Kitchen

Sampai kapanpun, kematian merupakan subjek yang selalu menarik bagi manusia. Bagaimana pun ceritanya, apakah itu mati dalam keadaan umur yang tua atau mati karena terbunuh, mati tetap saja mati. Selalu ada lubang luka yang menganga setelahnya. Rasa kesepian yang melompong, kebingungan atas keadaan yang semerta merta berubah dan ketidakpastian-ketidakpastian dalam hidup lainnya merupakan tema yang …

Hard-Boiled Wonderland and the End of the World

Hal pertama yang Anda dapat setelah Anda membuka Hard-Boiled Wonderland and the End of the World adalah sebuah peta: Peta Akhir Dunia. Ini membawa banyak pertanyaan ke pikiran dan membuat pembaca menaruh beberapa harapan: Apakah ini akan menjadi perjalanan yang menantang melalui tempat-tempat yang dijelaskan dalam peta? Apakah ini era abad pertengahan? Dan pertanyaan-pertanyaan lainnya yang berhubungan dengan peta tersebut akan hancur dalam deskripsi di bab pertama. Seolah Murakami baru saja memberi salam hangat kepada pembaca, “Selamat datang di dunia (buku) surreal saya.”The first thing caught after you opened Hard-Boiled Wonderland and the End of the World book is a map: The End of the World map. It brought questions to the mind and made the readers put some expectations: Will it be a challenging journey through the places described in the map? Is it medieval era? And other map-related questions that popped will be crushed to the 1st chapter detailing description. It’s just like Murakami said greeting warmly to the readers, “Welcome to my surreal (book) world.”

Guyonan Intim dan Syahdunya Tur ‘Monster of Folk’ di Surabaya

Project yang dibawakan oleh Rayhan Sudrajat, Deugalih, dan Ledakan Urbanisasi ini menyadarkan saya bahwa gaung folk sedang membahana. Monster of Folk Tour dilakukan di 3 kota yaitu Surabaya, Malang, dan Bali. “Kenapa cuma 3 kota? Ini mah karena kita hanya memiliki waktu yang singkat untuk Tour. Semua datang dengan kebetulan tanpa tergesa-gesa, yang bisa kami kunjungi maka melipirlah kita disana, menghibur kalian semua dah intinya”, ujar Dede pria di balik Ledakan Urbanisasi.

Debt: The first 5,000 years

Debt, The First 5000 Years adalah sebuah rangkuman sejarah hutang dan evolusinya hingga ia dikenal seperti apa yang kita kenal sekarang. Utang-piutang dan pinjam-meminjam sudah berlangsung sekian ribu tahun lebih awal sebelum ditemukannya uang dan menjadi fondasi dari proses kemunculan uang tersebut.

Metodologi Sejarah

Sejarawan, sama seperti ilmuwan lain, punya hak penuh berbicara masalah-masalah kontemporer … Bahkan, mereka yang bekerja di pengalengan ikan, pertukangan sepatu, perusahaan batik, pabrik biskuit, dan dunia usaha lain tetap dapat menjadi sejarawan. Sejarawan adalah penulis sejarah. Titik. (“Cerpenis adalah penulis cerpen, apa pun pekerjaannya”). Tanggalkan anggapan bahwa hanya mereka yang bekerja sebagai dosen universitas …

Budaya Bebas

Buku ini diterbitkan karena melihat meskipun pembahasan dan kajian mengenai Media Baru (dan budaya digital) telah banyak beredar di Internet dan dapat diunduh gratis dan legal dari Internet, tapi informasi mengenai budaya digital masih belum terlalu merebak di Indonesia.

Dibagi menjadi 14 bab, dengan pendahuluan, kesimpulan, dan kata akhir, buku ini dengan meyakinkan mengajak kita untuk mempertimbangkan ulang, apa itu yang kita sebut sebagai “pembajakan”, dan apa itu “property”, dengan memberi berbagai ilustrasi kasus yang menarik.

Surabaya di Luar Bingkai

Ayorek bekerjasama dengan C2O Library & Collabtive untuk mendata dan mengulas buku-buku dan film yang berkaitan dengan kota Surabaya, dengan tujuan membangun daftar koleksi mengenai Surabaya, untuk memudahkan penelusuran informasi. Apabila Anda tertarik untuk berpartisipasi menyumbangkan (ulasan) buku atau film untuk melengkapi koleksi ini, hubungi: info@c2o-library.net
– – – – – – – – –

Diterbitkan di tahun 2004, buku ini menggambarkan Surabaya, dengan menggabungkan kesan pribadi dan kesaksian dalam bentuk foto dan tulisan. Pusat Kebudayaan Prancis (CCCL) meminta Nicolas Carnet, fotografer Prancis yang telah beberapa kali berkunjung ke Surabaya, untuk berbagi pandangan dan rekaman mengenai pusaka dan penduduk Surabaya, bagaimana mereka hidup dan menegaskan identitas mereka.

Hasilnya merupakan kerja kolaboratif yang juga melibatkan berbagai fotografer lokal, yakni Mamuk Ismantoro, Aunul Fitri, Ari Sudijanto, Hari Gunawan, dan Arief Ahadiyanto. Ferawati membuat ilustrasi peta. Beberapa penulis—Bambang Dwi Hartono, Dédé Oetomo, Johan Silas, Errol Jonathans, Dukut Imam Widodo, Michael Johnson, dan Sirikit Syah—juga diundang untuk menuliskan kesaksian dan pandangan pribadi mereka mengenai Surabaya. Tulisan-tulisan ini ditulis dalam 3 bahasa: Inggris, Indonesia dan Prancis.

Saya mendapatkan buku ini ketika sedang membantu Pramenda Krishna, atase humas Pusat Kebudayaan Prancis (CCCL, sekarang IFI Surabaya) bebersih dalam rangka persiapan pindahan mereka dari Darmokali ke AJBS tahun lalu. Saya cukup tercengang mengetahui bahwa buku seperti ini pernah diterbitkan. Sayang sekali tidak tersebarkan dengan luas. “Satu-satunya buku yang pernah diterbitkan CCCL,” jelasnya sedikit sendu. Mungkin sudah saatnya kita membuat lagi buku yang memotret Surabaya kini?

PS: Saat ini Ayorek sebenarnya juga sedang mempersiapkan pembuatan buku yang akan memotret kota Surabaya yang kita kenal saat ini. Bagi yang tertarik, monggo bergabung dalam Ayorek Treasure Hunting. http://ayorek.org/2012/08/ayorek-treasure-hunting/

Surabaya Whatever Love

“Sebuah Persembahan Bagi Ulang Tahun Surabaya, Dari Para penulis Jawa Timur”, begitulah kalimat yang tertera pada sampul buku tersebut. Bunga rampai ini dibuat dengan sistem seleksi, jelas Titie Surya. Dari 200 cerpen yang dikirimkan, hanya 20 yang dimuat dan diterbitkan oleh penerbit Prima Pustaka yang berlokasi di daerah Medokan Ayu. Tema-tema yang diangkat dalam antologi ini beragam, tapi benang merahnya adalah, sebagaimana dituliskan sendiri di belakang sampul, “cinta rasa Surabaya”. Karena itu semua cerpennya menampilkan tema roman, dengan latar belakang ruang, simbol, kuliner dan fenomena-fenomena yang sering sekali dikaitkan dengan Surabaya. Misalnya, bonek (bondo nekat) dan versi perempuannya, bonita, resep rawon yang diolah menjadi cerita, mall-mall Surabaya, Gedung Setan yang dihuni oleh pengungsi keturunan etnis Cina-Jawa, dan sebagainya. Kita bisa mengenali banyak hal di sini sebagai “Surabaya (banget)”, dan tak jarang membacanya kita bisa tersenyum-senyum sendiri karena mengenalinya dan bisa membayangkannya terjadi di Surabaya.