Revolt in Paradise

Revolt in Paradise adalah buku autobiografi roman K’tut Tantri yang bernama (asli?) Muriel Pearson, perempuan Amerika keturunan Skotlandia, yang menceritakan pengalaman romantis-heroiknya di Indonesia selama tahun 1932 sampai dengan 1947. Pertama kali diterbitkan di tahun 1960 dalam bahasa Inggris, buku ini telah diterjermahkan dalam bahasa Jerman, Prancis, Norwegia, Swedia, Polandia, Finlandia, Denmark, Jepang, Kanton, dan tentunya, Indonesia, sebagai Revolusi di Nusa Damai.

Dibagi menjadi tiga bagian, di bagian pertama kita membaca bagaimana dia tiba di Bali, berkenalan dengan keluarga kerajaan, dan mengelola satu hotel di bagian selatan Bali (yang kerap dikunjungi berbagai tokoh, Walter Spies salah satunya). Bagian kedua menceritakan bagaimana dia ditawan Jepang di Surabaya. Sementara bagian ketiga, menceritakan pengalamannya setelah kemerdekaan bersama pejuang-pejuang Indonesia. Bahkan, dikatakan bahwa dia membantu Bung Tomo menyiarkan propaganda Indonesia dalam bahasa Inggris melalui Radio Pemberontakan, yang memberi dia sebutan ‘Surabaya Sue’ (meskipun dia punya sederetan nama sebutan lainnya!).

Tantri menggambarkan pengalamannya dengan sangat heroik: bagaimana dia meninggalkan Amerika setelah terpaku melihat film Bali, the Last Paradise di Hollywood Boulevard (!!), untuk seorang diri menuju Bali demi mencari petualangan, dan bagaimana di tengah-tengah penderitaannya, dia selalu membela dan memperjuangkan hak-hak Indonesia, entah sebagai mata-mata, tahanan perang, korban siksaan, propagandis dan pejuang revolusi. Kita juga bisa membaca pertemuan-pertemuannya dengan tokoh-tokoh penting seperti Bung Tomo, Bung Karno—yang ditulis mengatakan K’tut “telah berjuang sekuat tenaga untuk membantu kita berjuang demi kemerdekaan”, Ali Sastromijoyo, Amir Syarifuddin, dan Syahrir.

Heboh dan melodramatik, kebenaran isi otobiografi roman ini memang banyak diperdebatkan dan sering dianggap tak lebih dari sekedar fantasi roman. Meskipun buku ini menikmati penjualan laris dan distribusi yang luas di berbagai negara, dan boleh dibilang salah satu buku populer paling terkenal mengenai Indonesia di tahun 1960an, figur K’tut Tantri–yang katanya lebih dikenal dengan sebutan Manx saat dia di Bali–kerap tidak dianggap dalam sejarah resmi revolusi Indonesia, baik versi Indonesia maupun luar. Pada kenyataannya, memang banyak kontradiksi-kontradiksi yang ditemukan dalam buku ini jika dicocokkan dengan berbagai sumber sejarah, termasuk dari narasumber-narasumber Angkatan ’45. Selain itu, figurnya yang digambarkan begitu idealis dan heroik dalam buku sering dibantah sebagai perempuan eksentrik pretensius, egois, bohemian, atau bahkan pengkhianat dan pembohong. Tapi tidak dapat dibantah bahwa dia banyak terlibat dalam perjuangan gerilya Indonesia, terutama sebagai penyiar propaganda dalam bahasa Inggris, sebagaimana tertulis dalam pengantar edisi pertama bahasa Indonesia yang ditulis oleh Bung Karno sendiri.

Dua Kota Tiga Zaman

Dibagi menjadi dua bagian Surabaya dan Malang, buku ini berisi kumpulan tulisan sejarah lepas yang tidak disusun dengan kronologis. Menggunakan pendekatan interdisplin, Purnawan Basundoro mencatat pelbagai sisi dan dimensi kota Surabaya dan Malang dari masa ke masa. Buku ini menawarkan berbagai cara pandang menarik tentang bagaimana kota dan ruang publik turut membentuk sekaligus dibentuk: bukan oleh tokoh atau sekelompok orang, tapi oleh proses-proses ekonomi, sosial, politik dan budaya sekaligus. Kota menjadi “arena konflik” di mana semua orang (baik penguasa maupun masyarakat) menggunakan berbagai strategi dan taktik untuk saling menunjukkan diri melalui hak atas kota.

Secara geografis, Surabaya dikategorikan sebagai kota pesisir (coastal city), dengan karakteristik derajat pertumbuhan yang lebih cepat karena sifatnya yang lebih terlibat dalam jaringan ekonomi dan transportasi yang lebih luas. Selain jaringan laut, Jalan Raya Pos yang dibangun oleh Gubernur Jenderal Daendels di tahun 1808-1811 juga menempatkan Surabaya sebagai salah satu simpul dalam jaringan jalan utama yang menghubungkan Anyer hingga Panarukan. Surabaya berkembang menjadi pusat jasa, pusat perdagangan, atau dengan kata lain, pusat ekonomi dan bisnis.

Sebaliknya, Malang sebagai kota pedalaman (inland city) yang dikembangkan menjadi kota hunian dan peristirahatan, mempunyai derajat pertumbuhan yang lebih lambat namun terencana dan karena lokasi geografisnya yang nyaman dan teduh. Apalagi, sejak Undang-Undang Gula di tahun 1870 yang mendorong pengembangan masuknya modal swastas asing ke Hindia, menjadikan Malang kota pusat perkebunan, yang cocok untuk kopi, kakao (dan teh?). Dengan Rencana Pembangunan Kota (Bouwplan) I-VIII secara bertahap, Malang dikembangkan sebagai kota hunian yang lebih nyaman, tertata dengan perhitungan teknik yang memadai. Campur tangan Ir. Thomas Karsten, arsitek kenamaan yang banyak membantu mendesain kota-kota di Indonesia sebelum masa pendudukan Jepang, juga menjadikan kota Malang terasa lebih teratur dan serasi.

Sebagai penutup, Purnawan menguraikan bagaimana Surabaya sebagai kota industri terbesar di Indonesia pada awal abad ke-20, kemudian mengalami arus urbanisasi yang sangat besar dengan peningkatan jumlah penduduk yang amat tinggi. Salah satu dampaknya, tentunya, adalah perebutan ruang yang amat intensif. Sementara kota Malang, yang pernah menjadi pusat Kerajaan Singasari, diposisikan sebagai kota pedalaman dengan segala fungsi tradisionalnya. Letak geografisnya yang nyaman dan dikelilingi pegunungan membuatnya cocok sebagai kota hunian dan peristirahatan yang mengedepankan kenyamanan. Jaringan jalan dibuat terpadu dan terintegrasi dengan rencana pengembangan kota. Ruang terbuka yang luas memperkuat citranya sebagai kota taman. Jika Surabaya dapat disamakan dengan Bombay dan—menurut Bung Karno—New York, orang-orang Eropa menjuluki Malang sebagai Switzerland van Java.

Tidak hanya menghadirkan riwayat kota, buku ini memperkenalkan kita kepada berbagai pemahaman sejarah mengenai kota Surabaya dan Malang secara lebih luas sekaligus kritis. Satu buku yang menarik dari Seri Kota, Kata dan Kuasa yang diedit oleh Manneke Budiman dan diterbitkan oleh Penerbit Ombak. Semoga dapat berlanjut dalam menyajikan keragaman ekspresi dan dimensi studi kota, sekaligus menjembatani teori dan praktik pembangunan kota.

Report: Only a Girl

Sabtu, 23 Oktober 2010, pk. 17.30 WIB, kursi-kursi mulai dipenuhi oleh pengunjung. Kru GPU Surabaya, telah lama bersiap di depan. Buku-buku nominasi Khatulistiwa Literary Award, dijual di meja sirkulasi depan dengan diskon 10% hanya untuk hari itu. Cuaca Surabaya yang panas seperti biasa, tidak meredekan antusiasme untuk acara peluncuran buku “Only a Girl: Menantang Phoenix” yang berlangsung sore itu di C2O.

Kami semua terkesan dengan Lian Gouw, penulis buku Only a Girl yang khusus datang ke Indonesia untuk peluncuran terjemahan bukunya, setelah 50 tahun lebih meninggalkan tanah airnya untuk menetap di Amerika. Di usia senja 76 tahunnya, beliau masih tampak bugar, terus bersemangat untuk menulis, giat belajar untuk meningkatkan kemampuan menulisnya, bahkan menjual sendiri karya-karyanya! Didampingi oleh Soe Tjen Marching, yang bulan depan akan meluncurkan novelnya, juga diterbitkan oleh Gramedia, acara diskusi berlangsung dengan interaktif, menghibur sekaligus informatif.

Walaupun sedikit terbata-bata, Lian Gouw bersikeras untuk melangsungkan acara dengan bahasa Indonesia. Beliau mengutarakan ketidak nyamanannya jika melihat istilah-istilah Inggris digunakan dengan clemang-clemong, dicampur aduk dalam bahasa Indonesia, demi sekedar “gengsi”. “Banggalah dengan bahasamu sendiri, karena tanpa bahasa, kamu tidak punya suara,” tegasnya.

Nusantara

Nusantara dibagi menjadi 16 bab yang ditata secara kronologis, dengan bab pertama menguraikan secara mendasar latar belakang geografis dan berbagai teori mengenai populasi Indonesia kuno. Vlekke kemudian dengan bertahap mengantarkan kita ke zaman kerajaan-kerajaan Jawa dan Sumatra, kedatangan Portugis, pedagang-pedagang asing, kedatangan Islam, keunggulan kekuatan maritim Indonesia, kedatangan Belanda hingga kebangkitan revolusi.

Toraja 1921

Di kalangan masyarakat Toraja masih dapat dilihat sebuah sistem tukar-menukar yang mencolok, terutama dalam upacara kematian mereka. Dalam sistem pertukaran ini, kerbau mengambil tempat sebagai pusat. Upacara kematian yang sangat megah, tentunya memberi beban besar kepada keluarga. Hukum adat mewajibkan saling menyumbang antar kerabat, yang berarti pula hutang piutang hak serta kewajiban, dan salah satu akibatnya adalah pengikat kekerabatan yang berkelanjutan.

Film pendek ini, yang dibuat di tahun 1921, merekam upacara kematian seorang puang, dengan lokasi Rante-Pao. Asia Tenggara pada umumnya dan Kepulauan Nusantara Barat pada khususnya, sesungguhnya merupakan laboratorium mekanisme keuangan yang luar biasa, di mana evolusi konsep nilai dapat kita pelajari. Sistem tukar-menukar di kalangan masyarakat Toraja ini adalah salah satu keanekaragaman system alat tukar yang sangat menonjol, menurut taraf perkembangan sosio-ekonomi yang dicapai.

Orang Bajo

Orang Bajo: Suku Pengembara Laut adalah hasil dari penelitian etnografis dan kisah pengalaman François-Robert Zacot, seorang etnolog Prancis yang menghabiskan bertahun-tahun mempelajari cara hidup suku Bajo—dulunya suku pengembara laut yang senang menyendiri, menghindar dan terkungkung, muncul dan menghilang di berbagai pesisir dengan cara mereka sendiri—dengan lokasi terpencil di Sulawesi Utara meskipun mereka tersebar di berbagai pelosok nusantara.

Orang Laut, Bajak Laut, Raja Laut

“Jangan lupa lautan.” Dibagi menjadi enam bab termasuk pendahuluan dan penutup, dengan komprehensif dan bertahap Lapian memberi uraian mengenai keadaan fisik dan penduduk kawasan Sulawesi, sebelum kemudian secara spesifik membahas masyarakatnya berdasarkan tiga tipe ideal: orang laut, bajak laut, dan raja laut. Demi fokus yang lebih mendalam dan karena keterbatasan sumber tulisan, Lapian memilih untuk membatasi penelitian ini pada kawasan Sulawesi di abad XIX.

Trance & Dance in Bali

Kerauhan (istilah Bali untuk menye­but kerasukan) timbul di Bali dalam bera-gam bentuk. Dalam film ini, Margaret Mead menjelaskan bagaimana kerauhan terjadi dalam Tari Keris, di mana penari-penari menusukkan keris ke dadanya tanpa ter­luka sedikitpun. Salah satu tari Keris mengkombinasi­kan praktik relijius ini den­gan tema drama Bali, yaitu konflik antara Rangda (janda sakti) dan Barong.

Ada berbagai macam ver­si cerita—Mead menyorot versi yang diberikan di desa Pagoetan antara tahun 1937-1939. Di saat Mead mengambil film ini, baik perempuan maupun laki-laki masih mementaskan tarian ini. Film dibagi menjadi dua bagian. Di bagian pertama, ditunjukkan bagian teatrikal semenjak Rangda masih belum memakai topeng hingga tari keris dan penari-penarinya dibopong kembali ke pura. Sementara bagian kedua menunjukkan proses menyadarkan penari keris maupun aktor-aktor laki-laki pemeran Rangda dan Barong dari kerauhan.

Reportase: Codex Code

ini adalah pameran “buku”, tapi di sini peserta pameran dibebaskan untuk memaknai arti buku dengan sangat luas, sesuai dengan pengertian dan latar belakang masing-masing.

Ada yang menyulam beberapa sapu tangan dan menjahitnya di atas bantal. Ada yang membuat buku mewarnai dan mengundang pengunjung untuk mewarnai dan menulisinya. Ada buku-buku kecil dengan susunan abjad, dan gabungan buku dan audio. Sementara dari Surabaya, Butawarna menghadirkan konsep Codex Code Cliche (C3), berisi (parodi) klise buku-buku “seni”, dan Iqi menampilkan “LOOKBOOK” berisi lukisan-lukisan cat airnya.

Lamalera 1926

Film yang dibuat di tahun 1926 ini menggambarkan proses penangkapan ikan paus di Lamalera, bukan hanya pada saat penangkapannya, tapi juga pembuatan perahunya, perjalanannya, dan sistem pembagiannya. Lamalera adalah satu dari dua desa di Indonesia yang menangkap ikan paus, dan mungkin satu-satunya yang menangkap sperm whale. Penduduk Lamalera kebanyakan tidak memiliki tanah agrikultur sendiri, meskipun beberapa penduduk mungkin memiliki tanah di luar desa. Pola pada umumnya adalah penduduk mencari sumber-sumber laut untuk konsumsi lokal dan barter dengan desa-desa tetangga (dataran tinggi). Meskipun penduduk kini juga memiliki tanah sendiri, pada umumnya pola ini masih bertahan.