. Karena terisolir, penduduk Gorazde sangat membutuhkan uluran tangan PBB untuk bertahan. Jalur konvoi PBB yang menghubungkan Sarajevo dan Gorazde ini kerap disebut jalur biru, berdasarkan warna helm yang dipakai tentara PBB mengawal bantuan makanan dan kesehatan ke sana. Jalur yang bersih dari muslim Bosnia, karena sudah dibersihkan oleh tentara Serbia sebelumnya.

Buku ini dibuka paska pembantaian lebih tujuh ribu muslim di Sebrenica, setelah daerah itu ditinggalkan pasukan PBB, dan NATO mengebom Serbia-Bosnia pada 30 Agustus 1995. Gencatan senjata kemudian dilakukan di seluruh Serbia. Konvoi PBB dan LSM kemanusiaan kembali diijinkan menerobos jalur Serbia guna memberikan bantuan ke Gorazde. Para jurnalis, termasuk Joe Sacco, mulai memasuki Gorazde lewat jalur biru ini.

Joe Sacco melukiskan euforia penduduk Gorazde yang urung dibantai Serbia. Kegembiraan berlebih tatkala mereka terhubung orang luar, yang berarti harapan terus melangsungkan hidup. Juga permintaan nyinyir mereka akan barang seperti celana jeans levis 501, parfum, dan peradaban. Mereka telah terputus dengan dunia luar sejak meletusnya perang, Mei 1992.

Spookhuis

Novel ini sangat menarik perhatian saya pada awalnya. Gambar covernya mengingatkan saya pada komik-komik Indonesia tahun 70an dan awal 80an. Setelah saya lihat lebih lanjut ternayta buku ini adalah sebuah roman misteri karya penulis asal Surabaya yang produktif yaitu Pak Suparto Brata. Selain itu yang membuat saya semakin tertarik adalah buku ini meruapakan roman dalam bahasa Jawa. Selama ini saya sudah menikmati karya-karya Pak Suparto Brata dalam bahasa Indonesia. Membaca karya beliau dalam bahasa Jawa akan memberikan pengalaman yang mungkin berbeda.

Little Birds

Saya bukan penyuka karya sastra selangkangan atau lebih dikenal sastra lendir. Buku-buku karangan Djenar Maesaayu atau Ayu Utami bukan favorit saya. Saya juga tak suka kisah cabul ala Amy Arrow atau Motinggo Busye. Membaca buku mereka menurut saya seperti melakukan onani saja. Maaf, saya tak bermaksud menghina. Hanya beda selera.

Seorang kawan menyarankan saya membaca karya-karya Anais Nin jika ingin mendalami sastra selangkangan yan tidak vulgar. Undangannya saya terima dengan mengobrak-abrik koleksi Anais Nin di C2O Library. Saya pilih yang paling tipis, agar cepat dibaca. Little Birds judulnya, diterbitkan Penguin Klasik tahun 1979.

Menarik menyimak kata-kata Nin dalam pengantar buku ini. Nin mengaku di jamannya, sekitar 1940-an, orang menulis kisah erotis karena didorong rasa lapar. Bayaran selembar kisah erotis bernilai satu dolar. Sungguh lumayan di saat itu.

Menurut Nin, rasa lapar menuntun kepada fantasi seksual, bukan kepada energi melakukan kuasa seksual. Sedang aktivitas seksual sendiri tak akan menuntun pada fantasi seksual yang luar biasa. Seperti diakuinya, menulis kisah-kisah erotis itu seperti memasuki kerajaan prostitusi. Mungkin di masanya hanya kaum pelacur yang berani menjelajahi fantasi liar seksual mereka. Sedang masyarakat kebanyakan menganggap seks itu tabu dibicarakan walau terus dijalani.

Little Birds terdiri dari 13 cerpen erotis, yang ditulis Anais Nin tahun 1940-an. Pengarang berdarah Kuba, Spanyol, dan Prancis ini lebih banyak menghabiskan hidupnya di Prancis dan Amerika. Ini yang mendasari keragaman latar karyanya. Kisahnya bisa berawal dari kehidupan gemerlap para selebritis, para model, pelukis, hingga manusia biasa dengan kemiskinan yang membelit.

Sejarah Film 1900-1950: Bikin Film di Jawa

Setelah Oh, Film… dan Keajaiban Pasar Senen, Misbach Yusa Biran menyajikan Sejarah Film Indonesia bagian 1 (tahun 1900-1950) dalam tulisan yang ringan-menyenangkan nan berbobot. Mulai dari komedi stamboel, film dokumenter, film cerita, film bisu, film bicara, Misbach menyajikan dinamika antara produser, penulis cerita, sutradara, pemain, pers, pemilik bioskop, penonton, dan pemerintah. Misbach menjabarkan berulang kali kunci laris manis sebuah film dengan target terbesar penonton pribumi yaitu harus menjual romance, pemandangan indah, perkelahian, lelucon, dan nyanyian melayu, seperti dalam komedi stamboel atau toneel, strategi yang sama dipakai oleh kebanyakan perusahaan film di indonesia saat ini.

Buku ini adalah ensiklopedia film indonesia yang menarik, sejarah film indonesia dari zaman belanda, zaman jepang, dan zaman revolusi, banyak gambar reklame film, potongan adegan, foto dibelakang layar, tabel produksi film tahun 1926-1950, daftar bioskop, ulasan film, dan surat-surat. kesimpulan dari sejarah film indonesia tahun 1900-1951 adalah pindahnya subkultur komedi stamboel atau toneel ke layar perak (atau layar putih).

Profil Dunia Film Indonesia

Buku ini adalah salah satu buku sejarah film Indonesia yang paling populer dan mudah diakses, setidaknya di tahun 1980an. Berasal dari skripsi sarjananya, dalam buku ini Salim Said berusaha untuk menjawab sejumlah pertanyaan dari berbagai pihak dan kalangan yang mempersoalkan mutu dan kecenderungan utama (yang sering dikeluhkan dalam) film Indonesia. Misalnya, kenapa film Indonesia cenderung menonjolkan seks, kemewahan, dan kekerasan? Mengapa banyak sekali jiplakan film impor? Mengapa terasa asing sekali dengan manusia dan persoalan Indonesia?

Dari buku ini kita bisa melihat bahwa keluhan-keluhan ini sudah berlangsung sangat lama, dan ia tidak lahir begitu saja. Kecaman-kecaman ini menyangkut nilai-nilai dan kebiasaan yang telah melembaga lewat sejarah yang relatif panjang. Salim Said di sini berusaha memaparkan lemahnya posisi tawar pekerja film yang terjepit di bawah produser—kebanyakan berlatar belakang pedagang, atau mengimpor langsung dari film-film laris luar karena latar belakang hidup, ataupun tergiur atas prospeknya. Struktur perfilman di Indonesia, menurut Said, bersifat sangat “coba-coba” dengan kontrol ketat terletak pada produser yang juga pemilik modal.

Indonesian Cinema

Dalam buku ini, film di sini diamati sebagai produk budaya, yang dapat dianalisa untuk mempelajari budaya asalnya (Indonesia). Menurut Heider, film-film Indonesia memiliki kharakteristik ke-“Indonesia”-an—sesuatu yang banyak diperdebatkan, mengingat banyaknya unsur daerah di Indonesia. Menurutnya, selain tidak adanya bisnis regional film, film-film Indonesia hampir semuanya menggunakan “bahasa Indonesia” (dengan sedikit frase-frase lokal sebagai bumbu) dan ditujukan untuk orang-orang dari segala propinsi, dengan kekhasan daerah yang diminimalisir. Memang, media film sendiri adalah media baru yang relatif “diimpor”, dengan elemen-elemen “asing”: teknologi kamera, projektor, film, poster iklan, dsb. Tapi memasuki abad ke-20, film menjadi salah satu media terkuat dalam mengekspresikan budaya “Indonesia”, dengan pengaruh kental pada kaum mudanya.

Melalui analisanya, Heider menyorot tema-tema dan fitur yang kerap diidentikkan dengan budaya “Indonesia”, seperti 1) keterikatan sosial (social embeddedness) dan harmoni kelompok >< otonomi individu (individual autonomy); 2) order vs. kekacauan >< baik vs. jahat; 3) pembentukan modernisasi dan pembangunan Indonesia; 4) penceritaan ulang sejarah dan legenda Indonesia; 5) (re)konstruksi tema-tema budaya Indonesia. Di sini dia juga menyorot perbandingan emosi: tidak sesimpel orang-orang Amerika lebih individualistik, Indonesia lebih berorientasi kelompok. Dalam penelitiannya, Heider mengakui tidak menggunakan metodologi yang rapi, dan pilihan-pilihan filmnya pun sedikit banyak dipengaruhi terbatasnya data film lokal (satu kendala yang masih terus mempengaruhi perkembangan film Indonesia). Di sini Heider dengan sadar memilih genre film karena dirasa lebih cocok untuk analisa budaya, dibandingkan dengan auteur film yang dengan sedikit “jaim” (self-conscious) (berusaha) menjauhi konvensi-konvensi standar.

Middlesex

An incestuous relationship between a pair of Greek siblings, consummated on a ship fleeing to the US from the Turkish raid at the beginning of the century, resulted in a pair of recessive genes finally reunited in a hermaphrodite of a grandchild (with a science geek turned John Lennon wannabe for an older brother).