“Jangan lupa lautan.” Dibagi menjadi enam bab termasuk pendahuluan dan penutup, dengan komprehensif dan bertahap Lapian memberi uraian mengenai keadaan fisik dan penduduk kawasan Sulawesi, sebelum kemudian secara spesifik membahas masyarakatnya berdasarkan tiga tipe ideal: orang laut, bajak laut, dan raja laut. Demi fokus yang lebih mendalam dan karena keterbatasan sumber tulisan, Lapian memilih untuk membatasi penelitian ini pada kawasan Sulawesi di abad XIX.
Bright Star
John Keats adalah seorang penyair Inggris beraliran Romantis di abad ke-18. Ia meninggal di usia muda, 25 tahun, miskin dan tanpa dikenal atau dihargai diluar lingkungan teman-temannya. Karya-karya Keats mulai mendapat tanggapan bagus dari para kritik beberapa tahun setelah dia meninggal dan sekarang Keats dianggap sebagai figur yang sangat penting untuk aliran Romantis. Surat-surat dan puisinya sangat dikenal dan disukai, dan bahkan dianggap sebagai karya-karya penting yang banyak dipelajari dan ditafsirkan oleh berbagai akademis.
Jane Campion, sutradara wanita berkebangsaan Australia, memutuskan untuk mengusung kisah John Keats ke layar lebar, hanya saja kisah Keats diceritakan lewat sudut pandang Fanny Brawne, seorang gadis muda berusia 19 tahun yang menjalin hubungan kasih yang teramat sangat kuat dan passionate dengan Keats, namun sayang harus diakhiri secara tragis dan mendadak oleh kematian Keats.
Trance & Dance in Bali
Kerauhan (istilah Bali untuk menyebut kerasukan) timbul di Bali dalam bera-gam bentuk. Dalam film ini, Margaret Mead menjelaskan bagaimana kerauhan terjadi dalam Tari Keris, di mana penari-penari menusukkan keris ke dadanya tanpa terluka sedikitpun. Salah satu tari Keris mengkombinasikan praktik relijius ini dengan tema drama Bali, yaitu konflik antara Rangda (janda sakti) dan Barong.
Ada berbagai macam versi cerita—Mead menyorot versi yang diberikan di desa Pagoetan antara tahun 1937-1939. Di saat Mead mengambil film ini, baik perempuan maupun laki-laki masih mementaskan tarian ini. Film dibagi menjadi dua bagian. Di bagian pertama, ditunjukkan bagian teatrikal semenjak Rangda masih belum memakai topeng hingga tari keris dan penari-penarinya dibopong kembali ke pura. Sementara bagian kedua menunjukkan proses menyadarkan penari keris maupun aktor-aktor laki-laki pemeran Rangda dan Barong dari kerauhan.
My Name is Red
Secara konten, novel ini mengusung backdrop besar sejarah politik Turki, sejarah seni lukis Islam di Turki, hikayat Turki, tradisi Turki dan semua itu berseting di akhir abad ke-16. Tantangannya adalah bagaimana kisah negeri asing ini
bisa menarik minat kita? Apakah kita sudah puas hanya dengan tahu cerita, plot dan akhirnya? Backdrop inilah yang justru (menurut opini saya) menjadi pengalaman terindah di novel ini.
Sophie’s World
Jostein Gaarder berhasil mengajak pembaca yang awam akan filsafat untuk melihat sejarah filsafat dan filsafat dengan kaca mata yang lebih jernih dan proporsional. Di tengah-tengah jawaban kehidupan yang sudah “siap saji” dan jawaban-jawaban “resmi” yang tabu untuk dipertanyakan, ditengah-tengah kesibukan memenuhi kebutuhan mendasar, novel ini mengajak kita untuk berhenti sejenak dan merenungi pencapaian umat manusia selama dua ribu tahun; khususnya dalam kapasitas mentalnya. Dari buku ini kita dapat menghargai betapa hebatnya para filsuf Yunani awal itu dalam arti yang sebenar-benarnya; luar biasa meskipun kuno. Betapa tetap relevannya pertanyaan-pertanyaan yang digeluti filsuf-filsuf terkini dan betapa banyaknya hal yang harus kita kejar untuk dipelajari.
Lamalera 1926
Film yang dibuat di tahun 1926 ini menggambarkan proses penangkapan ikan paus di Lamalera, bukan hanya pada saat penangkapannya, tapi juga pembuatan perahunya, perjalanannya, dan sistem pembagiannya. Lamalera adalah satu dari dua desa di Indonesia yang menangkap ikan paus, dan mungkin satu-satunya yang menangkap sperm whale. Penduduk Lamalera kebanyakan tidak memiliki tanah agrikultur sendiri, meskipun beberapa penduduk mungkin memiliki tanah di luar desa. Pola pada umumnya adalah penduduk mencari sumber-sumber laut untuk konsumsi lokal dan barter dengan desa-desa tetangga (dataran tinggi). Meskipun penduduk kini juga memiliki tanah sendiri, pada umumnya pola ini masih bertahan.
Seni di Indonesia
Buku “babon” (wajib dan perlu dibaca) bagi siapa saja yang tertarik mengenai kesenian di Indonesia ini merupakan terjemahan dari karya seminal Claire Holt, Art in Indonesia: Continuities and Change yang diterbitkan oleh Cornell University Press, 1967, dengan dukungan Program Asia Tenggara Universias Cornell dan Program Sastra Asia dari Asian Society. Buku setebal 534 halaman ini dibagi menjadi tiga bagian: Warisan, Tradisi-tradisi yang Hidup, dan Seni Modern, disertai appendix panjang sinopsis-sinopsis wiracarita dan cerita, detil seni pertunjukan dalam prasasti serta kesusastraan kuna, plot delapan lakon wayan, dan ringkasan biografi seniman-seniman Indonesia.
The Story of Art
Salah satu buku standard sejarah seni (terutama lukisan, arsitektur dan patung) untuk pemula dan orang awam, dan telah dicetak ulang 16 kali selama lebih dari setengah abad. Awalnya ditujukan untuk anak-anak muda dan pemula, buku ini ditulis dengan bahasa yang sederhana dan informatif. Gombrich menekankan koherensi dan informasi umum untuk memberi gambaran awal dan bekal bagi pembaca untuk menelusuri informasi-informasi lain yang lebih mendalam.
Rampokan Jawa
Rampokan: Java adalah satu komik sejarah mengenai Indonesia pasca kemerdekaan yang dibuat oleh seorang komikus Belanda, Peter van Dongen. Diterbitkan sebagai serial komik dalam sisipan PS di harian Het Parool sejak 14 Juli 1998 sampai 22 September 1998, komik ini ditulis dan digambar oleh Peter van Dongen antara Maret 1991 dan Agustus 1998. Bercerita mengenai Johan Knavel, anak Belanda totok yang lahir di Celebes (Sulawesi) dari bapa ibu totok, pegawai pemerintahan di Hindia. Setelah studinya di Belanda yang dilakukannya persis sebelum Perang Dunia II, ia kembali ke Indonesia di bulan Oktober 1946 bersama gelombang tentara sukarela dan wajib militer Belanda.
Sor Juana
Sor Juana (1648-1695), satu figur soliter penuh kontradiksi di Meksiko abad ke-17: Biarawati dan enigma erotika; wanita yang handal dalam budaya, politik dan bisnis; penulis, pujangga dan intelektual otodidak yang selalu haus pengetahuan; pejuang kesetaraan hak perempuan dan kebebasan berpikir kritis, di bawah perlindungan sekaligus pengawasan gereja.