Zona Aman Gorazde

Katakan dengan gambar. Berdasar ingatan yang kuat, goresan tangan yang detil, serta pendengaran yang tajam, Joe Sacco mampu menampilkan peristiwa pembantaian muslim Bosnia oleh Serbia dengan apik di bukunya, Zona Aman Gorazde. Adegan mencekam, sindiran satir dan pahit, bahkan kemampuan menertawakan diri sendiri, diramunya dengan hidup dalam novel grafisnya ini.

Dimanakah Gorazde itu? Orang mungkin lebih kenal Sarajevo yang lebih sering masuk tivi kala meletus perang etnis paska pecahnya Yugoslavia bentukan Tito. Tapi Gorazde?

Gorazde adalah satu-satunya wilayah Bosnia di timur dan dikepung oleh wilayah Serbia. Karena terisolir, penduduk Gorazde sangat membutuhkan uluran tangan PBB untuk bertahan. Jalur konvoi PBB yang menghubungkan Sarajevo dan Gorazde ini kerap disebut jalur biru, berdasarkan warna helm yang dipakai tentara PBB mengawal bantuan makanan dan kesehatan ke sana. Jalur yang bersih dari muslim Bosnia, karena sudah dibersihkan oleh tentara Serbia sebelumnya.

Buku ini dibuka paska pembantaian lebih tujuh ribu muslim di Sebrenica, setelah daerah itu ditinggalkan pasukan PBB, dan NATO mengebom Serbia-Bosnia pada 30 Agustus 1995. Gencatan senjata kemudian dilakukan di seluruh Serbia. Konvoi PBB dan LSM kemanusiaan kembali diijinkan menerobos jalur Serbia guna memberikan bantuan ke Gorazde. Para jurnalis, termasuk Joe Sacco, mulai memasuki Gorazde lewat jalur biru ini.

Joe Sacco melukiskan euforia penduduk Gorazde yang urung dibantai Serbia. Kegembiraan berlebih tatkala mereka terhubung orang luar, yang berarti harapan terus melangsungkan hidup. Juga permintaan nyinyir mereka akan barang seperti celana jeans levis 501, parfum, dan peradaban. Mereka telah terputus dengan dunia luar sejak meletusnya perang, Mei 1992.

Spookhuis

Novel ini sangat menarik perhatian saya pada awalnya. Gambar covernya mengingatkan saya pada komik-komik Indonesia tahun 70an dan awal 80an. Setelah saya lihat lebih lanjut ternayta buku ini adalah sebuah roman misteri karya penulis asal Surabaya yang produktif yaitu Pak Suparto Brata. Selain itu yang membuat saya semakin tertarik adalah buku ini meruapakan roman dalam bahasa Jawa. Selama ini saya sudah menikmati karya-karya Pak Suparto Brata dalam bahasa Indonesia. Membaca karya beliau dalam bahasa Jawa akan memberikan pengalaman yang mungkin berbeda.

Reportase: Talkshow Garis Batas

Minggu, 15 Mei 2011, menjelang pukul 6 sore, pengunjung mulai berdatangan di C2O untuk acara bedah buku Garis Batas: Perjalanan di Negeri-negeri Asia Tengah. Cuaca sedikit mendung, gerimis turun rintik-rintik. Ajeng, moderator untuk malam ini, sudah siap semenjak 2 jam yang lalu. Dengan sedikit khawatir Rhea, koordinator GoodReads Surabaya, mengabari, “Mas Agus sakit, sepertinya datangnya bakal mepet.”

Pukul 6 sore tepat, Agustinus, sang penulis Garis Batas, datang, tergopoh-gopoh memasang laptopnya ke proyektor. Dia tampak menghembuskan nafas lega setelah video slideshow photo-photonya siap terputar untuk acaranya.

Ajeng memulai acara dengan memperkenalkan Agustinus Wibowo, seorang petualang dan pengembara, yang lahir di Lumajang di tahun 1981. Lulus dari SMA 2 Lumajang, ia sempat menempuh 1 semester jurusan informatika di ITS, sebelum pindah ke Fakultas Komputer Universitas Tsinghua di Beijing. Garis Batas adalah buku keduanya yang diterbitkan oleh Gramedia setelah Selimut Debu. Keduanya merupakan kumpulan catatan perjalanan, sebagian darinya pernah dimuat di kolom “Petualang” Kompas.

Jika Selimut Debu menceritakan perjalanan Agus di Afghanistan, Garis Batas menceritakan perjalanannya keliling Asia Tengah: Tajikistan, Kyrgyzstan, Kazakhstan, hingga Uzbekistan dan Turkmenistan. Ribuan kilometer yang dilaluinya ia tempuh dengan berbaga macam alat transportasi seperti kereta api, bus, truk, hingga kuda, keledai dan tak ketinggalan jalan kaki, dari tahun 2006-2007.

Berbeda dengan Selimut Debu yang lebih menonjolkan sisi petualangan dan kehidupan Afghanistan, Garis Batas banyak menampilkan refleksi Agustinus atas apa yang ia lihat dan alami di Asia Tengah. Kenapa judulnya Garis Batas? “Garis batas adalah kodrat manusia. Tanpa disadari, kita adalah seonggok tubuh yang selalu membawa garis batas portabel ke sana ke mari. Garis batas menentukan dengan siapa kita membuka hati, dengan siapa menutup diri.” Begitu pula dengan negari-negeri. Ada garis batas, ada proses pembentukan identitas yang terus berjalan, terkadang menembus batas-batas baru, tergadang bergolak, terkadang membeku. Dalam bukunya, Agustinus kental merefleksikan hal ini, dan juga membuat perbandingan-perbandingan dengan situasi di Indonesia seperti pengkotak-kotakan suku, agama, etnis, dan penggunaan bahasa.

Yang menarik dari kedua buku catatan perjalanan ini adalah, Agustinus tidak memandang perjalanannya sebagai target ataupun suatu misi untuk menguasai. Ia tidak menkalkulasi dalam berapa hari ia harus melewati berapa negara, atau menggunakan berapa banyak biaya. Cerita-ceritanya mencatat perjalanan, pengalaman, refleksi sehari-harinya. Ia tidak menyombongkan diri mengenai tempat-tempat yang telah ia kunjungi, atau makanan-makanan apa yang telah ia nikmati. Ia mengundang pembaca untuk turut tenggelam dalam petualangannya, sembari turut mengingatkan pembaca juga untuk berhati-hati pada sudut pandang eksotisme yang me-“liyankan”.

Sekitar 40-50 pengunjung terkumpul di C2O, antusias mendengarkan dan berpartisipasi dalam diskusi yang mengalir. Di sela-sela diskusi, Agustinus juga memutar video slideshow foto-fotonya di Asia Tengah dan Afghanistan, beberapa dapat dijumpai dalam bukunya. Banyak refleksi dan pengalaman perjalanan menarik yang ia ceritakan. Mulai dari membacakan secepat mungkin pembukaan UUD ’45 untuk menghindari sopir korup, mata uang terberat di dunia (saking kecilnya nilainya), mengkal melihat perbedaan yang begitu kontras dalam satu masyarakat yang berseberangan sungai (Afghanistan dengan Kirgiztan), dan lain-lain.

Acara berlangsung dengan seru, hingga tak terasa jam delapan telah lewat. Dengan sedikit menyesal, Ajeng menutup acara talkshow, yang kemudian dilanjutkan dengan sesi tanda tangan, tanya jawab, dan berbagai bahasan kecil-kecilan. Banyak terima kasih kepada Agustinus, moderator kesayangan kami Ajeng Kusumawardani, Rhea Siswi dari GoodReads Surabaya atas kerjasamanya, dan Gramedia Surabaya atas dukungannya. Acara yang sangat berkesan, dan kami berharap karya ini dapat dinikmati masyarakat luas.

Bedah buku Garis Batas

Perjalanan lintas benua asia yang dimulai tahun 2005 membawa sang petualang, Agustinus Wibowo, menuju negara yang tak pernah terbayangkan sebelumnya. Afghanistan yang dikenal sebagai negara tempat perang terus berkecamuk. Tajikistan, Kyrgyzstan, Kazakhstan, Uzbekistan, Turkmenistan yang luput dari mata kita. Melalui catatan petualangannya, Agustinus Wibowo membawa kita untuk mengenal lebih dekat negara-negara tersebut dan membuka mata kita akan budaya mereka.

Goodreads Indonesia bekerjasama dengan C2O Library mengajak Anda untuk mengenal Agustinus Wibowo lebih dekat dan membahas buku Selimut Debu dan Garis Batas pada:

Hari: Minggu
Tanggal: 15 Mei 20011
Waktu: 18:00 – 20:00 waktu Surabaya
Tempat: C2O Library
Jl. Dr. Cipto 20 Surabaya 60264
(Jalan kecil seberang konjen Amerika)
Tel +62 31 77525216
Web http://c2o-library.net/

Narasumber: Agustinus Wibowo
Moderator: Ajeng Kusumawardani, S2 Ilmu Sastra Budaya Unair

Peluncuran buku 30 Hari Keliling Sumatra

Peluncuran Buku “30 Hari Keliling Sumatra”
Oleh Ary Amhir
Minggu, 17 April 2011, 14.00 WIB
C2O Library, Jl. Dr. Cipto 20 Surabaya 60264
INFO: c2o.library@yahoo.com
——-
Pertengahan Januari 2009 terbersit niat tuk melakukan perjalanan ke Sumatra dengan budget rendah. Alasan pertama, ingin menjajal kekuatan fisik paska didera kanker dan operasi-operasi yang berkepanjangan. Alasan kedua, belajar budaya, adat, dan istiadat setempat, semampu saya.

Perjalanan dimulai dari Pariaman, Bukittinggi, Madina, Tangkahan Durian, Medan, Takengon, Blank Dalam, Banda Aceh, Tanjung Pura, Tanah Karo, Toba, Palembang, Prabumulih, dan berakhir di Bandar Lampung 30 hari kemudian. Panjang dan melelahkan.
Menguras kocek Rp 3,4 juta. Lumayan!

Apa yang bisa saya kisahkan dalam perjalanan panjang ini? Apa saja ada, walau tak lengkap. Kisah perkawinan adat Pariaman, keindahan Bukittinggi dan Takengon, nasib orang Melayu di pinggiran. Ada juga nasib kuli bangunan paska gempa, petani karet dan sawit, hingga kisah mereka yang tabah menjadi korban bencana alam.

Saya ingin menuang kearifan lokal para jelata dalam menyikapi hidup. Belajar darinya, dalam setiap perjalanan, sungguh indah. Perjalanan bagi saya tak sekedar mengejar keindahan alam, bangunan bersejarah, hotel yang nyaman, makanan nikmat, tapi juga membaca masyarakat dan kehidupan sekitar. Bukankah itu yang mendewasakan para pengelana sejak masa purba?
———-
Ary Amhir pernah bekerja sebagai jurnalis di sebuah harian Surabaya, lalu majalah wanita di Jakarta, dan menjadi penulis lepas di beberapa media seperti Familia (Kanisius Group), Intisari, The Jakarta Post. Telah menerbitkan buku “TKI di Malaysia: Indonesia yang Bukan Indonesia”, “Antologi Bicaralah Perempuan”, dan “Journal of 30 Days Around Sumatra”. Kunjungi situsnya di http://othervisions.wordpress.com

c2o Newsletter vol. 12: Book’s Day Out

Untuk memperingati Hari Buku Dunia pada tanggal 23, selama bulan April ini kami mengadakan Book’s Day Out sebagai bagian dari Festival Surabaya Membaca, berbagai kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan buku dan literasi dengan harapan dapat sedikitnya membantu menumbuhkan gairah minat baca.

Di tahun pertama acara ini, kami memfokuskan pada pemetaan dan sosialisasi kegiatan literasi dalam kegiatan-kegiatan yang unik, interaktif sekaligus informatif selama bulan April. Tujuannya adalah memasyarakatkan
buku, kebiasaan membaca, dan aktivitas literasi lainnya dalam kehidupan sehari-hari.

Highlight utama kali ini adalah Surabaya Book Map, peta kota yang dapat menunjukkan lokasi tempat-tempat yang berhubungan dengan buku di Surabaya, dan Postcards from Bookworms, projek kolektif di mana khalayak umum dapat menginterpretasikan buku yang berkesan melalui kartu pos.

Kami percaya literasi adalah membaca kata dan dunia. Partisipasi, interaksi, pemahaman dan kesenangan menjadi kata kunci untuk memotivasi gemar membaca. Suatu dialog aktif dengan pembacanya melalui berbagai kegiatan kreatif, suatu media untuk memahami maupun mengekspresikan diri di lingkungan sosialnya.

Selain itu kami juga akan mengadakan peluncuran dan diskusi buku 30 Hari Keliling Sumatra bersama penulisnya, Ary Amhir. Dan setiap hari Jumat dan Sabtu, kami akan memutar Books to Film, film-film yang berhubungan dengan buku. Selamat membaca kata dan dunia!

Unduh programnya di: http://issuu.com/c2o.library/docs/c2o-newsletter-12-201104

Little Birds

Saya bukan penyuka karya sastra selangkangan atau lebih dikenal sastra lendir. Buku-buku karangan Djenar Maesaayu atau Ayu Utami bukan favorit saya. Saya juga tak suka kisah cabul ala Amy Arrow atau Motinggo Busye. Membaca buku mereka menurut saya seperti melakukan onani saja. Maaf, saya tak bermaksud menghina. Hanya beda selera.

Seorang kawan menyarankan saya membaca karya-karya Anais Nin jika ingin mendalami sastra selangkangan yan tidak vulgar. Undangannya saya terima dengan mengobrak-abrik koleksi Anais Nin di C2O Library. Saya pilih yang paling tipis, agar cepat dibaca. Little Birds judulnya, diterbitkan Penguin Klasik tahun 1979.

Menarik menyimak kata-kata Nin dalam pengantar buku ini. Nin mengaku di jamannya, sekitar 1940-an, orang menulis kisah erotis karena didorong rasa lapar. Bayaran selembar kisah erotis bernilai satu dolar. Sungguh lumayan di saat itu.

Menurut Nin, rasa lapar menuntun kepada fantasi seksual, bukan kepada energi melakukan kuasa seksual. Sedang aktivitas seksual sendiri tak akan menuntun pada fantasi seksual yang luar biasa. Seperti diakuinya, menulis kisah-kisah erotis itu seperti memasuki kerajaan prostitusi. Mungkin di masanya hanya kaum pelacur yang berani menjelajahi fantasi liar seksual mereka. Sedang masyarakat kebanyakan menganggap seks itu tabu dibicarakan walau terus dijalani.

Little Birds terdiri dari 13 cerpen erotis, yang ditulis Anais Nin tahun 1940-an. Pengarang berdarah Kuba, Spanyol, dan Prancis ini lebih banyak menghabiskan hidupnya di Prancis dan Amerika. Ini yang mendasari keragaman latar karyanya. Kisahnya bisa berawal dari kehidupan gemerlap para selebritis, para model, pelukis, hingga manusia biasa dengan kemiskinan yang membelit.

Sejarah Film 1900-1950: Bikin Film di Jawa

Setelah Oh, Film… dan Keajaiban Pasar Senen, Misbach Yusa Biran menyajikan Sejarah Film Indonesia bagian 1 (tahun 1900-1950) dalam tulisan yang ringan-menyenangkan nan berbobot. Mulai dari komedi stamboel, film dokumenter, film cerita, film bisu, film bicara, Misbach menyajikan dinamika antara produser, penulis cerita, sutradara, pemain, pers, pemilik bioskop, penonton, dan pemerintah. Misbach menjabarkan berulang kali kunci laris manis sebuah film dengan target terbesar penonton pribumi yaitu harus menjual romance, pemandangan indah, perkelahian, lelucon, dan nyanyian melayu, seperti dalam komedi stamboel atau toneel, strategi yang sama dipakai oleh kebanyakan perusahaan film di indonesia saat ini.

Buku ini adalah ensiklopedia film indonesia yang menarik, sejarah film indonesia dari zaman belanda, zaman jepang, dan zaman revolusi, banyak gambar reklame film, potongan adegan, foto dibelakang layar, tabel produksi film tahun 1926-1950, daftar bioskop, ulasan film, dan surat-surat. kesimpulan dari sejarah film indonesia tahun 1900-1951 adalah pindahnya subkultur komedi stamboel atau toneel ke layar perak (atau layar putih).

Call for submissions: Postcards from Bookworms

Mengundang publik untuk mengirimkan kartu pos mengenai buku: boleh buku favorit, buku yang baru saja mereka baca, buku yang tidak bisa mereka lupakan, buku kanak-kanak, buku yang baru saja mereka beli, buku dari sahabat, dsb. Intinya, kartu pos itu akan memuat interpretasi kita tentang sebuah buku.

Di sini medium kartu pos menjadi bentuk “rekomendasi personal” seperti halnya komentar dan rekomendasi di Facebook. Tiap peserta boleh menginterpretasikan buku sesuka mereka. Boleh menggunakan cat, foto, cetak digital, kolase, mixed media, dsb. Tersedia blanko kartu pos dan alat-alat menghias/mendekor di C2O jika ingin membuatnya on the spot!

Semua karya kartu pos akan dipamerkan di Perpustakaan C2O, dalam rangka Hari Buku Dunia (23 April 2011). Pameran akan berlangsung selama seminggu, dan pengunjung bisa turut berpartisipasi menambah lebih banyak postcard!

Hasil karya postcard juga akan dikompilasikan menjadi antologi dalam bentuk PDF dengan lisensi Creative Commons (Bebas untuk disebarkan, digandakan atau diadaptasi, selama (1) mencantumkan atribusi pengarang, (2) untuk kepentingan non-komersil, dan (3) didistribusikan dalam kondisi yang sama (lihat http://creativecommons.org/licenses/by-nc-sa/3.0/)

Kirimkan karya kartu posmu ke:
C2O Library
Jl. Dr. Cipto 20
Surabaya 60264
INDONESIA

Profil Dunia Film Indonesia

Buku ini adalah salah satu buku sejarah film Indonesia yang paling populer dan mudah diakses, setidaknya di tahun 1980an. Berasal dari skripsi sarjananya, dalam buku ini Salim Said berusaha untuk menjawab sejumlah pertanyaan dari berbagai pihak dan kalangan yang mempersoalkan mutu dan kecenderungan utama (yang sering dikeluhkan dalam) film Indonesia. Misalnya, kenapa film Indonesia cenderung menonjolkan seks, kemewahan, dan kekerasan? Mengapa banyak sekali jiplakan film impor? Mengapa terasa asing sekali dengan manusia dan persoalan Indonesia?

Dari buku ini kita bisa melihat bahwa keluhan-keluhan ini sudah berlangsung sangat lama, dan ia tidak lahir begitu saja. Kecaman-kecaman ini menyangkut nilai-nilai dan kebiasaan yang telah melembaga lewat sejarah yang relatif panjang. Salim Said di sini berusaha memaparkan lemahnya posisi tawar pekerja film yang terjepit di bawah produser—kebanyakan berlatar belakang pedagang, atau mengimpor langsung dari film-film laris luar karena latar belakang hidup, ataupun tergiur atas prospeknya. Struktur perfilman di Indonesia, menurut Said, bersifat sangat “coba-coba” dengan kontrol ketat terletak pada produser yang juga pemilik modal.